Jokowi di Antara Kritik dan Beragamnya Suara Masyarakat

Profesor dari Singapura Kishore Mahbubani mengapresiasi kinerja Joko Widodo. Ia memuji Presiden Jokowi sebagai sosok yang jenius dan paling efektif di dunia.

Rabu, 27 April 2022 | 17:44 WIB
0
141
Jokowi di Antara Kritik dan Beragamnya Suara Masyarakat
Presiden Joko Widodo (Foto: detik.com)

Sungguh berat menjadi presiden di era sekarang, apalagi menjadi presiden yang siap tidak populer, siap melawan arus dan yang berpikir jauh ke depan, seperti seperti fokus membangun infrrastruktur untuk kemajuan bangsa di masa depan.

Masyarakat sekarang ini lebih menyukai yang serba instan, makmur yang langsung dibayangkan sebagai sandang,pangan yang murah, pemerintah yang mengakomodir setiap kelompok dengan memberi dana segar bagi ormas-ormas dan organisasi kemasyarakatan. Presiden yang didamba adalah presiden yang langsung bisa mengatasi permasalahan bencana dengan sangat cepat, tidak membuat aturan aneh seperti PPKM, vaksinasi, dan aturan ketat saat muncul bencana seperti covid.
Masyarakat maunya bebas tidak mengenakan masker dan tidak dibatasi ruang geraknya saat ada upacara keagamaan dan kepentingan mudik dengan tetek bengek peraturan. Pokoknya pemerintah yang baik yang tidak menyusahkan rakyat dengan menjamin BBM tidak naik, memastikan kebutuhan bahan pokok murah dan terjangkau dan bisa menyediakan lahan pekerjaan, tanpa persyaratan yang berbelit-belit.

Begitu sempurnanya tuntutan masyarakat seperti yang disuarakan mahasiwa saat ini. Semudah itukah? Kalau Jokowi itu dewa atau manusia super mungkin bisa melakukan, namun kalau menjadi presiden bukanlah mudah memenuhi tuntutan itu. Tidak boleh berhutang, tidak boleh membangun jalan tol fokus pada kesejahteraan rakyat. Fokus pada pemenuhan kebutuhan pokok, tidak menambah utang cukup memenuhi tuntutan mahasiswa yang hanya membaca cerita- cerita tragis masyakat dengan pendapatan rendah.

Padahal pemerintah sudah mengerahkan segala cara untuk membantu masyarakat dengan pengucuran BLT, subsidi BBM,(tidak menaikkan harga Pertalite, padahal di seluruh dunia harga minyak mentah tidak bisa dibendung dan mempengaruhi harga beli pemerintah untuk pemenuhan BBM dalam negeri.

Di sisi lainnya tidak banyak kepala daerah yang mampu menterjemahkan dan mengimplementasikan kemauan pemerintah pusat dalam hal ini presiden. Banyak kepala daerah yang malah seperti raja-raja kecil. Dalam perjalanan pemerintahannya banyak yang terkena operasi tangkap tangan karena terlibat korupsi dan menyalahgunakan jabatan untuk memperkaya diri sendiri, kelompok dan partainya. Memang ada kepala daerah yang begitu semangat membangun, namun perbandingannya masih “njomplang” dengan yang lurus dan tulus menjadi pelayan masyarakat.

Ketika ketimpangan muncul dan disana-sini ada kekurangan terkait pembangunan misalnya jalan desa, jalanan daerah masih rusak semua tudingan hanya mengarah pada pemerintahan pusat. Semua kompleksitas masalah dibalikkan ke pemerintah pusat dan lagi-lagi Jokowi harus menerima konsekuensi mendapat cacian dan nyinyiran dari masyarakat yang “kebetulan” tidak mendapatkan dampak dari pembangunan.

Mahasiswa tidak jauh berpikir bahwa kompleksitas masalah, regulasi pemerintah peraturan antara satu daerah dan daerah tidak sama, beberapa regulasi birokrasi masih terwariskan oleh budaya pejabat lama yang tahu sama tahu untuk menyedot APBD dan bantuan dari pusat demi keuntungan kelompok sendiri. Tumpang tindihnya regulasi yang ribuan jumlahnya itu tidak bisa disulap begitu saja. Butuh kekompakan butuh satu suara untuk mengubah birokrasi yang korup.

Apakah semua tugas untuk membenahi birokrasi harus presiden yang turun langsung. Layaknya organisasi tentu saja mesin birokrasilah yang seharusnya responsif terhadap perubahan. Mau presiden prestasinya mendunia kalau pejabat turunannya tidak mau berubah maka implementasi ke lapangan akan terkendala. Jadi presiden kemudian pontang-panting mengurusi segala complain yang berasal dari masyarakat.

Mahasiswa harusnya belajar juga pada organisasi BEM. Apakah BEM tempat mereka belajar berorganisasi sudah berfungsi. Artinya masing-masing bidang sudah bergerak sendiri sesuai dengan bidang yang menjadi tanggungjawab masing-masing.Ketua, sekretaris, bendahara, humas, bagian legal, seksi- seksi lainnya yang mampu memberikan jaminan organisasi bergerak dinamis dan mampu merealisasikan tujuan  atau visi dan misinya.

 Kalau dalam BEM sendiri masih tumpang tindih organisasinya tidak usah buru-buru keluar kandang untuk memprotes ketimpangan pemerintah wong mereka sendiri masih amburadul (ini hanya sebuah ilustrasi saja). Artinya introspeksi dulu sebelum mengkritik dan menyerang kekurangan orang lain/ pemerintah.

Indonesia itu negara yang sangat kompleks. Berbagai suku bangsa, bahasa, agama, menjadi keragaman yang luar biasa, namun akhir-akhir ini suasana politik dan gencarnya perang komentar di media sosial telah membuat pembelahan pada masyarakat. Saya sering menjadi pembaca senyap dari komentar- komentar netizen baik di YouTube, Instagram dan juga facebook, nampak nyata pembelahan antara yang benar- benar tidak suka dengan pemerintah dengan berbagai senjata utama terutama masalah kesejahteraan masyarakat, kenaikan harga sembako, kenaikan pertamax dan kelangkaan minyak goreng. Ada banyak alasan ketika mahasiswa, emak-emak dan ormas yang dibubarkan namun tidak terima dengan keputusan hukum dari pemerintah.

Isu-isu menggiring opini untuk menggelorakan mosi tidak percaya pada pemerintah yang sedang berkuasa. Sasaran tembaknya adalah Jokowi dan yang menjadi biangnya adalah orang-orang terdekat di lingkaran kekuasaan yang mempengaruhi keputusan Jokowi. Banyak yang ingin Jokowi turun karena  merasa Jokowi adalah ancaman bagi mereka pengusaha hitam dan mereka yang terkena kasus hutang masa lalu. Sebab pada pemerintahan sekarang pengemplang hutang yang belum juga melunasi hutang tampak benar-benar ditekan.

Alasan lain adalah utang. Oposisi terus menggaungkan utang-utang yang semakin banyak, oposisi menganggap bahwa kebijakan pemerintah saat ini mengkawatirkan terutama ketika pemerintah terus menjalankan proyek infrastruktur dan cenderung mengabaikan kesejahteraan masyarakat. Masyarakat butuh makan bukan infrastruktur, masyarakat butuh kebutuhan dasar yang murah sebab saat ini harga-harga barang semakin melambung tinggi. Yang menjadi sasaran tembak lainnya adalah wacana perpanjangan masa jabatan presiden. Masalah ini menjadi heboh karena digoreng sana-sini hingga hal yang masih menjadi wacana belum terealisasi merupakan sebuah ancaman bagi kelangsungan kehidupan demokrasi Indonesia. Padahal Jokowi sudah berkali-kali mengatakan menolak wacana perpanjangan masa jabatan presiden.

Bagi oposan dan yang kontra menganggap perkataan Jokowi tidak bisa dipegang. Kalau dalam istilah Jawanya mencla-mencle atau isuk dele sore tempe. Jadi apapun yang dikatakan Jokowi tidak bisa dipegang kebenarannya itu keyakinan oposisi.

Di sisi lain banyak komentar yang masih mendukung prinsip pemerintahan Jokowi yaitu kerja-kerja dan kerja. Di saat demostrasi berlangsung tidak henti-hentinya Jokowi terus meresmikan proyek infrastruktur yang telah selesai. Meskipun sejak tahun 2020 hantaman covid-19 proyek-proyek infrastruktur terus berjalan.

Hantaman covid-19 itu sangat terasa mengimbas pada dunia pariwisata, banyaknya usaha masyarakat yang mengalami kebangkutan terutama retail, jasa. Sedangkan kemajuan dirasakan di sektor pengiriman barang lewat ekspedisi. Bisnis kuliner yang menggunakan aplikasi online mengalami perkembangan yang lumayan. Dari sepanjang jalan yang saya lewati di Jakarta maupun pinggiran Jakarta, mereka yang terimbas PHK banyak yang bekerja di bidang jasa pengiriman, kuliner, ojek online transportasi online.

Negara lain pun terimbas perekonomiannya ketika hantaman covid datang. Malah ada yang sudah mengalami inflasi tinggi. Hampir semua negara mengalami krisis, apalagi ditambah dengan perang Ukraina dan Rusia. Minyak mentah bertambah mahal, CPO pun harganya melambung.

Profesor dari Singapura Kishore Mahbubani mengapresiasi kinerja Joko Widodo. Ia memuji Presiden Jokowi sebagai sosok yang jenius dan paling efektif di dunia.

Sorotan terhadap kejeniusan Jokowi disampaikan dalam tulisan berjudul “The Genius of Jokowi.” Penulis melihat diskusi menarik antara J Kristiadi, Duta Besar Indonesia untuk Singapura Suryapratomo.

Problem kepala negara di Indonesia adalah memahami keragaman, banyaknya aspirasi yang ditumpukan kepada pimpinan negara. Tidak semua mengapresiasi kinerjanya. Yang benci, yang nyinyir banyak, namun yang memuji dan berharap Jokowi masih memimpin negara juga masih banyak.

Makanya muncul wacana perpanjangan masa jabatan presiden. Sebab ada beberapa alasan mengapa muncul wacana seperti itu, supaya program pemerintah yang tertunda akibat covid-19 bisa diselesaikan.

Kalau saya menilai saat ini demokrasi benar-benar terbuka, kalau ada yang akhirnya digiring ke pasal penghinaan itu karena opini mereka bukan bertujuan mengritik, namun sengaja membuat kata-kata nyinyir yang mengarah ke body shaming. Salam demokrasi sehat.

 ***