Pilpres dan Jubah-jubah Beraroma Darah

Nurani mereka sendiri pun tampaknya sudah tak didengarkan lagi. Sebab pesan mereka yang ingin berkuasa, menghalalkan segala cara, lebih terdengar oleh mereka.

Rabu, 8 Mei 2019 | 22:42 WIB
0
456
Pilpres dan Jubah-jubah Beraroma Darah
Semestinya penampilan dengan pakaian putih diikuti pikiran yang juga putih - Foto: Getty Images

Bagi masyarakat muslim, ulama adalah sekelompok orang yang sangat dihormati. Sebab, dari merekalah umat mencari petunjuk, dari bagaimana berpikir hingga seperti apa harus bertindak.

Sayangnya, belakangan, ada segelintir orang mengatasnamakan ulama, alih-alih membuat umat muslim menjadi lebih baik, justru larut dalam pikiran-pikiran antagonistik, keinginan bermusuhan, hingga keinginan perang.

Narasi-narasi yang berbau pembunuhan semakin leluasa dipamerkan mereka yang mengaku sebagai "pembela ulama". Setidaknya, ini juga yang berseliweran di berbagai media massa.

Maka itu juga, di dinding facebook saya sendiri, saya sebutkan contoh seorang tokoh yang dianggap ulama, Yusuf Martak. Ia beruntung karena memiliki nama dan wajah berbau Timur Tengah. Sebab, di negeri ini, siapa saja yang berasal dari sana, tampaknya mampu bikin nalar dan akal sehat penduduk di sini pun pasrah. Enggan bekerja.

Parahnya lagi, keinginan-keinginan berbau darah itu muncul hanya dari obrolan-obrolan yang berbau politik. Ringkasnya, mereka yang mengaku pembela ulama, akan siap untuk menumpahkan darah, membunuh atau terbunuh, hanya gara-gara pilihan politik.

Baca Juga: Gara-gara Ini Parpol Koalisi Oposisi Mendadak Waras dan Bebas dari Setan Gundul

Sesekali bisalah Anda coba stalking dengan kata kunci, misalnya, Pilpres 2019. Di sanalah mereka memunculkan kesan-kesan yang jelas-jelas mengancam kedamaian dan keutuhan negeri ini. Di sanalah mereka berusaha menciptakan kesan seolah pemandangan penuh darah adalah pemandangan yang sangat mengundang gairah.

Bedebah! Inilah kata yang membuncah di pikiran saya. 

Sebab, hanya gara-gara politik, tampaknya ada golongan yang tak peduli jika kelak anak-anak negeri ini bersimbah darah. Mereka merasa sudah dapat jaminan kelak disambut Tuhan dengan senyuman hanya karena ke mana-mana rajin mengenakan jubah, meskipun isi pikiran mereka lebih banyak beraroma sampah.

Mereka menularkan rasa gelisah. Apakah negeri ini akan tetap "berpesta" setelah pesta demokrasi, atau harus berpesta di atas darah. Narasi mereka tampilkan cenderung mengarah ke arah aroma darah dan perang secara meriah.

Rasa gelisah itu juga dirasakan oleh banyak intelektual di negeri ini yang masih mengedepankan rasio dan menimbang berbagai risiko jika agama dijual untuk kepentingan politik.

Abdul Wahid, pengamat komunikasi politik dari Fisip Universitas Brawijaya, Malang, melansir BBC News Indonesia juga melontarkan kegelisahan senada.

"Yang mereka lakukan sekarang tidak ubahnya dengan membuat narasi bahwa ketika calon pilihan mereka kalah, maka satu-satunya jalan adalah mereka mendelegitimasi peran penyelenggara pemilu, yaitu KPU, dengan tidak mempercayai hasil pemilu," kata pengamat ini.

Dari sanalah, mereka yang selama ini menikmati popularitas dari seringnya tampil menjaga api amarah dan berbagai fitnah berbekal jubah, bisa tetap semringah. Mereka akan semakin sering diundang ke mana-mana, dikagumi di mana-mana, jadi buah bibir dan dijadikan idola di mana.

Baca Juga: Prabowo dalam Perangkap "Setan Gundul"

Sebenarnya tidak masalah. Persoalannya jika para penebar fitnah berbekal jubah semakin mewabah, bukan mustahil akan membawa risiko semacam darah tertumpah.

Di beberapa negara seperti Vietnam, Kamboja, hingga Filipina punya catatan berdarah-darah hanya karena cara berpolitik yang dibalut amarah. Tak terkecuali negeri ini sendiri, punya sejarah bagaimana banyaknya darah yang tumpah hanya karena urusan politik.

Rasanya akan lebih elok jika mereka yang getol menebar hasutan tidak perlu membawa-bawa status ulama. Sebab apa saja yang berbau agama, di negeri ini, memang rentan ditelan mentah-mentah. Namun berharap seperti ini kepada mereka yang gemar menebar amarah hingga fitnah, pun rasanya mustahil.

Sebab, nurani mereka sendiri pun tampaknya sudah tak didengarkan lagi. Sebab pesan mereka yang ingin berkuasa, menghalalkan segala cara, lebih terdengar oleh mereka.

***