Hashim dan Kapitalisme Politik Pragmatis, Anak-Cucu PKI Pun Dirangkul

Rabu, 6 Februari 2019 | 06:35 WIB
0
538
Hashim dan Kapitalisme Politik Pragmatis, Anak-Cucu PKI Pun Dirangkul
Hashim Djojohadikusumo (Foto: Media Indonesia)

Selama ini, koalisi 02 identik kebersamaan dengan FPI dan kecenderungan HTI pun lebih dekat. Tiba-tiba, tanpa angin, tanpa badai menyatakan kalau mereka membuka kesempatan kepada anak cucu PKI, asal sudah bertobat dan berubah. Cukup aneh dan luar biasa lucu sebenarnya, bagaimana  perilaku selama ini.

Salah satu komentar dalam artikel Nasakom ala Hasjim dari Prof Felix Tani cukup menarik dan patut dilihat lagi, melihat latar belakang adik capres ini adalah seorang pengusaha. Tentu sah saja pengusaha atau apa saja menjadi politikus. Namun sikap dalam menjalani itu menjadi pembeda. Pengusaha yang kental akan karya sosialnya juga ada. Ada pula yang cenderung mengejar keuntungan alias kapitalis tulen.

Sebentuk pragmatisme dalam berpolitik jelas menggunakan segala cara untuk mendapatkan pemilih. Apapun dilakukan dan ditempuh, asal mendapatkan dukungan dan mereka memilih. Salah satunya jelas kedekatan dengan kelompok yang sudah dibubarkan dengan resmi sebagai ormas yang tidak cocok dengan jiwa bangsa.

Pembelaan dan kebersamaan dengan HTI juga tidak bisa disangkal lagi. Cukup kuat dan memiliki kemungkinan bahwa mereka memiliki kepentingan yang sama. Saling berkepentingan dan bisa saling memanfaatkan. Kepentingan yang bisa ada irisan dan mungkin bisa saling menguntungkan, ketemu di sana.

Apa yang dianut oleh Hashim ini, tentu tidak lepas dari koalisi 02 yang di dalamnya adalah Hasjim dan kerabatnya yang menjadi sentral pergerakan mereka. Sangat mungkin bahwa selama ini isu yang berkembang namun terlupakan soal isu kardus itu ada benarnya. Bagaimana mungkin orang dan partai yang dituding itu toh diam saja. Mana ada sih di Indonesia tidak menerima diam saja? Lha menerima dan salah saja berteriak-teriak. Tuh lihat  perilaku Ahmad Dani dan Buni Yani memberikan indikasi dan bukti itu.

Pragmatisme di dalam berpolitik. Apapun dilakukan yang penting menguntungkan. Bagaimana mereka mengulang-ulang kisah Ahmad Dani yang di penjara. Mulai memperkarakan mengapa langsung ditahan, dinyatakan sebagai pahlawan demokrasi, dan seterusnya. Kunjungan beruntun dari kolega mereka, dari Sandi, Amien, dan ada yang ngamuk seperti Lius, ini jelas ada perencanaan bukan hanya terjadi begitu saja.

Sebenarnya sudah diawali dengan kegagalan kisah ratu hoax, yang kini menjadi musuh utama mereka selain Jokowi nampaknya. Mana mereka mau membezuk, merasa kenal pun, tak.  Coba jika berhasil kabur ke luar negeri, atau tidak ketahuan boroknya kalau itu oplas. Jangan tanya lagi, bisa ada demo berjilid-jilid.

Penegakan hukum Buni pun dipanjang kali lebarkan dengan berbagai-bagai dalih. Urusan tempat saja ribut. Padahal dengan kisah yang sama Ahok berperilaku berbeda jauh. Untuk apa sih itu semua? Jelas demi menggaet pemilih. Coba tidak masa kampanye mana mau mereka riuh rendah dan sok peduli begitu. Mau bukti? Memang Buni Yani ini orang ertama masuk bui karena UU ITE? Ke mana mereka ketika banyak kasus lain?

Terbaru ya jelas “kesleo” lidah doa yai sepuh. Jelas jika beliau itu orang muda, salah sebut jadi gorengan ya monggo, lha ini memang sudah sepuh. Salah ya wajar. Kog diam ketika dulu kolega mereka berdoa politik dalam acara resmi kenegaraan diam saja. Ke mana mereka yang sok religius itu?

Ketika menuding Jokowi sebagai rival adalah PKI, dan dijawab bahwa mana ada anggota PKI balita, toh masih saja meminta test DNA. Ini otaknya di mana sih, mana ada DNA soal filiasi politik. Lha nyatanya memusuhi Pancasila, namun emnerima gaji, maling dari bumi Pancasila juga oke-oke saja. Kog tidak malu ya? Eh malah pihak lain diminta membuktikan kalau bukan PKI, mereka tiba-tiba membuka peluang dengan tangan terbuka. Apa artinya? Jelas pragmatisme semata.

Lucu lagi ketika ada batita menjadi bahan aduan ke Bawaslu. Mana ada sih anak di bawah liga tahun eh malah jadi pelaku kampanye. Ini apa iya karena politik dan demokrasi waras? Ini jelas demokrasi kacau dan iri dengki semata. Susah menghadapi pola pendekatan asal berbeda dan pihak lain salah. Demokrasi akal-akalan semata.

Beberapa perilaku selama ini jelas memberikan gambaran kalau mereka hanya fokus pada kejatahan pihak lain. Jenis mencari keutungan semata, bukan membangun citra diri sebagai koalisi dan partai politik bermartabat dan berkualitas. Selama empat tahun lebih tidak pernah berpikir dan berbuat untuk membangun citra baik, berpikir kualitas untuk menarik simpati, malah hanya mengintip di pojokan siapa tahu rival jatuh dan kemudian mendapatkan kursi.

Apalagi pilpres makin dekat. Perilaku ugal-ugalan makin kuat. Sama sekali tidak ada yang baru, duplikasi 2014, dan malah menyontek negara lain segala, namun toh isinya ya begitu deh. Tidak jauh-jauh dari sekadar mencari-cari kesalahan, bahkan perilaku dan pernyataan benar saja dijadikan salah dan dipelintir ke mana-mana.

Model begitu yang mau dijadikan pemimpin? Perjuangannya saja tidak ada. Hanya ada mencari keuntungan dengan merugikan pihak lain? Ini serius, bukan hanya soal sederhana. Gaya  kepemimpinan yang mendalam

Salam.

***