Petisi KPK, "Big Fish" dan Amplop Serangan Fajar

Pegawai di bawah Deputi Penindakan KPK merasa selama setahun terakhir sering mengalami kebuntuan untuk mengurai dan mengembangkan perkara.

Kamis, 11 April 2019 | 19:18 WIB
0
494
Petisi KPK, "Big Fish" dan Amplop Serangan Fajar
Ilustrasi KPK (Foto: Liputan6.com)

Penanganan kasus korupsi di tanah air semakin memprihatinkan. KPK sedang mengalami masa-masa kritis. Kalau dulu penggembosan komisi antirisuah ini dilakukan dari luar, sekarang nampaknya sedang berlangsung dari dalam.

Kondisi gawat itu terungkap dari petisi yang ditandatangani oleh sedikitnya 114 penyelidik dan penyidik KPK. Mereka merasa tugasnya dalam mengejar 'ikan besar' dihambat atau dihalang-halangi.

Saya mendapatkan kabar dari teman wartawan, konon pengungkapan kasus uang politik Rp 80 milyar yang disiapkan dalam 400 ribu amplop cap jempol merupakan salah satu bentuk 'perlawanan' terhadap hambatan yang kemudian dituangkan ke dalam petisi.

Kasus 400 ribu amplop politik yang menjerat politisi Golkar Bowo Sidik jadi tambah menyeramkan. "Saya diminta oleh partai menyiapkan 400 ribu.... Nusron Wahid meminta saya menyiapkan 400 ribu. Diminta oleh Nusron Wahid untuk menyiapkan itu," kata Bowo usai menjalani pemeriksaan di KPK, Selasa kemarin.

Nusron pun langsung membantah, tapi Bowo bersikukuh pada pernyataannya dan meminta mantan ketua GP Ansor itu jangan munafik.

Menurut pengacara Bowo, uang dalam amplop berasal dari seorang menteri yang belum diungkap identitasnya. Dan total amplop yang disiapkan mencapai 1 juta, 400 ribu disiapkan Bowo, 600 ribu disiapkan Nusron.

Lalu muncullah lima poin petisi itu.

Penyerahan petisi oleh penyidik dan penyelidik ke Pimpinan KPK tentu tidak serta-merta melengkapi drama kasus-kasus korupsi tingkat tinggi yang sedang ditangani KPK. Petisi itu disampaikan setelah sekian dialog formal dan informal tidak memberikan hasil.

Para pegawai di bawah Deputi Penindakan KPK merasa, selama setahun terakhir, sering mengalami kebuntuan untuk “mengurai dan mengembangkan perkara sampai ke level pejabat yang lebih tinggi (big fish), level Kejahatan Korporasi, maupun ke level Tindak Pidana Pencucian Uang”.

Berikut saya ringkas lima poin penyebab kebuntuan di Kedeputian Penindakan KPK yang termaktub dalam petisi yang ditayangkan beberapa media pers:

1. Ekspose perkara diulur-ulur. Pelaksanaan ekspose perkara ditunda dengan alasan yang tidak jelas dan penundaannya hingga berbulan-bulan sampai perkara pokoknya selesai. Ini menutup potensi pengembangan perkara ke pejabat yang lebih tinggi.

2. Informasi OTT bocor. Beberapa bulan belakangan hampir seluruh Satgas di Penyelidikan pernah mengalami kegagalan dalam beberapa kali pelaksanaan operasi tangkap tangan yang sedang ditangani karena dugaan adanya kebocoran Operasi Tangkap Tangan (OTT).

3. Pengajuan saksi dipersulit. Pengajuan saksi-saksi pada level jabatan tertentu, ataupun golongan tertentu menjadi sangat sulit sehingga menghambat proses pengumpulan alat bukti. Selain itu ada perlakuan khusus terhadap saksi, seperti pemberian akses ke ruang pemeriksaan lewat lift bukan lewat lobby depan.

4. Penggeledahan lokasi tertentu tidak disetujui. Seringkali pengajuan lokasi penggeledahan pada kasus-kasus tertentu tidak diijinkan tanpa alasan yang jelas sehingga mempersempit bahkan menihilkan ruang gerak penyidik dan penyelidik dalam mengumpulkan alat bukti.

5. Dugaan pelanggaran berat dibiarkan. Beberapa pelanggaran berat yang dilakukan oleh oknum di penindakan tidak ditindaklanjuti secara gamblang dan transparan penanganannya oleh pihak Pengawas Internal. Hal ini seringkali menimbulkan pertanyaan di kalangan pegawai, apakah saat ini KPK sudah menerapkan tebang pilih dalam menegakkan kode etik bagi pegawainya.

***