Gambar atau foto-foto para calon legislatif atau caleg, baik DPR, DPRD I, DPRD II dan DPD menghiasi jalananan. Dengan berbagai ukuran foto atau gambar. Ada yang paket "hemat" dan ada yang paket "jor-joran". Tergantung kantong atau logistik masing-masing para caleg.
Gambar atau foto-foto para caleg dengan bergagai gaya itu sebenernya malah merusak pemandangan di jalanan atau perempatan. Baik di perkotaan atau kabupaten atau provinsi di seluruh Indonesia. Bahkan jalan perumahan atau gang-gang juga penuh gambar atau foto-foto para caleg.
Tiang rambu-rambu lalu lintas seakan menjadi media gratis untuk memasang foto dan gambar bagi para caleg. Tiang listrik dan tiang telepon juga tak luput dari gambar dan foto para caleg. Bahkan satu tiang listrik atau telpon bisa terpasang 3 sampai 5 gambar atau foto para caleg. Sehingga terkesan menjadi semrawut dan merusak pemandangan. Dan ini terjadi hampir di setiap daerah kabupaten dan kota atau provinsi.
Inilah resiko atau konsekuensi dari sistem terbuka atau proporsional dalam pemilihan calon lagislatif, baik di DPR, DPRD I, DPRD II dan DPD.
Semua caleg berlomba-lomba mendekati pemilih dan mengais-ngais suara. Satu suara amat berarti atau berharga bagi para caleg.
Dulu, sistem pileg atau pemilihan legislatif memakai sistem tertutup. Masyarakat memilih tanda gambar partai saja. Jadi lebih sederhana, masyarakat tidak pusing dalam memilih. Tetapi ada anggapan dari para aktivis atau masyarakat terdidik, sistem pemilihan tertutup seperti membeli kucing dalam karung. Dan ini dianggap sebagai kelemahan, karena masyarakat tidak bisa memilih sesuai dengan keinginannya dan nuraninya.
Dan sistem pemilihan tertutup hanya menguntungkan petinggi partai atau kader yang dekat petinggi partai atau keluarganya dalam penempatan nomor urut penentuan caleg. Karena caleg nomor urut 1,2,3,4 yang lebih berpotensi terpilih menjadi anggota DPR,DPRD I dan DPRD II.
Karena dulu ada caleg yang menggugat sistem pemilihan secara tertutup ke Mahkamah Konstitusi atau MK, maka MK mengeluarkan keputusan atau merobah dari sistem tertutup menjadi sistem terbuka.
Pemilihan sistem terbuka seperti pasar bebas dan dianggap membeli kucing di luar karung, bukan membeli kucing dalam karung lagi. Dan masyarakat bisa memilih caleg secara langsung menurut pilihannya atau hati nuraninya.
Tetapi sistem pemilihan terbuka juga banyak kelemannya, di antaranya:
Legitimasi anggota DPR menjadi kuat karena dipilih oleh masyarakat secara langsung. Tetapi juga akan menyulitkan partai kalau mau memecat atau menggantinya. Seperti kasus Fahri Hamzah. Ia dipecat oleh partainya. Tetapi ia menggugat dan memenangkan di pengadilan. Malah partainya harus membayar ganti rugi 30 milyar. Di satu sisi tidak ada anggota DPR dari fraksi independen.
Sistem pemilihan terbuka lebih cocok diterapkan di suatu negara yang menganut satu partai, bukan multi atau banyak partai. Atau lebih cocok diterapkan dalam pemlihan anggota Dewan Perwakilan Daerah atau DPD. Karena tidak berpartai.
Apalagi kalau partai yang ikut pemilu jumlahnya banyak dan dengan sistem terbuka seperti saat ini tentu sangat rumit dan membuat pusing masyarakat. Dan tidak efisien dari segi biaya. Sangat boros, apalagi kalau jumlah golput sangat banyak.
Kalau dengan sistem tertutup dianggap seperti membeli "kucing dalam karung" dan dengan sistem terbuka dianggap membeli "kucing di luar karung".
Menurut pandangan subyektif pribadi, "baik membeli kucing dalam karung atau kucing di luar karung", hasilnya sama-sama "kucing kurap" yang tidak berbeda jauh hasilnya.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews