Menjawab TGB [Bagian 2]

Kamis, 21 Februari 2019 | 10:16 WIB
0
609
Menjawab TGB [Bagian 2]
Tuan Guru Bajang (Foto: Cakrawalamedia.co.id)

Pidato TGB dalam video yang beredar di youtube ini adalah semacam deklarasi NW untuk Capres Jokowi. Tentu saja tidak ada yang salah. Tapi isi pidato TGB yang menyinggung pendukung Prabowo, tentu saja harus dijawab.

TGB bicara secara umum soal kebebasan beragama di Indonesia. Umat Islam yang menjalankan ibadah di bumi Indonesia tercinta ini menurut TGB, di era Jokowi tidak ada tekanan, tidak ada kriminalisasi. Beliau memberi contoh maraknya majelis talim yang bukan hanya di masjid-masjid, tapi juga di lapangan-lapangan, di jalan-jalan. Begitu juga soal ekonomi syariah yang marak.

Kalau soal itu sih bukan hanya di era Jokowi, sejak era orde lama, orde baru sampai orde reformasi, umat Islam bebas menjalankan ibadahnya. Bahkan konon di era penjajahan, umat Islam bebas mengaji di surau atau pesantren, dengan syarat jangan berani ngeledek Belanda.

Memahami makna kriminalisasi ulama bukan berarti menekan semua ulama. Itu sih namanya rezim yang nekad bunuh diri. Dulu di era orba, ada saat pemerintah orba “bermusuhan” dengan umat Islam. Tapi bukan berarti pemerintah orba tidak dapat dukungan dari ulama. Banyak lah ulama yang menjadi pendukung pemerintah orba.

Waktu itu pemerintah orba hanya mengawasi dengan ketat ceramah-ceramah para da’i yang dianggap melawan pemerintah orba yang otomatis dianggap melawan pancasila. Tapi soal ibadah mahdhoh mah bebas-bebas saja. Bahkan pemerintah juga menyelenggarakan peringatan hari-hari besar Islam. Maknanya jelas, muslim yang “dimusuhi” oleh pemerintah orba adalah yang tidak mendukung Golkar.

Umat Islam pendukung Golkar jumlahnya jauh lebih banyak dibandingkan dengan yang dianggap sebagai “musuh” pemerintah. Dan itu sudah cukup dicatat sejarah sebagai masa pemerintah orba tidak harmonis dengan umat Islam. Pada akhir pemerintah orba, barulah disebut sebagai pemerintah orba lebih ramah pada umat islam ditandai dengan munculnya ICMI. Kurang lebih mirip lah dengan sekarang.

Misalnya begini. Sekarang ini, banyak yang teriak soal intoleransi. Jakarta disebut sebagai kota paling tidak toleran. Pertanyaannya, apakah di Jakarta ada non muslim yang dihalangi ke tempat ibadahnya? Jawabannya tentu saja tidak. Tapi kenapa dituduh kota paling intoleran?

Ini bisa menjawab sebagian argumen pertanyaan TGB, kenapa sekarang ada isu tekanan terhadap umat Islam? Padahal umat Islam bebas-bebas saja menjalankan ibadahnya. Ditambah lagi petahana mengangkat cawapres ulama.

Sayangnya, TGB tidak sama sekali menyinggung contoh kriminalisasi masjid dan khatib yang gagal total melalui isu 40 masjid radikal. Entah dapat ide dari mana, mendadak BIN mengumumkan ada 40 masjid yang terpapar radikalisme. Tentu saja masjid adalah benda mati yang tidak dapat bicara, tapi yang dimaksud adalah khatibnya. Pernyataan BIN ini spontan diikuti oleh sejumlah pejabat. Rakyat seolah ditakut-takuti akan terpapar radikalisme.

Tapi ternyata, BIN hanya copas dari penelitian P3M dengan sponsor dari oknum tertentu yang punya hubungan dengan parpol tertentu. Hal itu terbongkar dari “dalang” penelitian itu yang dikupas habis di acara ILC TV One. Setelah terdesak, peneliti P3M itu mengatakan, penelitiannya masih mentah belum bisa dijadikan rujukan.

Belum bisa dijadikan kesimpulan. Setelah pengakuan itu, isu masjid radikal mendadak lenyap! Itu cuma satu contoh. Coba, kalau ILC tidak membongkar praktik kriminalisasi khatib ini, sampai sekarang dan akan datang, 40 masjid itu tetap jadi tersangka walaupun tanpa bukti.

Dalam pidato ini, TGB juga menyinggung soal pengeras suara masjid. “Bahkan tidak seperti yang ada di Saudi, di Mesir atau negara-negara yang lain, bahwa loadspeaker masjid itu hanya berbunyi ketika azan, di Indonesia tidak sedikit loadspekaer yang sudah bunyi setengah jam sebelum azan walaupun disitu tidak ada orang, nyala loadspeakernya.

Ngaji panjaaaang…Dimana mau…pergi ke Turki, ada nggak. Sebelum sholat itu ada ngaji sepuluh menit, setelah sholat ada ngaji, ndak ada. Ada ndak majelis ta’lim yang menggunakan speaker masjid, setelah misalnya zohor kemudian pake speaker, pengajian, atau setelah maghrib. Di Turki, di Mesir, di Saudi, ada ndak? Tidak. Kalau pun pengajian itu ada, dia pakai speaker dalam, tidak menggunakan speaker luar. Jadi jangan termakan oleh hasutan bahwa di Indonesia ini kita Islam susah. Tidak. “

Entahlah. Apakah TGB mengikuti kasus Melliana yang berujung pada tuntutan pembatasan penggunaan loadspeaker. Memang sudah ada aturan penggunaan loadspeker sejak tahun 1978. Tapi muncul tuntutan agar aturannya lebih ketat. Pemerintah pun merespon tuntutan itu, tapi entah kenapa mendadaki berhenti. Barangkali karena jelang pilpres. Nggak menguntungkan untuk elektablitas.

Jika misalnya terpilih kembali, tuntutan pengetatan penggunaan loadspeaker masjid yang disuarakan oleh mayoritas pendukung petahana, bukan mustahil akan direalisasikan, apalagi Capres petahana sudah tidak bisa nyalon lagi pada proide berikutnya, jadi nggak risau soal elektablitas.

Satu hal lagi soal HRS. TGB mengatakan, “ Dikatakan dan dicontohkan oleh banyak pihak, bahwa pada masa bapak Jokowi ini ada kriminalisasi, contohnya kepada Habib Rizieq. Apa yang sebenarnya sekarang terjadi, benar bahwa Habib Rizieq pernah ditersangkakan, tapi kemudian di SP3-kan. Ada proses hukum, lalu SP3. SP3 itu artinya tidak masuk pengadilan apalagi masuk penjara. SP3 itu stop kasusnya. Di masa sebelum Pak Jokowi, Habib Rizieq tidak hanya ditersangkakan, bahkan beliau diterdakwakan, diadili, dipenjara. Dan menghabiskan waktu hukuman di penjara sampai beliau bebas.

Kenapa pada waktu itu tidak ada yang mengatakan kriminalisasi ulama? Apakah masih tidur seperti ashabul kahfi dan baru sekarang bangun? Ini pertanyaan sederhana. Kemana Anda dulu waktu beliau di penjara? Kenapa Anda tidak mengatakan pemerintah sebelum Pak Jokowi kriminalisasi ulama? Tidak ada yang ngomong begitu. Padahal yang dialami dan yang diderita oleh Habib Rizieq Shihab itu jauh lebih berat dari sekarang.

Kalau sekarang, tersangka tapi selesai, SP3. Tidak jadi. Karena tidak cukup bukti. Tapi kalau dulu, tidak hanya tersangka, terdakwa, terpidana, menunaikan hukuman, mana sekarang yang membela beliau itu dulu? Mana? Artinya apa, bapak-bapak? Suara-suara yang menggunakan nama beliau sebagai alasan sebagai terjadi kriminalisasi ulama, suara-suara itu semata-mata adalah suara yang tidak suka pada Presiden. Karena tidak suka saja. “

Sekurangnya, ada dua asumsi TGB. Pertama, dia mengangagap HRS dulu sewaktu dipenjara lebih menderita daripada sekarang. Kedua, suara kriminalisasi ulama bukan datang dari HRS, tapi dari orang-orang yang mengatas namakan HRS. Padahal faktanya, HRS lah yang paling sering menyebut kriminaliasi ulama. Barangkali karena TGB tidak mau menyinggung perasaan HRS, ulama yang dihormatinya.

HRS dipenjara selama 7 bulan pada tahun 2003 atas kasus sweeping tempat hiburan malam yang dilakukan oleh FPI. HRS menyadari, sweeping adalah melanggar hukum, dia melakukannya karena aparat dianggap "Gubernurnya budek, DPRD-nya congek, polisinya mandul."

HRS menerima dengan ikhlas hukuman itu. Bahkan dia menganggap penjara seperti Taman Mini Indonesia Indah. Dalam sel sempitnya dijejali dengan sejumlah buku. Di penjara itu juga dia mengajar ilmu gama kepada para napi.

Tahun 2008 HRS masuk penjara lagi selam setahun lebih gara-gara insiden kekerasan di Monas. Waktu itu FPI bersama sejumlah ormas Islam mengobrak-abrik acara unjuk rasa Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) yang terang-terangan mendukung keberadaan Ahmadiyah. FPI memang dikenal penentang keras keberadaan Ahmadiyah.

Waktu itu HRS paham betul kalau tindakannya melanggar hukum positif yang berlaku di Indonesia. Makanya dia terima hukuman itu sebagai resiko perjuangan. Jadi tidak benar kalau HRS lebih menderita saat itu dibandingkan sekarang.

Dan waktu itu orang yang bersimpati pada FPI belum berani bersuara. Cuma bisa berimpati dalam hati. Ditambah lagi mayoritas media memusuhi FPI. Setelah aksi 212, barulah suara simpati itu terang-terangan disuarakan.

Sekarang, justru SP3 itu semakin menegaskan kriminalisasi ulama. Tidak ada alat bukti yang cukup, tapi dipaksakan menjadi tersangka. Lagi pula diantara sejumlah pelaporan itu adalah kejadian yang sudah berlangsung beberapa tahun lalu.

Bagi ulama, tuduhan melakukan perbuatan mesum, dalam hal ini chat mesum jauh lebih jahat dari tuduhan pembunuhan. Walaupun sudah di-SP3, tapi daya rusaknya sudah tidak bisa lagi dijahit. Hinaan terhadap HRS soal tuduhan mesum ini masih terus berlangsung, tidak peduli apakah tuduhan itu sudah dimentahkan oleh SP3 atau tidak. Inilah kriminalisasi paling effektif. Tidak masuk penjara, tapi nama baik telah dirusak.

Dan TGB melihat persoalan itu dengan kacamata kuda, tidak melihat dari sudut pandang lain.

Tulisan “pembelaan” terhadap HRS ini bukan mustahil berakibat hukuman lebih keras dari fesbuk setelah sebelumnya saya dihukum tiga hari, dan tiga hari lagi gara-gara menulis soal HRS dan 212. Tidak apalah. Apa yang dialami HRS belum seberapa dibanding sekedar nggak boleh fesbukan.

(Selesai)

***