Ada sebuah fakta menarik tentang Megawati yang belum tergoyahkan: mereka yang meninggalkan PDI Perjuangan justru akan terpuruk karir politiknya.
Foto ini sudah terlihat buram dan lusuh -- dari zaman kamera masih menggunakan rol film negatif yang tak mungkin dipoles-poles. Foto ini diambil dalam satu barak Asrama Haji Sukolilo, Surabaya, lokasi penyelenggaraan Kongres Luar Biasa PDI, pada 2-6 Desember 1993.
Megawati Sukarnoputri -- saat itu berusia 46 tahun dan menjabat Ketua DPC PDI Jakarta Selatan -- datang sebagai peserta kongres. Ia tidur di asrama haji di ranjang susun beralaskan kasur kapuk, dan kamar yang panas tanpa pendingin udara. Megawati masih ingat lokasi kamarnya itu di Blok F lantai 2, nomor 222. “Kamarnya yang sak uplik. Kasurnya sudah lusuh. Panasnya minta ampun. Kalau mau mandi harus bawa ember dari luar,” kisahnya suatu ketika.
Dari kamar itulah, di akhir kongres, Megawati terpilih menjadi Ketua Umum PDI. Tapi pemerintah Orde Baru saat itu tidak mau mengakuinya. Dan dalam perjalanan waktu, diguncang sana-sini, PDI menjelma jadi partai besar yang sejak tahun 1999 menjadi PDI Perjuangan.
Kemenangan PDI Perjuangan yang gemilang pasca Orde Baru pada Pemilu 1999 gagal mengantar dirinya sebagai Presiden lewat atraksi politik di parlemen oleh para politisi. Megawati menjadi Presiden RI kelima 2001 – 2004 setelah parlemen menjungkalkan Presiden Abdurrahman Wahid.
Hanya dua setengah tahun berkuasa, tapi dalam waktu yang begitu singkat itu, Megawati mewujudkan semua perangkat demokrasi yang sesungguhnya bagi Indonesia. Mahkamah Konstitusi, Pemilihan Langsung, Komisi Pemberantasan Korupsi, adalah tiga lembaga dan pranata demokrasi yang dilahirkan oleh Megawati.
Bagi Megawati, membidani amanat reformasi ini ibarat penggambaran Abu Hanifah jauh-jauh hari, bahwa “revolusi memakan anak kandungnya sendiri”. Dan Megawati adalah “korban” dari revolusi yang dibangunnya sendiri.
Sistem Pemilihan Langsung justru mengorbankan dirinya, ia kalah oleh bekas menterinya sendiri, Susilo Bambang Yudhoyono pada Pilpres 2004. Pedang-pedang penyidik KPK yang dibangunnya juga lebih banyak menebas tokoh-tokoh PDI Perjuangan yang korup, di parlemen dan pemerintahan.
Bagaimana dengan Mahkamah Konstitusi? Anda jawablah sendiri.
PDI Perjuangan pernah berdiri jauh di luar lautan gemerlap kekuasaan. Sepuluh tahun, dari 2004 sampai 2014, partai ini menahan diri dari dorongan syahwat kekuasaan. Megawati ajeg, bersikap diam menjaga partai agar tak oleng oleh godaan. Dan di ajang Pemilu 2014, PDI Perjuangan menuai hasilnya: merebut suara terbanyak di antara 12 partai kontestan pemilihan umum.
Saat kemenangan dalam genggaman, tapi Megawati tak mabuk kepayang. Dengan pertimbangan yang matang, dingin dan senyap, ia tak pernah menggenggam kemenangan itu untuknya sendiri. Ia tak menuliskan nama dirinya dan anak-anaknya pada tiket untuk maju di palagan pemilihan presiden dan wakil presiden.
Begitulah. PDI Perjuangan kembali menjadi pemenang Pemilu 2019, dan – merujuk pada jajak-jajak pendapat yang sudah berseliweran -- kemungkinan akan tetap menjadi juara di Pemilu 2024.
Oh ya, ada sebuah fakta menarik tentang Megawati yang belum tergoyahkan: mereka yang meninggalkan PDI Perjuangan justru akan terpuruk karir politiknya. Marissa Haque, Roy BB Janis, Laksamana Sukardi, Dimyati Hartono, Permadi, Arifin Panigoro, sampai tokoh populer di daerah seperti Rustriningsih hanyalah beberapa contoh orang-orang yang telah merasakan tulah oleh jalan menyimpang dari Megawati. Mungkin nanti akan ada nama Budiman Sudjatmiko, dan nama-nama lain hahaha.
Adakah fakta-fakta ini masih akan bertahan. Waktu yang akan menjawabnya -- untuk Megawati, para tokoh PDI Perjuangan, dan menjadi hikmah bagi kita yang menikmati tontonan ini.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews