Sang Penasihat Kesambet

Semakin tua banyak hal yang semakin ia tidak tahu, bahkan ia bisa terpeleset jika ia tidak eling dan waspada.

Kamis, 26 Januari 2023 | 14:52 WIB
0
180
Sang Penasihat Kesambet
Emha Ainun Najib (Foto: Tribunnews.com)

Beliau menjadi penasihat sejak muda, menjadi rujukan bagi mereka yang ingin berkiprah di birokrasi, pemerintahan dan terjun dalam politik. Ia seperti sudah ditahbiskan menjadi kyai muda yang berkharisma. Dengan segudang pengalaman dan buku-buku yang ia tulis dengan spontan hasil pengalaman keliling ceramah sambil ngamen musik konser musik.

Siapa tidak kenal dia, diantara kyai yang kalem dan juga yang keblinger ia tampil dengan performance, nyeleneh dengan kelompok musik dan pementasan teater yang disukai banyak anak muda. Bule-bule perempuan suka mendekatinya, wartawati bahkan artis menyukai ceramah-ceramahnya. Bahkan salah satu artis penyanyi top, terkintil-kintil dan akhirnya menjadi istrinya.

Dengan segala kharismanya ia terus menuangkan gagasan, ide-ide nyeleneh yang kadang tidak dimengerti orang awam namun disukai oleh mereka yang bergerak dalam kebudayaan. Jelas, hari, bulan, tahun menjadi panggungnya untuk menebarkan pengetahuan menurut bahasa urakannya.

Tidak terasa tahun berganti, puluhan tahun mengarungi kehidupan dengan modal ceramah dan memberi nasihat. Beliau ibaratnya Begawan yang terus diminta pendapatnya, nasihatnya. Di masa tuanya mungkin ia akan memetik buah dari kesetiaannya menjadi penasihat.

Tidak terasa, seringkali ia merasa jauh di awang-awang. Berpengalaman   membuat puluhan buku , ribuan artikel, ratusan pementasan, ribuan kali ceramah, menjadi pencapaiannya yang  mungkin tidak bisa dipunyai oleh kyai-kyai desa lainnya.

Semakin bersantan  semakin bebas ia mau mencela, mengkritik. Toh, apapun ceramahnya akan didengar karena selalu ada pengikut setia yang akan selalu mengangguk-angguk setiap kali ceramah, meskipun kadang ceramahnya bagi sebagian orang dibilang offside, kebablasan dan lupa pada komitmen awal yang ia ajarkan pada para pengikutnya untuk tidak menghina secara personal, menyamakan seseorang dengan tokoh-tokoh yang sifatnya jauh seperti bumi dan langit.

Ia terpeleset lidah, kesambet menyamakan seseorang yang kebetulan saat ini mempunyai banyak pecinta, punya segudang prestasi,punya keberanian singa melawan musuh, tapi bagi Sang Penasihat malah disamakan dengan Raja diraja super jahat yang ada di masa lalu. Raja Diraja itu bisa melenyapkan ribuan nyawa dalam sekejab, bisa merampas harta dengan tanpa alasan apapun. Berani melawan maka hari mendatang tidak akan pernah terdengar namanya lagi, lenyap ditelan bumi.

Tapi sosok yang lebih dekat dengan sosok Petruk daripada sosok Bima yang gagah kekar dan tampan. Ia lelaki biasa, sama seperti kebanyakan masyarakat. Tetapi menurut referensi baik dari google, maupun testimoni dari ribuan bahkan jutaan manusia, keberaniannya jauh melebihi sosok yang gagahnya mirip dengan Bima, Ia tidak pernah takut pada siapapun. Boleh dibilang melihat postur dan wajahnya nyolong pethek.

Memang tidak ada manusia yang sempurna, tapi ia salah satu manusia yang paling sempurna yang mampu  dekat ke masyarakat tanpa harus berjarak. Ia lebih sering berada di lapangan, selalu ingin dekat dengan orang banyak, selalu ingin bersama masyarakat meskipun aturan protokol keamanan membatasinya. Ia sering gundah ketika ada yang tersakiti, meskipun secara masif musuh-musuh politiknya selalu menyerang dan melecehkan. Bahkan tidak sedikit ia dihina, disepelekan terus hampir sepanjang waktu.

Tetapi hebatnya ia sabar, jarang mengeluh, jarang menanggapi nyinyiran dan serangan-serangan dari para pemilik cuitan, penyinyir dan penghina. Apa-apa diserahkan semua cibiran, hinaan, cacian pada sang waktu hingga mereka yang menghina lelah sendiri bahkan banyak yang kena tulah dan berbalik menyerang mereka sendiri, senjata makan tuan.

Kesabaran yang benar-benar luar biasa. Apa yang membuatnya sangat sabar. Apakah karena  terbiasa hidup dalam terjangan banjir  setiap saat, karena waktu kecil ia pernah hidup dekat bantaran sungai, merasakan benar bagaimana suka-dukanya menjadi korban banjir.  Apakah hanya itu?  Banyak hal  menjadi pembelajaran hidup yang bisa dipetik dari sosok pesohor sepertinya. Ia seperti sudah selesai dengan dirinya, tidak lagi ambisi untuk memperkaya diri atau mencari cara memelihara popularitas. Segala pemberitaan muncul bukan karena ia mengundangnya namun karena pencari berita butuh informasi untuk segala sepak-terjangnya yang natural, tidak dibuat-buat.

Ia bukan ningrat dalam hal birokrasi, di tahun-tahun reformasi dengan tumbangnya orde baru bahkan ia bukan siapa-siapa. Masih kalah mentereng dengan Budiman Sujatmiko, WIranto dan Prabowo Subianto. Bahkan kalau dibuat film cameopun ia belum masuk. Waktu itu mungkin ia tengah memulai usaha, merangkak menjadi pengusaha, membangun semangat bertarung demi hidup dan kesejahteraan keluarga.Ia bahkan belum mengenal apa itu politik.

Ia baru mulai dikenal ketika terjun ke politik dengan menjadi walikota Solo. Dari berbagai informasi ia seorang pemimpin kota yang jarang mengambil gajinya. Kehidupannya sudah tercukupi dari hasil usahanya yang ia rintis dari bawah.

Panggung masih milik Sang Penasihat, tahun di mana  Sang Penasihat itu tengah berkibar, Sang Kesatria itu masih piningit, masih berproses menjadi manusia yang sabar dan tangguh. Karena jika suatu saat ia duduk menjadi seorang pemimpin ia sudah kenyang dengan segala serangan dari berbagai arah. Akan selalu tegar meskipun berbagai hinaan dan fitnah datang bertubi-tubi.

Sang Satrio Piningit itu masih berjuang agar usahanya pelan-pelan namun pasti akan maju. Dengan segala kesabaran usahanya sukses, lalu kemudian ada orang yang berusaha menariknya masuk dalam dunia politik.Takdir itu hakikatnya misteri maka siapapun tidak bisa menolak ketika akhirnya seseorang yang semula benar-benar tidak dikenal kiprah politiknya di masa muda tiba-tiba diperhitungkan karena ia tidak menipu dan melakukan pencitraan untuk memolesnya melewati batas kapasitasnya.

Ia berjalan mengikuti alur, bahkan kadang harus menciptakan jalan sendiri agar  bukan sekedar dekat dengan masyarakat tapi memang pengalaman hidup telah mencetaknya menjadi manusia tangguh. Secara politik boleh dikatakan  karbitan, tapi kenyangnya pengalaman hidup dengan segala problemanya semua sudah dirasakan. Ia hanya perlu sabar-sabar dan sabar, membiarkan segala serangan apapun lewat,  tetap berjalan meskipun banyak wajah-wajah nyinyir seakan menyepelekan kemampuannya.

Terus bagaimana dengan Sang Penasihat? Sang Penasihat hidup dalam lingkarannya yang membentuknya hidup dalam awan gemawan. Terbiasa disanjung, terbiasa hidup untuk memberi nasihat.  Jarang dinasihati, hal yang seharusnya selalu menjadi milik manusia karena manusia tidak akan pernah sempurna sampai kapanpun, maka sepandai apapun, sekuat apapun, sekuasa apapun ia perlu mendengar nasihat, perlu merendah agar tetap tinggi karena manusia yang sudah selesai dengan dirinya akan selalu menghargai apapun masukan dari segala makhluk termasuk kutu rambut, tengu, maupun bangsat yang seringkali membuat berang manusia karena tidurnya tidak nyenyak karena gigitan bangsat.

Ah, penulis pun harus introspeksi, reflektif, mendengar desisan angin yang barangkali memberi kabar baru, ajaran baru, ide baru. Sang Penasihat terlanjur berada di menara,  melihat kecil pada sosok pemimpin yang secara phisik tidak masuk kategorinya.

Adakalanya Sang Penasihat turun kembali ke bumi, terlalu kenyang menasihati hingga kerontang   nuraninya. Ia perlu mengisi ceruk jiwanya dengan mendengar suara orang-orang kecil.  Butuh nasihat. Semakin tua banyak hal yang semakin ia tidak tahu, bahkan ia bisa terpeleset jika ia tidak eling dan waspada.

***