Suara ini yang ingin diminta oleh para caleg yang gagal tersebut dengan mengajukan gugatan dan meminta pengadilan untuk memberi wewenang kepada Dewan Pembina dan DPP Gerindra.
Sempat beredar 14 caleg Gerindra menggugat Dewan Pembina yaitu Prabowo Subianto dan Dewan Pimpinan Pusat atau DPP Gerindra di Pengadilan Negeri, Jakarta Selatan dengan tuntutan untuk menetapkan ke-14 caleg tersebut sebagai caleg terpilih.
Membaca atau mendengar tuntutan ke-14 caleg Gerindra tersebut agak ada yang ganjil, masak iya mereka menggugat Prabowo Subianto sebagai Dewan Pembina Partai Gerindra. Padahal dalam gugatan tersebut ada keponakan atau anak dari Hasyim Djoyohadikusumo yaitu Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, meski akhirnya ia mencabut gugatannya.
Rupanya ke-14 caleg Gerindra tersebut bukan menggugat Prabowo Subianto sebagai Dewan Pembina Partai Gerindra atau DPP. Tetapi menuntut pengadilan untuk memberikan wewenang kepada Dewan Pembina dan DPP untuk bisa menetapkan caleg terpilih dengan alasan pemilih gambar partai lebih banyak dibanding pemilih caleg.
Tuntutan ini lebih lucu dan membingunkan.
Bukankah penetapan caleg terpilih itu berdasarkan hasil pileg yang ditetapkan oleh KPU? KPU lah yang menetapkan caleg terpilih berdasarkan metode Sainte Lague di setiap Daerah Pemilihan atau Dapil.
Seperti ucapan Komisioner KPU yaitu Wahyu Setiawan ,"Yang berhak menetapkan caleg terpilih adalah KPU. Yang berhak menetapkan pasangan presiden wakil presiden terpilih, calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten terpilih itu ya KPU. Ia mengatakan hal itu, Rabu (17/7/2019) di Jakarta.
Jadi setiap caleg berlomba-lomba mengumpulkan suara sebanyak-banyaknya supaya terpilih atau lolos menjadi caleg.
Rupanya,ke-14 caleg Gerindra ini suaranya kurang untuk bisa menjadi caleg terpilih. Ada yang kurang suaranya nanggung, misalnya kurang 1.000 sampai dengan 5.000 suara. Ada juga kurang suaranya banyak, misalnya 20,000 sampai dengan 30.000 ribu suara.
Banyak para caleg yang gagal atau tidak terpilih akhirnya mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi atau MK dan merasa suaranya hilang. Tapi tidak bisa membuktikan-hilang suaranya di TPS mana dan hilang berapa suara-mereka tidak bisa membuktikan di Mahkamah Konstitusi. Pokoknya menggugat. Iseng-iseng siapa tahu dikabulkan.
Nah, kenapa ke-14 caleg Gerindra tersebut meminta pengadilan untuk memberi wewenang kepada Dewan Pembina dan DPP Gerindra dalam penetapan caleg terpilih, padahal sudah jelas itu wewenang KPU?
Rupanya, maksud tuntutan ke-14 caleg Gerindra tersebut ingin minta penambahan suara dari pemilih yang memilih atau mencoblos lambang atau gambar partai. Karena banyak masyarakat yang memilih atau mencoblos gambar partai dibanding memilih atau mencoblos gambar caleg.
Seperti kita ketahui, dalam pileg memakai sistem terbuka, yaitu masyarakat memilih caleg berdasarkan pilihannya atau dan sesuai foto atau gambar caleg tersebut. Namun demikian, masyarakat yang memilih atau mencoblos gambar partai, maka itu juga sah.
Nah, suara ini yang ingin diminta oleh para caleg yang gagal tersebut dengan mengajukan gugatan dan meminta pengadilan untuk memberi wewenang kepada Dewan Pembina dan DPP Gerindra dalam menetapkan caleg terpilih.
Dengan harapan, kalau gugatan tersebut dikabulkan oleh pengadilan, maka mereka bisa meminta penambahan suara dari pemilih yang mencoblos gambar partai. Karena mereka kekurangan suara, sehingga tidak lolos menjadi caleg terpilih.
Akan tetapi, kalau pun pengadilan mengabulkan gugatan mereka, maka akan bertentangan dengan undang-undang KPU, bahkwa KPU-lah yang berhak sesuai UU menetapkan caleg terpilih berdasarkan perolehan suara para caleg tersebut.
Terimalah kenyataan, terkadang tidak terpilih menjadi caleg adalah sesuatu yang menyakitkan. Ada yang kalah dalam pemilihan DPD dan menyalahkan foto calon DPD lainnya karena memakai foto editan.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews