Perang dalam Kulkas

Jika Pilpres 2014 merepresentasikan ‘kelompok Jokowi’ versus ‘kelompok Prabowo’, maka pihak yang berada di kelompok Prabowo merasa tersingkir.

Senin, 8 April 2019 | 08:24 WIB
0
327
Perang dalam Kulkas
Presiden Joko WIdodo (Foto: Agus Suparto/fotografer keluarga Presiden RI)

Pilpres 2019 seolah kisah perang Bharatayudha. Bisa jadi satu dan lain pihak menuding dirinya Pandhawa, dan lawan sebagai Kurawa. Meski dengan gampang, secara guyon bisa mengatakan jika Amien Rais sebagai Sengkuni, kita tahu siapa yang dimaksud Kurawa.

Jokowi adalah hasil pilpres (2014), yang mengubah banyak hal, termasuk kegagapan kita atas preferensi politik dan teori-teori politik modern yang berubah. Meskipun juga bisa dipahami, sebagaimana pandangan Emma Goldman, seorang filsuf politik; Kalau pemilihan umum mengubah segala sesuatu, ia akan dinyatakan ilegal. Jokowi termasuk dalam hal itu, bagi kelompok yang tak bisa menerimanya. Lebih-lebih, pihak-pihak yang kalah, dan dengan sendirinya tersingkir.

Jika Pilpres 2014 merepresentasikan ‘kelompok Jokowi’ versus ‘kelompok Prabowo’, maka tentu pihak-pihak yang berada di kelompok Prabowo yang merasa tersingkir. Sebagaimana polarisasi itu tampak di parlemen, koalisi partai-partai, dan dengan sendirinya individu poltikus dan segala kepentingannya.

Polarisasi itu kemudian menyebar, beranak-pinak, juga di-copypaste, direproduksi, dikapitalisasi, dalam berbagai bentuk. Sebagaimana kemudian kita lihat munculnya dua kubu di masyarakat, yang kita sebut dalam Pilpres 2019 ini (sebagai kelanjutan atau kristalisasi Pilpres 2014), menjadi kecebong dan kampret. Apa boleh buat, demikianlah adanya, dengan segala sentimennya.

Persoalannya, perbedaan itu begitu kentara dan tajam. Sengitnya kontestasi (untuk tak menyebut permusuhan), membuat warna politik begitu keruh. Di mana lontaran pendapat dibangun dengan argumentasi parsial dan partisan, baik pada kalangan terdidik dan bukan.

Bagaimana sekelompok masyarakat mengklaim kawasannya sebagai area akal sehat, namun dengan cara yang tak meyakinkan, dan justeru menunjukkan adab yang paradoksal?

Sebagai contoh: Prestasi Sri Mulyani, untuk ketiga kali sebagai Menteri Keuangan Terbaik di kalangan internasional, dilecehkan salah satu pimpinan DPR-RI, hanya karena beda kepentingan. Dikatakan penghargaan itu tak ada artinya, karena yang lebih berharga adalah penghargaan rakyat. Tak diingat, bahwa prestasi Sri Mulyani dihargai dalam konteks menjaga kesehatan ekonomi nasional, yang pada akhirnya bertujuan meningkatkan perekonomian rakyat.

Mei 2019, dijadwalkan Jokowi akan memimpin Sidang Dewan Keamanan PBB. Bagi yang anti Jokowi, tentu itu dianggap bukan prestasi, dengan segala argumentasinya. Jika kita renungkan, bagaimana akal sehat bisa dibangun dalam situasi batin yang terluka?

Politik memang kejam, tapi Napoleon Bonaparte menyatakan, "Dalam politik, kebodohan bukan suatu penghambat." Makanya menurut De Gaulle, politikus tak pernah percaya ucapannya sendiri. Mereka justru terkejut bila rakyat mempercayai.

Perubahan politik menuju fitrah, yakni politik yang dewasa, yang bekerja untuk kesejahteraan umat manusia, tidak mudah. Sebagaimana tak gampang menerima Jokowi, bagi yang difrozen oleh kulkas bernama masa lalu.

***