Himpunan Mahasiswa Islam, Pudarnya Intelektualisme dan Ketertinggalan Umat Islam

Kamis, 4 Februari 2021 | 11:33 WIB
0
474
Himpunan Mahasiswa Islam, Pudarnya Intelektualisme dan Ketertinggalan Umat Islam
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI Online, www.komsas-malang.hmi.or.id)

Besok 5 Februari, Himpunan Mahasiswa Islam akan sampai pada Dies Natalis. Momentum ini akan menjadi kesyukuran sekaligus kesempatan untuk berhenti sejenak sebelum berlanjutnya masa.

Buku yang awalnya terbit dalam bahasa Inggris, kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Islam, Otoritarianisme, dan Ketertinggalan (Gramedia, 2019).

Kuru (2019) mengemukakan ketertinggalan dapat terjadi ketika hilangnya semangat intelektualisme dalam satu kelompok.

Itu juga yang menjadi kegelisahan bersama. Dimana intelektualisme sesungguhnya adalah jiwa, spirit, dan dinamisme mahasiswa Islam (Afkari & Wekke, 2018).

Dua hal yang dapat dilakukan, pertama kontekstualisasi NDP dalam konteks kekinian. Dimana tantangan dan juga perubahan lingkungan dalam arti yang luas terus wujud.

Diantara tantangan itu dapat dilihat dalam dua hal. Pertama, gugatan akan jalinan Islam dan kebangsaan.

Dalam skala nasional, bahkan transnasional gugatan ini mengemuka. Tidak saja dalam bentuk gugatan tetapi paham yang menyatakan adanya pertentangan antara kebangsaan dengan tauhid.

Kita bisa saksikan wujudnya penyerangan dan peperangan yang mengatasnamakan agama untuk mendirikan khilafah.

Bagi HMI tidak lagi menjadi diskusi. Pertautan keduanya, dibahasakan dengan keislaman dan kebangsaan. Ini yang menjadi komitmen sejak awal yang justru menjadi pendorong berdirinya HMI 74 tahun lalu.

Kedua, Democracy for Sale (Aspinall & Berenschot, 2019). Cornell University, Amerika Serikat menerbitkan buku ini dalam versi awal. Sementara Yayasan Pustaka Obor Indonesia kemudian menerbitkan dalam versi bahasa Indonesia.

Demokrasi Indonesia pasca Orde Baru diwarnai dengan pertukaran klientilistik, dalam pelbagai tingkatan. Terdapat pula agen politik yang bersifat ad hoc dan personal.

Dengan kata tingkatan yang digunakan Aspinall & Berenschot, maka penyebaran dunia gelap itu tidak dapat melepaskan keberadaan HMI. Baik secara personal pula, dan juga institusi.

Ketika itu juga terjadi dalam sirkulasi kepemimpinan di Kongres, Musda Badko, atau Konfercab, maka itu menjadi awal bagi lonceng kematian HMI.

Satu lagi agenda HMI dimana kepengurusan ganda terjadi terus menerus. Tidak lagi dalam skala pengurus besar, meluas bahkan sampai di komisariat. Tentu saja, cabang, dan badan koordinasi juga terjadi.

Persatuan Islam menjadi barang langka, dan susah dieja. Dimana HMI sendiri tidak memberikan praktik yang memungkinkan untuk menjadikan itu sebagai tema yang diperlukan umat Islam Indonesia.

Inteligensia muslim Indonesia pada abad sebelumnya menunjukkan partisipasi politik. Termasuk diantaranya alumni-alumni HMI.

Tercipta politik “intelektualisme” Islam (Latif 2013). Namun, ini menjadi bumerang. Tidak saja Ketika alumni HMI mengisi posisi kekuasaan, namun pada saat yang sama “jarum” HMI mengarah kepada politik praktis.

Dengan kondisi ini, kesarjanaan bukan lagi menjadi identitas kecendekiaan yang disertai dengan critical thinking tetapi justru menjadi variabel untuk turut menikmati kekuasaan.

Padahal, itu bukan satu-satunya pilihan. Ada jalan ketiga (Lay, 2019). Dimana posisi yang dicapai sesungguhnya merupakan konvengensi antara kekuasaan dan kemanusiaan.

Sehingga bukan saja pada politik yang praktis memunculkan otoritarianisme, tetapi juga kemaslahatan.

Ketika “tidak ada inteligensia, tidak ada perkembangan” begitu Kuru pada bagian akhir bukunya. Kemunduran ICMI seiring dengan tidak berkuasanya Habibie menjadi tanda yang mengkhawatirkan. Dikemukakan Latif sebagai tirai yang menutup abad 20 bagi masyarakat muslim Indonesia.

Sementara di HMI, abad 21 justru dimulai dengan kepengurusan ganda pasca Kongres Balikpapan yang diawali dengan perbedaan pandangan Kholis Malik dan Muchlis tapi Tapi dalam tata kelola organisasi.

Bagian-bagian ini menjadi langkah yang bolehjadi akan mengantar kepada ketertinggalan umat Islam Indonesia.

Padahal dengan “turut Quran dan Hadis” justru akan menjadikan kemajuan dapat dicapai. Itu bahkan menjadi ritual wajib yang dinyanyikan dalam seremonial HMI.

Hanya saja, ketiadaan semangat intelektualisme, kemauan dan kemampuan yang dipalingkan untuk politik praktis semata, dan tidak solidnya organisasi dikarenakan jual-beli suara akan mengantar pada satu titik, ketertinggalan.

Itu bukan jatidiri HMI, dimana justru mission HMI berkehendak untuk mempertinggi derajat dan martabat umat Islam Indonesia.