Grup WA Itu Sudah Bubar

Kami mengorganisir diri mendukung Jokowi. Jadi buzzer Jokowi. Kita terang-terangan, memakai nama asli. Gak ada yang ditutupin. Sebab menyatakan dukungan politik bukan pekerjaan hina.

Kamis, 3 Oktober 2019 | 07:23 WIB
0
1073
Grup WA Itu Sudah Bubar
Ilustrasi WA Group (Foto: Detik.com)

Mulanya saya yang membuat group WA itu. Nama groupnya "ruang gerak". Isinya teman-teman yang suka nulis di FB, suka main twitter, pinter bikin meme, kartun, editing video-video kocak. Itu menjelang kampanye Pilpres kemarin.

Karena saya pendukung Jokowi, yang diundang adalah mereka yang saya perkirakan mendukung Jokowi. Juga mereka yang sering menyuarakan anti khilafah. Anti politisasi agama. Anti pengasong ayat untuk politik.

Maka terkumpulah nama-nama seperti Denny Siregar, Permadi Abu Janda, Aldie Alkaezar, Alifurahman, Yusuf Muhamad, Sunandi, Mas Jajak, Mbak Niken, Liza, Kang Pepih, Habibthink dan seabrek teman lainnya. Diskusi ngalor ngidul. Intinya, ngobrolin politik dengan tujuan memenangkan Jokowi.

Oiya. Saya gak memasukkan Birgaldo dan Mbok Niluh Djelantik dalam group. Sebab mereka memang sudah punya jalur perjuangan sendiri, partai. Bagi saya, mereka adalah orang-orang hebat yang punya integritas dan punya pilihan. Saya yakin, di manapun posisinya, mereka punya idealisme dan intergitas yang jempolan.

Memenangkan Jokowi juga bukan target satu-satunya. Sebab kita diikat oleh satu pemahaman bahwa agama harus dijauhkan dari hiruk-pikuk politik. Akan berbahaya jika agama menjadi tunggangan orang untuk merebut kekuasaan.

Rasanya selain group itu, saya juga ikutan puluhan group WA lain. Sama juga. Isinya para relawan Jokowi.

Kenapa saya lebih fokus membantu kampanye di medsos? Karena saya punya kesibukan. Gak mungkin terus-terusan pertemuan di darat, membantu kampanye door to door. Saya harus juga membagi waktu agar bisa tetap beli rokok sendiri. Dari usaha sendiri. Begitupun teman lainnya di group yang saya bentuk. Punya kesibukan masing-masing.

Ada yang jaga toko, ada juru masak mie goreng, ada driver ojeg online, ada ibu rumah tangga, dosen, kartunis, mahasiswa, karyawan swasta atau pengusaha. Eh, ada juga saya. Pengelola sebuah workshop media promosi.

Sialnya. Meski saya Jokower tulen. Ada dua orang karyawan saya, pembela Prabowo garis keras. Untung saja di ujung masa kampanye, saya kebagian kaos dan beberapa material kampanye. Saya bagikan ke mereka. Saya rayu agar memilih Jokowi. Satu orang berhasil jadi 'mualaf', satu orang lagi tetap keukeuh. Tapi dia suka kaos bergambar Jokowi. Gak apa-apa.

Untungnya saat nyoblos di kampungnya, dia akhirnya memilih Jokowi juga. "Saya takut kualat," begitu candanya. Alhamdulilah.

Kembali ke group WA tadi. Group itu isinya gak pernah serius. Cekakak-cekikik. Sambil ngomong politik. Atau merumuskan cara ngepot para kampret di media sosial. Obrolan via WA. Dijalankan disela-sela kesibukan. Dari rumah atau dari kantornya masing-masing.

Ketika ada acara debat capres, kita janjian ketemu. Yang dari luar kota datang ke Jakarta. Tumplek. Ledek-ledekan. Seru.

Sayangnya group WA itu sudah gak ada lagi. Saya memutuskan membubarkan setelah usai Pemilu. Dan saya gak mau bikin lagi. Males.

Nah, saat acara nonton debat bareng itu, Alifurahman dari Seword berkesempatan memotret momen spesial. Pas semuanya tumplek blek. Dari bahan itulah dia membuat tulisan, terbit di Seword pas setelah Pilpres, yang akhirnya digoreng kesana-kemari. Dan lengkaplah stempel buzzer istana menempel di jidat kami.

Emang iya. Kami mengorganisir diri untuk mendukung Jokowi. Jadi buzzer Jokowi. Kita terang-terangan, kok. Memakai nama asli. Orang asli. Gak ada yang ditutupin. Sebab menyatakan dukungan politik bukanlah pekerjaan hina.

Alif menuliskan soal kakak pembina. Sebutan yang sering menjadi bahan ledekan kita ke teman-teman segroup yang punya ide brilian dalam menemukan kosa kata atau narasi. Namanya juga group anak-anak PAUD. Begitulah kelakuannya.

Setelah Pilpres, rupanya problem bangsa ini makin memuncak. Teman-reman segroup WA yang sudah bubar itu, terus menyuarakan pikiran-pikirannya di medsos. Kini opininya sendiri-sendiri. Gak lagi didiskusikan.

Jangan heran jika belakamgan opini Denny Siregar sering bertabrakan dengan saya. Atau saya berbantahan dengan Permadi di twitter. Kadang Yusuf Muhamad juga berbeda pendapat dengan Alifurahman. Atau Habibthink yang muter-muter sendiri dengan narasinya. Tulisan Aldie atau Kang Pepih, seperti biasanya, adem dan detil.

Intinya. Semua saling silang.

Yang saya tahu, meski banyak perbedaan, dari teman-teman itu punya satu kesamaanya. Kita punya musuh bersama : para pengasong khilafah. Atau kelompok yang mau menyeret Indonesia seperti Suriah. Kalau soal khilafah dan gerombolan pengasong agama, narasi kita selalu sama. Lawan!

Kedua. Kita beda pendapat tanpa harus merusak sisi personal teman lainnya. Meskipun berbedaan saya dan Permadi cukup tajam, misalnya. Toh, kalau ketemu ngopi, dia bayarin saya juga. Dengan catatan, jika kebetulan dia lagi punya duit. Seringnya sih, dompetnya ketinggalan.

Artinya. Beda ya, beda. Adu argumen di medsos. Gak perlu harus melo-melo kayak lagu Glen Fredly. Apalagi saling merusak dan menjelekkan. Wong, orang juga tahu, kita ini semuanya jelek. Kalau dijelekkan lagi namanya mubazir.

Rasanya fenomena itu sama dengan para relawan lainnya. Setelah Pilpres, kita kembali ke habitat masing-masing. Yang tadinya bersatu dalam satu group atau satu kumpulan mulai keliatan perbedaanya. Namanya juga manusia. Kalau sama semua itu namanya semut.

Itu biasa. Amat sangat biasa. Yang tidak biasa jika akhirnya kita melupakan bahwa kita punya musuh bersama : pengason khilafah. Dan para penjaja agama untuk politik.

Jika kini ada perbedaan pendapat di antara kita, mestinya kita punya stok pemakluman yang cukup. Sesekali sampaikan pendapatmu. Tuliskan fikiranmu. Tapi gak perlu merasa kita lebih benar dibanding teman lainnya. Misalnya, dengan terus-terusan mutung dan diumbar ke medsos.

Apalagi teman-teman yang aktif di gerakan tumbangkan akun. Sangat pekok jika justru yang ditumbangkan akun rekan sendiri. Padahal gerombolan khilafah dan srigala siap menerkam kapan saja.

Rumuskan saja siapa musuhmu. Fokus pada peperangan itu. Gak usah merasa lebih suci dengan memberangus akun temanmu sendiri. Atau memusuhinya. Cuma orang bodoh, yang saat perang, malah membunuh temannya sendiri.

Suriah, Libya, dan Irak, hancur salah satunya karena sebagian rakyatnya lebih suka menikam temannya sendiri ketimbang menghalau musuh yang siap menerkamnya.

Saya khawatir, fenomena itu terjadi juga di antara kita.

"Mas, emang yang ikut group WA kamu itu semuanya jelek?" tanya Abu Kimkum.

Saya tersenyum mendengar pertanyaan itu.

"Pantas saja aku gak dimasukin ke group!"

Sialan lu!

***