Besok 5 Februari, Himpunan Mahasiswa Islam akan sampai pada Dies Natalis. Momentum ini akan menjadi kesyukuran sekaligus kesempatan untuk berhenti sejenak sebelum berlanjutnya masa.
Buku yang awalnya terbit dalam bahasa Inggris, kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Islam, Otoritarianisme, dan Ketertinggalan (Gramedia, 2019).
Kuru (2019) mengemukakan ketertinggalan dapat terjadi ketika hilangnya semangat intelektualisme dalam satu kelompok.
Itu juga yang menjadi kegelisahan bersama. Dimana intelektualisme sesungguhnya adalah jiwa, spirit, dan dinamisme mahasiswa Islam (Afkari & Wekke, 2018).
Dua hal yang dapat dilakukan, pertama kontekstualisasi NDP dalam konteks kekinian. Dimana tantangan dan juga perubahan lingkungan dalam arti yang luas terus wujud.
Diantara tantangan itu dapat dilihat dalam dua hal. Pertama, gugatan akan jalinan Islam dan kebangsaan.
Dalam skala nasional, bahkan transnasional gugatan ini mengemuka. Tidak saja dalam bentuk gugatan tetapi paham yang menyatakan adanya pertentangan antara kebangsaan dengan tauhid.
Kita bisa saksikan wujudnya penyerangan dan peperangan yang mengatasnamakan agama untuk mendirikan khilafah.
Bagi HMI tidak lagi menjadi diskusi. Pertautan keduanya, dibahasakan dengan keislaman dan kebangsaan. Ini yang menjadi komitmen sejak awal yang justru menjadi pendorong berdirinya HMI 74 tahun lalu.
Kedua, Democracy for Sale (Aspinall & Berenschot, 2019). Cornell University, Amerika Serikat menerbitkan buku ini dalam versi awal. Sementara Yayasan Pustaka Obor Indonesia kemudian menerbitkan dalam versi bahasa Indonesia.
Demokrasi Indonesia pasca Orde Baru diwarnai dengan pertukaran klientilistik, dalam pelbagai tingkatan. Terdapat pula agen politik yang bersifat ad hoc dan personal.
Dengan kata tingkatan yang digunakan Aspinall & Berenschot, maka penyebaran dunia gelap itu tidak dapat melepaskan keberadaan HMI. Baik secara personal pula, dan juga institusi.
Ketika itu juga terjadi dalam sirkulasi kepemimpinan di Kongres, Musda Badko, atau Konfercab, maka itu menjadi awal bagi lonceng kematian HMI.
Satu lagi agenda HMI dimana kepengurusan ganda terjadi terus menerus. Tidak lagi dalam skala pengurus besar, meluas bahkan sampai di komisariat. Tentu saja, cabang, dan badan koordinasi juga terjadi.
Persatuan Islam menjadi barang langka, dan susah dieja. Dimana HMI sendiri tidak memberikan praktik yang memungkinkan untuk menjadikan itu sebagai tema yang diperlukan umat Islam Indonesia.
Inteligensia muslim Indonesia pada abad sebelumnya menunjukkan partisipasi politik. Termasuk diantaranya alumni-alumni HMI.
Tercipta politik “intelektualisme” Islam (Latif 2013). Namun, ini menjadi bumerang. Tidak saja Ketika alumni HMI mengisi posisi kekuasaan, namun pada saat yang sama “jarum” HMI mengarah kepada politik praktis.
Dengan kondisi ini, kesarjanaan bukan lagi menjadi identitas kecendekiaan yang disertai dengan critical thinking tetapi justru menjadi variabel untuk turut menikmati kekuasaan.
Padahal, itu bukan satu-satunya pilihan. Ada jalan ketiga (Lay, 2019). Dimana posisi yang dicapai sesungguhnya merupakan konvengensi antara kekuasaan dan kemanusiaan.
Sehingga bukan saja pada politik yang praktis memunculkan otoritarianisme, tetapi juga kemaslahatan.
Ketika “tidak ada inteligensia, tidak ada perkembangan” begitu Kuru pada bagian akhir bukunya. Kemunduran ICMI seiring dengan tidak berkuasanya Habibie menjadi tanda yang mengkhawatirkan. Dikemukakan Latif sebagai tirai yang menutup abad 20 bagi masyarakat muslim Indonesia.
Sementara di HMI, abad 21 justru dimulai dengan kepengurusan ganda pasca Kongres Balikpapan yang diawali dengan perbedaan pandangan Kholis Malik dan Muchlis tapi Tapi dalam tata kelola organisasi.
Bagian-bagian ini menjadi langkah yang bolehjadi akan mengantar kepada ketertinggalan umat Islam Indonesia.
Padahal dengan “turut Quran dan Hadis” justru akan menjadikan kemajuan dapat dicapai. Itu bahkan menjadi ritual wajib yang dinyanyikan dalam seremonial HMI.
Hanya saja, ketiadaan semangat intelektualisme, kemauan dan kemampuan yang dipalingkan untuk politik praktis semata, dan tidak solidnya organisasi dikarenakan jual-beli suara akan mengantar pada satu titik, ketertinggalan.
Itu bukan jatidiri HMI, dimana justru mission HMI berkehendak untuk mempertinggi derajat dan martabat umat Islam Indonesia.
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews