Dalam tulisan sebelumnya peyebab gagal bayar asuransi Jiwasraya yang sudah jatuh tempo bulan oktober 2018 yaitu karena investasi saham. Tetapi berdasarkan informasi lain penyebab gagal bayar, yaitu karena Repurchase Agreement atau yang lebih dikenal (REPO) saham.
Dari sumber yang ditulis KONTAN, institusi atau perusahaan yang melakukan REPO kepada Jiwasraya ingkar janji atau tidak membeli kembali saham yang telah di REPO-kan. Sebelum melakukan REPO, institusi atau perusahaan ini menggoreng saham terlebih dahulu, seakan-akan saham ini bagus dan aktif di market.
Saham yang "digoreng" pasti naik atau hijau, tapi ketahuilah, penjual dan pembeli adalah institusi atau bandar yang sama dengan memakai banyak sekuritas. Dalam menggoreng saham pasti ada bandarnya dan kata ini udah familiar di dunia saham.
Apa sih Repurchase Agremeent atau REPO?
REPO artinya kontrak atau perjanjian jual-beli saham dengan janji membeli kembali saham pada jangka waktu tertentu. Atau bahasa mudahnnya yaitu pernjanjian pinjaman dana dengan jaminan atau agunan yaitu saham itu sendiri. Jadi saham digunakan sebagai jaminan atau agunan. Atau "menggadaikan" saham.
Dan kenapa orang tertarik membeli REPO saham? Karena iming-iming bunga yang menarik atau besar. Dan dalam jangka waktu REPO, institusi atau perusahaan membayar bunga bulanan kepada pihak pembeli saham REPO, dalam hal ini Jiwasraya. Dan bunganya lebih besar dari bunga deposito bank, inilah sebagai daya tarik orang atau institusi tertarik membeli REPO.
Perlu diketahui, pembeli REPO saham, bisa investor perorangan atau instistusi atau perusahaan. Sebagai contoh institusi DAPEN atau dana pensiun atau sebagai contoh kasus: Jiwasraya (patut diduga).
Jika terjadi gagal bayar yang dilakukan oleh peminjam pada saat jatu tempo, maka pihak yang membeli REPO akan menyita saham sebagai konsekuensi gagal bayar yang dilakukan oleh peminjam dana. Permasalahannya tidak sesederhana itu. Kenapa? Karena saat jatuh tempo harga saham di market sudah jatuh biasanya melebihi 50% dari harga waktu membeli REPO.
Sebagai contoh: pada awal REPO atau gadai saham, harga sahamnya Rp500, pada waktu jatuh tempo harga sahamnya jatuh di harga Rp200. Ruginya sudah Rp300 per lembar saham. Satu lot, yaitu 100 lembar saham. Kalau aturan yang dulu satu lot sama dengan 500 lembar.
Inilah yang sering diderita oleh pihak investor, baik investor perorangan maupun investor institusi mengalami kerugian. Pokok dana yang untuk membeli REPO tidak kembali, malah mengalami penurunan harga saham, dan tentunya kerugian sudah di depan mata.
Kenapa institusi melakukan REPO? Karena butuh dana cepat dan sebagai iming-iming memberi bunga yang lebih besar dari bunga deposito bank.
Timbul pertanyaan lanjutan, kalau butuh dana cepat, kenapa tidak dijual langsung di market atau di bursa? Karena kalau menjual di market atau di bursa, pasti tidak akan diserap oleh market alias tidak laku. Karena saham-saham yang di REPO-kan biasanya saham yang tidak aktif atau hidup segan mati tidak mau.
Oyaaa, dalam market saham ada posisi "bid" dan "offer", bid artinya permintaan atau pembeli dan "offer" artinya penawaran atau penjual.Biasanya institusi yang melakukan REPO atau gadai saham mempunyai jumlah saham yang jumlahnya ratusan ribu lot. Sedangkan dalam "bid dan offer" untuk saham yang di REPO-kan "bid dan offer" nya hanya ribuan lot atau hanya ratusan lot. Makanya kalau ingin menjual di market tidak terserap atau tidak ada pembelinya, sedangkan saham yang mau dijual dalam jumlahnya gelondongan yang mencapai ratusan ribu lot.
Seharusnya investor sebelum membeli REPO punya pertanyaan-pertanyaan yang kritis. Seperti: kenapa melakukan REPO, kenapa tidak dijual langsung di market atau bursa?Jangan hanya iming-iming bunga lebih besar, pokok dana malah tidak kembali atau harus menanggung kerugian.
Dari dua pertanyaan diatas akan ketahuan kwalitas saham yang di REPO atau gadaikan. Kalau sahamnya bagus dan terserap oleh market, maka tidak perlu melakukan REPO. Jual saja di market secara langsung. Tapi kalau sahamnya abal-abal atau saham gorengan, di jual di market tidak akan terserap. Dan akhirnya melakukan REPO atau gadai saham.
Dan biasanya saham yang di REPO kan adalah saham-saham yang harga di bawah Rp1.000 atau bisa juga di atas itu, tetapi biasanya sahamnya tidak aktif. Dan jarang terjadi ada institusi melakukan REPO pada saham-saham "blue chip" karena saham ini aktif dan diminati oleh para investor.
Sebenernya REPO bukan barang yang haram, akan tetapi dalam prakteknya ada niat yang tidak baik oleh institusi yang melakukan REPO, sekalipun tidak semuanya.Apa yang di maksud "niat tidak baik"?
Institusi yang melakukan REPO atau gadai saham, dari niat awal memang ingin tidak membeli kembali saham yang sudah digadaikan atau REPO, artinya ada itikad tidak baik dari awal. Mereka hanya ingin mencari dana secara cepat dengan REPO, mereka lebih pintar dan lihai "mengakali" aturan-aturan. Mana mereka mau membeli kembali saham yang sudah digadai atau REPO, kalau harganya sudah jatuh?
Ini menyangkut "moral hazard", yaitu suatu sifat karakter atau perilaku yang bisa menimbulkan kerugian. Dalam hal ini yang dirugikan adalah para investor.
Sedangkan pihak regulator Otoritas Jasa Keuangan(OJK) seakan tutup mata terhadap kasus-kasus gagal bayar yang dilakukan oleh institusi yang melakukan REPO atau gadai saham. Jawabannya hanya diplomatis dan seakan menyalahkan pihak investor.
Setali tiga uang, pihak atau penanggung jawab bursa Indonesia juga sama, tidak memberikan sanksi yang tegas kepada institusi yang melakukan gagal bayar, padahal mereka sebenarnya tahu pelaku-pelaku atau institusi yang tidak punya etikad baik dalam melakukan REPO atau gadai saham.
Seharusnya bisa masuk ke ranah pidana kalau ada pelaku REPO atau gadai saham yang gagal bayar dan tidak membeli atau menebus kembali .Supaya mereka jera dan tidak banyak korban yang diderita oleh investor
Berhati-hatilah dalam investasi apapun, jangan tertarik bunga atau imbal hasil yang besar.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews