PSBB transisi membuat banyak orang bergembira karena boleh keluar rumah. Namun tentu dengan mematuhi protokol kesehatan yang diatur oleh pemerintah. Ketika ada yang melanggar aturan PSBB transisi seperti tidak memakai masker, akan terkena hukuman. Sanksi ini diberikan agar mereka kapok dan selalu tertib dalam beraktivitas ketika masa PSBB transisi.
Banyaknya orang yang salah mengartikan PSBB transisi alias new normal menjadi back to normal membuat beberapa jenis kekacauan. Masyarakat beraktivitas di luar rumah tanpa perlindungan dari masker. Mereka juga berboncengan sepeda motor dan naik mobil dengan banyak penumpang. Seolah-olah corona sudah berlalu dan bisa bebas keluyuran, bahkan pergi piknik ke pantai dan luar kota. Padahal masih berbahaya karena penyakit ini belum ada vaksinnya.
Untuk mengatasi kekacauan saat PSBB transisi, maka sebanyak 35 petugas gabungan disebar di sekitar Senen. Mereka bertugas dan mengawasi apakah ada yang tidak menaati aturan, misalnya tidak mencuci tangan di tempat yang disediakan atau tidak pakai masker. Kadang masyarakat perlu disentil dengan cara ini agar tetap taat aturan dan tidak menyepelekan protokol.
Pelanggaran-pelanggaran ini lalu diberi sanksi oleh anggota satgas Kecamatan Senen. Jika ada orang yang ketahuan melanggar protokol kesehatan, maka akan disuruh menyapu jalanan selama 15 hingga 20 menit. Hukuman lain adalah membersihkan sarana dan prasarana pasar.
Mengapa harus sanksi sosial? Menurut Camat Senen, Ronny Jarpiko, hal ini agar masyarakat lebih patuh dalam menaati aturan selama PSBB transisi. Setelah menyapu, maka orang itu disuruh menandatangani surat pernyataan, agar tidak mengulangi tindakannya. Diharapkan hukuman ini ampuh untuk mendisiplinkan masyarakat dalam menaati peraturan selama pandemi covid-19.
Sedangkan di Surabaya ada sanksi sosial serupa yang diberikan kepada pelanggar PSBB transisi. Jika ada orang di jalanan tanpa masker, maka mereka ditangkap oleh petugas dan disuruh menyanyi selama 10 menit. Jika menolak, maka pilihan hukuman lain adalah memberi makan ODGJ alias orang dengan gangguan jiwa. Hal ini tentu dianggap mengerikan bagi sebagian orang dan diharap memberikan efek jera, agar mereka tidak melanggar aturan PSBB transisi lagi.
Hukuman sosial yang diberikan kepada masyarakat ini untuk mendidik mereka dan juga mengajarkan agar tidak menyepelekan protokol kesehatan. Jika ada yang protes mengapa masyarakat seakan-akan sedang diplonco oleh polisi atau satgas kecamatan, maka perlu ditelisik lagi lebih dalam. Karena ternyata memang sanksi sosial ini memalukan dan ampuh dalam membuat mereka kapok untuk mengulanginya.
Ketika banyak orang yang melanggar aturan PSBB transisi dan diberi hukuman untuk menyapu jalanan atau membersihkan pasar, maka mereka akan pikir-pikir lagi. Lebih baik memakai masker daripada harus kepanasan dan lelah saat membersihkan jalan atau bagian dalam pasar. Terlebih, hal itu tentu memalukan, karena dilihat oleh banyak orang. Bisa-bisa mereka juga jadi viral karena tertangkap kamera sedang kena sanksi sosial oleh petugas.
Selain hukuman sosial, maka juga ada sanksi berupa denda kepada pelanggar PSBB transisi. Pada umumnya, mereka yang melanggar adalah pemilik warung, kafe, dan usaha lain yang tidak mematuhi aturan. Misalnya tidak memberi batasan pengunjung pada tempat usahanya sehingga tidak ada physical distancing, kasir dan karyawan lain tidak pakai masker dan sarung tangan, jam bukanya pun sampai tengah malam. Pemerintah provinsi DKI bahkan sudah mengantongi 370 milyar rupiah selama masa PSBB transisi, sebagai akumulasi dari denda masyarakat yang melanggar aturan.
Untuk menindak masyarakat yang masih bandel ketika masa PSBB transisi memang harus ada sanksi tegas. Bisa berupa hukuman sosial maupun denda berupa uang. Semua ini dijalankan agar seluruh lapisan masyarakat disiplin dan menaati aturan selama PSBB transisi.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews