Orang-orang yang termakan propaganda ISIS itu adalah Islam, seharusnya sudah menyadari, apa yang dilakukan ISIS selama ini, tidak sama sekali merepresentasikan perjuangan umat Islam.
Komisioner Komnas HAM Choirul Anam dengan yakin menyebutkan, Indonesia siap menerima kedatangan eks ISIS, karena Indonesia tidak Islamfobia. Sebetulnya tidak ada relevansinya kalaupun menolak pulangkan eks ISIS dengan islamfobia.
Pernyataan Anam mengaitkan dengan Islamfobia itu menyesatkan, ISIS sendiri tidak merepresentasikan Islam secara utuh. Bagaimana kita mau mengatakan ISIS itu Islam? Perilaku bar-bar dan tidak beradab anggotanya, yang tidak mencerminkan perilaku yang Islami.
Yang menghalalkan pembunuhan tanpa perikemanusiaan, menghalalkan pemerkosaan semata untuk pemenuhan syahwat kebinatangan, tanpa pernah berpikir akibat dari perbuatannya, apakah perilaku seperti itu adalah Islami?
Saya menduga pernyataan Anam tersebut adalah bentuk dari agitasi dan provokasi, agar siapa pun nantinya yang menolak pemulangan eks ISIS, adalah orang-orang yang Islamfobia.
Komnas HAM bisa mencari argumentasi lain yang lebih pas, sesuai dengan kapasitasnya, ketimbang mengaitkan penolakan pemulangan itu dengan stempel Islamfobia. Lebih baik mengangkat isu kemanusiaan daripada isu Islamfobia.
Ngawur dan kurang kerjaan, kalau menolak pulangkan eks ISIS dicap sebagai Islamfobia. Di Indonesia memang tidak ada yang Islamfobia, isu Islamfobia itu selama ini hanya disuarakan oleh sekelompok orang yang merasa paling islami sendiri di Republik ini, untuk mendiskreditkan kelompok lain, agar bisa menangguk kebencian.
Wacana menolak pulangkan eks ISIS itu lebih kepada karena penghianatan mereka, yang sudah bergabung dengan ISIS, dan menanggalkan kewarganegaraannya secara simbolis, lewat pembakaran passport, dan atribut keindonesiaan yang mereka miliki.
Kalaupun stigma negatif terhadap eks ISIS tersebut ada, lebih kepada perilaku dan perbuatan mereka yang tidak berperikemanusiaan dan anti Pancasila, yang menganggap pemerintah Indonesia sebagai thogut.
Memang Anam tidak menyebutkan secara langsung bahwa yang menolak pemulangan eks ISIS sebagai Islamfobia, dan dia mengakui kalau di Indonesia tidak ada Islamfobia, dan Indonesia berbeda dibandingkan dengan negara lain, tapi dengan menggunakan diksi Islamfobia tersebut, bisa saja nantinya setiap yang menolak akan dicap Islamfobia.
Ucapan Anam merujuk kepada wacana pemulangan 600 warga negara Indonesia (WNI) eks ISIS yang terus menuai pro dan kontra.
Anam mengatakan alasan lebih siapnya Indonesia karena tak memiliki Islamofobia atau fobia terhadap Islam yang cenderung dimiliki negara-negara Eropa.
Pernyataan Anam ini pernyataan bersayap, yang menekankan agar pemerintah menerima ide untuk pulangkan eks ISIS, jika pemerintah menolak pulangkan, maka pemerintah akan dicap sebagai Islamfobia, begitu juga kalau masyarakat Indonesia menolak akan dicap dengan stempel yang sama.
Penolakan eks ISIS memang masih dalam tahap pembahasan dan kajian, bahkan belum dibahas dalam rabat terbatas kabinet kerja Jokowi. Namun kalau melihat reaksi masyarakat secara umum, sangat menolak pemerintah untuk pulangkan eks ISIS, karena mereka bukan lagi tanggung jawab pemerintah Indonesia.
Jadi kalau secara umum pemerintah dan masyarakat menolak dipulangkannya eks ISIS, tidak berarti bisa dicap sebagai Islamfobia, karena ISIS sendiri bukanlah representasi dari Islam, sesat pikir kalau menganggap ISIS itu adalah bagian dari Islam.
Orang-orang yang termakan propaganda ISIS itu adalah Islam, seharusnya sudah menyadari, apa yang dilakukan ISIS selama ini, tidak sama sekali merepresentasikan perjuangan umat Islam, mereka hanya memperjuangkan syahwat negara yang menciptakan ISIS itu sendiri.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews