Kompromi dengan Covid-19?

Dalam menghadapi emergency seperti wabah corona ini pengambilan keputusan harus sangat efektif. Komunikasi searah sangat cepat tanpa kendala sangat dibutuhkan.

Senin, 18 Mei 2020 | 17:18 WIB
0
332
Kompromi dengan Covid-19?
Foto:Pixabay.com

Keharusan berkompromi dengan Covid-19 pada akhirnya menjadi sebuah pilihan diantara tidak ada pilihan lainnya. Terus dihantui ketakutan bukanlah sesuatu yang menyehatkan.

Selama belum ditemukannya vaksin yang bisa menyembuhkan, mau tidak mau, harus mau beradaptasi dengan covid-19, dengan tetap mematuhi protokol kesehatan yang dianjurkan pemerintah.

Tidak mungkin kita bisa bangkit untuk hidup secara normal, dengan terus menerus dibatasi oleh aturan pembatasan sosial berskala besar, karena dampaknya juga tidak menguntungkan baik bagi kehidupan bernegara, mau pun kehidupan bermasyarakat.

Berkompromi dengan covid-19 bukanlah manifestasi dari ketidak-berdayaan, karena untuk bebas sepenuhnya dari covid-19, haruslah diatasi dengan vaksin, sementara vaksinnya sendiri belum ditemukan.

Bukan hanya kita yang harus berkompromi dengan covid-19, negara-negara lain yang juga terdampak pada akhirnya berkompromi dengan covid-19, dengan caranya masing-masing.

Tiongkok pun bisa mengatasi pandemi ini bukan dengan vaksin, tapi dengan ramuan-ramuan tradisional, yang secara fungsinya lebih untuk menguatkan imunitas tubuh dari serangan covid-19, dan tetap disiplin terhadap aturan protokol kesehatan.

Bagi negara-negara yang memang sulit untuk mendisiplinkan masyarakatnya, pilihan yang ada didepan mata adalah berkompromi dengan covid-19, karena memang pilihannya sangat sulit, untuk patuh pada aturan tidak bisa, sementara vaksinnya sendiri juga belum tersedia dimana pun.

Berkompromi dengan covid-19 artinya kita harus tetap menjaga imunitas tubuh, sementara negara berusaha menyiapkan fasilitas kesehatan yang memadai, juga terus menambah tenaga medis, dan alat kesehatan yang cukup.

Dengan semua kembali beraktivitas, maka diharapkan perekonomian pun bisa pulih, dengan demikian negara pun tidak mengalami krisis ekonomi, masyarakat pun bisa kembali hidup normal seperti biasanya.

Membaca surat terbuka Mantan Menteri Kesehatan, Siti Fadilah Supari, yang dituliskannya dari Rumah Tahanan, cukup membuka mata, dan memberikan wawasan bagaimana mensiasati keadaan.

Dalam kondisinya yang terpasung hukuman, beliau masih memikirkan keadaan negara dan bangsa ini, memberikan solusi untuk menghadapi situasi, yang sama sekali tidak memberikan pilihan untuk bisa keluar sebagai pemenang dalam melawan covid-19.

Surat yang ditulis di Rumah Tahanan (Rutan) Pondok Bambu itu ditulis oleh teman napi sekamar, karena Siti Fadilah Supari sudah tidak kuat menulis. Surat tersebut kemudian ditandatangani Siti, dan agar lebih jelas diketik ulang di luar penjara.

Beliau cukup memaklumi upaya Presiden Jokowi memberikan pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Tujuannya agar bangsa ini secara bertahap mampu mengembalikan kegiatan sosial dan membangun perekonomian Indonesia pulih kembali.

Menurutnya, bukan hanya kita yang tidak berdaya menghadapi situasi ini, Amerika sebagai negara Adidaya sendiri juga mengalami nasib yang sama. Bahkan saat ini Amerika sebagai negara dengan korban terbanyak di dunia. Pergerakan perekonomian dan perdagangannya terhenti.

Di Eropa pun demikian juga korbannya juga cukup banyak. Apalagi khusus di negara Italia sangat parah boleh dikatakan terbanyak bila dibandingkan dengan jumlah penduduk .

“Saat ini mereka semua mulai menggeliat sadar mereka harus bangun dari ketakutan dan kekawatiran. Mereka harus bangun dari keterpurukan ini untuk memulai kehidupannya lagi,” papar Siti dalam suratnya.

China menunjukkan ketangguhannya dalam menghadapi corona dari awal, terus lockdown dan kemudian corona terhenti setelah itu ekonomi mulai bangkit kembali. Tidak perlu heran karena China negara dengan azas otoritarian.

Maka dalam menghadapi emergency seperti wabah corona ini pengambilan keputusan harus sangat efektif. Komunikasi searah sangat cepat tanpa kendala sangat dibutuhkan.

“Dan ini hampir tidak mngkin terjadi di negara-negara yang menganut azas demokrasi , yang selalu ada pro kontra, sehingga suatu keputusan makan waktu lebih banyak,” kata Siti.

Pada akhirnya kita memang harus berdampingan hidup dengan covid-19, seperti halnya kita hidup dengan berbagai virus dan penyakit yang pernah kita hadapi. Kita masih berdampingan dengan virus TBC, yang juga setiap hari merenggut ratusan nyawa setiap harinya, juga berbagai penyakit lain yang belum ditemukan vaksin yang bisa membasmi virusnya. 

Sumber