Gersos via Medsos

Kalau tak diantisipasi, ekonomi riel kita bisa melumpuh, dan perlahan korban berjatuhan. Kita perlu gersos dengan medsos. Saatnya membuktikan medsos benar-benar media sosial.

Senin, 23 Maret 2020 | 13:44 WIB
0
248
Gersos via Medsos
Ilustrasi (Facebook/Sunardian Wirodono)

Mungkin maksudnya baik, namun yang terjadi dalam Operasi Pangan Murah di DKI Jakarta kemarin (22/3), adalah kekonyolan. Penyelenggara tak memahami psikologi sosial masyarakat.

Pejabat publik masih memposisikan diri seperti OKB (Orang Kaya Bodoh), yang suka bagi duit tiap Lebaran, atau apalah. Ngundang wartawan pulak! Coba ingat, yang terjadi selalu kekacauan, dengan satu-dua tewas karena terinjak-injak.

Cara-cara semacam itu, mungkin ditiru dari raja-raja jaman dulu, kayak ritual nyebar udik-udik. Mungkin sang raja seneng ngelihat rakyat uyuk-uyukan berebut receh. Kayak pedagang bakso di Jateng beberapa bulan lalu. Untuk rasa syukurnya nyebar duit dari teras lantai dua rumahnya. Tetangganya berebut uang itu di bawah.

Meski Pemda DKI Jakarta sudah mengatur begitu rupa, entah pakai kartu ini-itu, atau berbagai himbauan, toh warga tetap berupaya saling dulu. Takut kehabisan. Bangsa kita tak disiplin bukan karena tak bisa diatur, namun kemiskinan bisa menimbulkan kebodohan, dan keduanya bisa memunculkan berbagai efek penyakit sosial. Antara lain tak sabaran dan tak menghargai liyan.

Makanya dalam ajaran agama sering dikatakan kefakiran bisa mengundang kekafiran, meski kekayaan juga bisa mengundang kekufuran. Dalilnya jelas, manusia pada bawah sadarnya adalah homo-homini-lupus, sebagaimana ditulis Plautus ribuan tahun lampau.

Fakta global Covid-19 menjadi pandemi. Artinya ahli-ahli medis kelas dunia pun kewalahan. Menjadi norak dalam situasi itu, mengamini komentar miring orang yang nggak ngerti sama sekali soal kek gituan. Entah itu bernama Gatot Nurmantyo, apalagi Tengku Zul. Wong soal agama pun mereka tak meyakinkan.

Sekarang teknologi sudah sangat maju. Pengguna aktif internet di Indonesia 171 juta, sementara jumlah ponsel mencapai 236 juta, dengan 270-an juta penduduk Indonesia. Tinggal para pejabat publik dan para pejuang relasi sosial membangun sistem dan mekanisme, jika orientasinya adalah mengantisipasi penyebaran virus Corona berkait himbauan ‘social distance’.

Pada situasi-situasi darurat itulah, saya kira, fungsi atau tugas pejabat publik dimaksimalkan. Bagaimana bukan hanya mendata, tapi mendatangi rumah-rumah warga. Bukan warga disuruh berduyun-duyun, ngantri di ruang-ruang terpusat, apalagi di rumah dinas. Cara-cara kuno itu mesti ditinggalkan. Kecuali memang sengaja menjadi agen penyebar Covid-19. Agar terjadi situasi chaos. Kematian massal. Muncul ketidakpercayaan pada pemerintah. Dan kudeta.

Meski pun yakinlah, para pelaku seperti itu akan dikutuk sejarah. Karena bisa dipastikan tak akan membawa situasi lebih baik, semengaku lebih pinter kayak apapun daripada Jokowi. Dalam situasi dunia seperti ini, Rizal Ramli pun yang konon ahli ekonomi, tak akan bisa mengerem pertumbuhan ekonomi yang menurun. Bisa jadi lebih buruk, karena yang percaya ia ahli adalah Fadli Zon. Padal Zon tak tahu apa-apa, kecuali kebaikan Soeharto, setelah sekarang merasa ditinggalkan Prabowo.

Tanpa harus menunggu inisiatif pemerintah, apalagi parpol dan elitenya, kita semua bisa melakukan gerakan sosial itu, dengan telpon digenggaman kita.

Setidaknya 3 atau 5 orang pun, bisa melakukan gersos (gerakan sosial) melalui medsos. Bukankah kita punya menteri Dikbud yang dulu sukses bikin start-up per-ojol-an yang bisa ditiru dalam skala kampung atau desa? Ini saat mengubah WAG tak hanya ajang perdebatan ecek-ecek, kayak soal sorga dan neraka itu.

Memutar distribusi sembako dan sirkulasi uang, agar tak berhenti di deposito orang kaya yang nyaman di rumah saja. Persediaan uang nasional kita cukup. Yang menjadikannya cupet karena distribusi tidak adil, dan sirkulasinya makin menyempit dengan adanya Covid-19.

Social distance secara perhitungan medis bagus. Tetapi secara ekonomi, harus diantisipasi. Konon di Rusia, orang yang keluar rumah bisa dipenjara oleh Putin. Tapi di Indonesia, bagaimana jika ada orang mati bukan karena terjangkit Covid-19, tapi kelaparan di dalam rumah?

Baca Juga: Anies Lockdown Pecundang

Kalau tak diantisipasi, ekonomi riel kita bisa melumpuh, dan perlahan korban berjatuhan. Kita perlu gersos dengan medsos. Saatnya membuktikan medsos benar-benar media sosial. Karena mengutip ungkapan Joel Stein, setiap anggota masyarakat adalah tokoh masyarakat. Kita tak butuh pahlawan, yang cuma bisa berpose dan ngapusi.

***