Kalau kemudian para SJW itu mencanangkan, atau mengajak golput, ya setidaknya anggap itu semacam kritikan.
Belakangan, kubu pendukung Jokowi banyak menyerang SJW. Bukan karena SJW mendukung capres kubu sebelah, Prabowo, tapi lantaran gencarnya teman-teman SJW ini mengkampanyekan, golput. Setidaknya itu yang terasa oleh para pendukung Jokowi.
SJW, sepanjang pemahaman saya adalah mereka yang di 2014 juga mendukung Jokowi. Salah satu alasannya, adalah yang sering digaungkan Jokowi: Tak punya beban masa lalu. Para SJW punya parameter ketat untuk pemimpin yang mereka usung, dan di 2014 – hampir semua berada di belakang Pakde Jokowi.
Para SJW ini adalah mereka yang sudah “bekerja” sejak lama, mendokumentasikan rasa cinta mereka untuk negeri ini. Beberapa pernah menjadi jurnalis kritis di beberapa media, bahkan ada yang pernah berkeliling Indonesia untuk merekam rasa cintanya atas negeri ini. Dokumentasi perjalanan semenjana ini direkam dalam bentuk buku dan CD, dan disebarkan secara komerial.
Teman-teman SJW adalah mereka yang kritis pada siapa saja, dan kadang menjadi semacam barometer social apakah pemimpin yang sedang berkuasa sejatinya sudah mempraktekkan substansi keadilan dalam program kerjanya.
Kita tak bisa menjadikan SJW ini sebagai musuh, dan kemudian diserang habis-habisan, terkadang serangan berupa ad hominem, menyerang individu.
Lebih tepatnya, SJW cocok menjadi teman diskusi yang kritis. Kita memang mengharapkan Jokowi atau pemimpin yang kita pilih sempurna dalam segala hal, namun tentu saja tak ada manusia sempurna seperti itu.
Kalau tak hendak mencintai membabi-buta, setidaknya kita menyadari ada banyak hal kekurangan yang mesti ditambal.
Jokowi, jelas tak sesempurna senyumannya. Makanya kadang kita perlu menyimak, betul-betul menyimak, apa saja yang menjadi titik kritik teman-teman SJW kita.
Soal keberpihakan terhadap petani, soal merajalelanya sawit, soal diskiriminasi agama, ras dan lain-lain memang masih jauh dari harapan.
ABB yang gembong radikalisme dibebaskan atas alasan kemanusiaan, lantas bagiamana dengan para penganut Ahmadiyah yang tertatih-tatih menyelenggarakan ibadah, bagaimana nasib pengungsi Sampang yang sudah hampir 10 tahun hidup dalam pengungsian, jauh dari kampung halamannya?
Setidaknya itu contoh kritis yang disampaikan teman-teman SJW, bahkan senada seirama dengan pendukung Jokowi garis kritis (seperti saya).
Kalau kemudian para SJW itu mencanangkan, atau mengajak golput, ya setidaknya anggap itu semacam kritikan. Kalaupun benar-benar menjadi sikap politik, tak akan mencoblos di TPS nanti 17 April 2019, abaikan saja jumlahnya.
Sedikit kok. Tak usah khawatir akan mengganggu suara Jokowi.
Yang paling penting sekarang yang dicermati oleh pendukung Jokowi bukanlah suara-suara SJW itu – setidaknya SJW anggap saja sparring partner yang nakal – tapi yang mungkin akan parah adalah kampanye negative pendukung Prabowo yang akan melakukan delegitimasi Pemilu.
Proyek-proyek meragukan netralitas KPU, Polri, TNI, Bawaslu dan sebagainya sedang digencarkan mereka. Issue-issue tak masuk akal seperti kardus TPS, kertas suara tercoblos dan lain-lain kemungkinan akan terus diproduksi kubu Prabowo. Dan ini pengaruhnya cukup besar daripada golput.
Belum lagi, dalam 3 bulan jelang Pilpres ini tentu banjir fitnah, hoax dan sebagainya akan mungkin memenuhi ruang baca kita. Sahut-sahutan pesan berantai di WhatsApp group dan social media lain akan menggaungkan kejahatan Jokowi yang tak pernah terjadi alias palsu.
Waspadalah dengan itu!
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews