Amien Rais Pernah Bilang, Jokowi-Hatta Rajasa Seperti Sukarno-Hatta

Selasa, 15 Januari 2019 | 07:52 WIB
0
525
Amien Rais Pernah Bilang, Jokowi-Hatta Rajasa Seperti Sukarno-Hatta
Joko Widodo dan Hatta Rajasa (Foto: Merdeka.com)

 

Pernyataan Amien Rais ini terjadi pertengahan 2013, rekam jejak digital dengan mudah ditemukan, baik media arus utama, ataupun media sosial.

Pernah ada nada positif di sana berarti, pernyataan yang menggambarkan kualitas kepemimpinan seorang Jokowi, beda dengan saat ini. Apa iya kualitas seseorang yang turun, atau subyektifitas pembicara yang berubah?

Menarik jika keduanya dilihat bersama, apakah kepemimpinannya yang berubah, melihat rekam jejak dan prestasi yang sudah ditorehkan. Pun bisa disaksikan apakah benar subyektifnya pandangan penilai yang bergeser.

Ini menjadi penting sehingga pemilih diajak cerdas, apalagi jika dibarengi dengan gelombang hoax dan kebohongan. Corong yang terus menerus digaungkan.

Pernyataan yang menggandengkan Hatta dengan Jokowi seperti Sukarno Hatta, jelas gambaran besar, bahwa duet kepemimpinan itu belum bisa tergantikan kualitasnya. Memang zaman dan perjuangannya berbeda, namun bahwa dua proklamator itu memang saling mengisi satu sama lain. Kali ini pun ada yang mengaitkan sosoknya dengan Bung Hatta, dan satunya dengan Bug Karno. Soal benar atau salah toh mudah dinilai sendiri.

Belum pernah bukan ada yang menyalonkan jadi presiden, sekelas bupati pun yang menyamakan diri dengan Pak Harto, misalnya cara bicara ken, yang kental, atau e....e.... begitu. Atau  Pak Habibie yang menyala-nyala, tetap patron utama Bung Karno. Wakil yang begitu banyak pun, memilih Bung Hatta, pada ada Sri Sultan, Pak Umar, Pak Try, Pak Hamzah Haz, atau dua kali wapres dalam diri Pak Yusuf Kalla. Bung Karno-Bung Hatta masih yang terbaik.

Mengapa Jokowi dinilai setara dengan Bung Karno? Tentu Amien Rais yang harus menjawab. Namun jika melihat apa yang selama itu, ingat konteks sebelum 2013 pertengahan lho, jelas berbeda dengan usai itu, apalagi akhir-akhir ini.

Tentunya berangkat dari kiprah Jokowi sebagai Walikota Solo selama menjabat pada periode kedua, kemenangan periode berikut pun termasuk fenomenal. Hasilnya itu kelihatan, pembangunan fisik yang biasanya begitu-begitu saja terlihat nyata. Solo berkembang pesat dan baik. Penghargaan dari dalam atau luar negeri, jelas juga penghargaan rakyat dengan memilih tanpa kampanye jelas itu fakta.

Pun pemerintahan singkat di Jakarta. Tidak bisa disangkal, perubahan itu jelas ada dan berdampak. Jakarta terlihat bebenah dan layak jadi ibukota negara, gerbang yang ditampilkan kepada dunia internasional. Mosok sampai 2013 Pak Amien mau membantah? Itu ada jejaknya dan masih bisa dilihat kog.

Ataukah penilaiannya yang berubah karena kepentingan?

Sudut pandang yang cukup menarik dan penting untuk dilihat, agar pemilih bisa memilih dengan jernih. Selama ini seolah Amien melihat Jokowi adalah biang kesalahan, kekisruhan, dan keadaan  buruk lainnya. Padahal tidak ada yang buruk sebenarnya, hanya pandangan yang berubah dan memburuk itu semata karena politik dan kepentingan saja.

Penolakan duet Jokowi-Hatta lah sebagai pemicu, sehingga berubah yang awalnya suka menjadi pembenci kelas kakap. Entah kog bisa orang sudah sepuh, eh perilakunya kayak abg, tertolak cintanya. Dari pemuja berganti jadi pencela utama.

Rekam jejak, lagi-lagi rekaman perilaku politiknya memang tidak jauh-jauh demikian. Bagaimana masa reformasi, nama Mega-Bintang demikian kuat dan menjadi sebuah harapan baru. Pemilu PDI-Perjuangan menang dan keluar sebagai juara pemilu pertama era reformasi.

Harapan banyak pihak tentu Mega akan dengan mulus menjadi presiden. Tiba-tiba poros tengah dengan motor Amien  Rais membesar, dan Mega kalah.

Gus Dur-Mega pun tidak bisa lama. Lagi-lagi juga peran Amien Rais untuk menggulingkan Gus Dur.  Pemerintahan Mega-Hamzah bisa berjalan dengan relatif baik-baik saja. Toh tidak bisa berbuat lebih banyak lagi, dengan berbagai kendala dan jeratan masa lalu yang susah bergiat di dalam pembangunan.

Sepuuh tahun era SBY seolah diam saja, tanpa pernah terlihat banyak ribet dan meributan pemerintahan, apalagi partai yang ia bidani memang di dalamnya. Dan seolah sepuluh tahun itu tapa brata, dan kemudian turun gunung di pemerintahan Jokowi-JK. Semua hal yang dilakukan Jokowi selalu salah, ingat yang dilakukan Jokowi terlebih sebagai pribadi.

Apa yang diperlihatkan susah melihat tokoh agama, akademisi, dan juga politikus kawakan, seolah menjadi ABG labil, yang belum cukup makan asam-garam kehidupan dan pendidikan. Kebencian lebih terasa daripada kritik. Bagaimana ributnya soal FP, padahal 10 tahun sebelumnya tidak ada aksi apapun namun diam. Ketika FP diminta dari asing, sekaligus Jokowi dicap antek asing, mana yang benar coba?

Melihat kedua reputasi, satunya  prestasi dan kinerja di dalam membangun daerah dan bangsanya, satunya membangun diri dan kepentingannya, toh memperlihatkan mana yang lebih bisa dilihat baik dan hanya seolah-olah baik. Apa iya bangsa ini harus mengekor pada orang yang hanya seolah-olah baik itu? Ketika ada orang yang telah melakukan kebaikan.

Sayangnya orang yang berperilaku seolah-olah baik itu ternyata lebih memilih banyak bicara dan memiliki corong yang tidak lelah-lelahnya. Sebenarnya sederhana saja kog bagi Amien Rais, pernah tidak menang pemilu melalui PAN, itu saja.

Susah ketika politikus tidak siap kalah dan menuding yang menang sebagai pelaku kecurangan. Memusuhi pemenang seolah-olah itu adalah akhir hidup yang perlu direbut secepatnya. Mosok akademisi dan praktisi politik tidak  bisa membedakan mana politik bermartabat, atau hanya mengejar jabatan?

Salam...

***