Demonstrasi Anarkis Tidak Mendapat Simpati

Terlebih upaya provokasi yang gencar dilakukan pihak ketiga guna memecah kesatuan dan persatuan RI. Jika pihak ketiga berhasil dengan tujuannya, maka yang rugi adalah kita.

Minggu, 6 Oktober 2019 | 22:05 WIB
0
331
Demonstrasi Anarkis Tidak Mendapat Simpati
Demo anarkis (Foto: Seword.com)

Banyaknya laporan terkait aksi demo mahasiswa dan pelajar beberapa pekan lalu. Pasalnya, pendemo tak hanya berlaku brutal, mereka juga merusak fasilitas umum dan menggangu jalan raya. Aksi demonstrasi yang merugikan masyarakat tersebut cenderung banyak dikritik dan tidak mendapat simpati publik. 

Hakikat demonstrasi sewajarnya dimaknai lebih mendalam bagi para pelakunya. Tindakan sebagai wujud penyampaian aspirasi ini sebetulnya telah dijamin oleh Undang-Undang. Namun sangat disayangkan, masih ada saja oknum yang memanfaatkan hal ini guna membuatnya semakin keruh. Oknum-oknum yang menimbulkan dan memprovokatori kericuhan inilah yang harus ditindak tegas. Bukan hanya fasilitas publik yang di rusak, namun lebih parah lagi akan ada korban jiwa akibat bentrok dengan aparat keamanan.

Jika ditanya siapa yang salah, kita tidak bisa serta merta menuduh satu pihak. Dari sisi mahasiswa atau pelajar, mereka hanya menyampaikan aspirasinya terkait kepemerintahan. Serta aparat hanya mengawal jalannya demo agar tidak menyimpang dari tujuan semula. Namun, bagaimana jika pihak ketiga datang (oknum penyusup), mengadu domba keduanya. Memprovokasi serta bertindak beringas, meluluhlantakkan segala benda yang ada dihadapannya. Kemudian meninggalkan mahasiswa dan aparat dalam situasi serba panas dan keruh, mereka bisa apa?

Mahasiswa dan pelajar dianggap tidak mematuhi peraturan tentang menyampaikan pendapat di muka umum. Mahasiswa pun mendesak agar aspirasinya didengarkan tanpa mau mentaati aturan penyaimpaian pendapat di muka umum. Kalau sudah begini akan timbul isu ketidakbecusan pemerintah, dan merembetlah ke hal-hal yang seharusnya tidak menjadi topik dari tujuan demonstrasi itu sendiri.

Maka dari itu, mulai berpikir jernih. Esensi dari penyampaian suara ini bisa dilakukan dengan lebih arif dan bijaksana. Dengan aneka demo yang lebih atraktif, juga tertib tanpa secuil konflik. Seperti saat demo di Yogyakarta, demo santun yang bisa bekerjasama dengan para aparat keamanan. Konon mahasiswa yang berdemo menyalami dan ada pula yang mencium tangan pihak aparat setelah selesai melakukan aksi demonya.

Tak hanya Yogya, di Surabaya dan Semarang juga disebutkan aksi unjuk rasa berjalan sesuai koridor. Pertanyaanya, jika wilayah-wilayah tersebut nyata-nyata bisa melakukannya kenapa di daerah lain tidak? Apa masalahnya? Toh unsur tujuan penyampaian aspirasi juga sama, RUU Dan RKUHP. Sejauh ini kedua masalah tersebut bagaikan polemik yang tak berkesudahan. Padahal ada banyak hal yang lebih penting untuk diperhatikan.

Awalnya Inisiatif serta keberanian massa untuk turun ke jalan menyampaikan aspirasi soal penolakan RUU KUHP diapresiasi. Namun tindakan anarkis massa tidaklah dibenarkan. Banyak kalangan menilai jika aksi ini adalah bentuk kekecewaan masyarakat, mengingat demo semacam ini bukanlah hal yang biasa.

Sebelumnya ramai pemberitaan demo anarkis oleh gabungan mahasiswa juga pelajar. Yang mana hal ini disayangkan oleh banyak pihak. Walaupun aksi unjuk rasa ini telah dijamin UU dan merupakan hak setiap warga, namun dalam hal kericuhan tak bisa diaminkan. Meski alasan mereka agar pemerintah memberikan tanggapan dengan cepat, apapun itu selama masih berbau anarkis tetap tidak diperbolehkan. Belum lagi indikasi pendomplengan pihak ketiga yang dinilai cukup meresahkan. Hal ini tentunya menambah daftar panjang masalah yang tak terselesaikan.

Dilaporkan dalam demo tersebut terlibat bentrok dengan petugas. Mereka ada yang membawa dan melemparkan botol, batu hingga bom molotov ke arah gedung DPR.

Fasilitas publik-pun tak luput dari pengrusakan. Mirisnya lagi Aksi tersebut tidak hanya dilakukan oleh pelajar STM, namun siswa SMA dan SMP. Disana masa terlibat bentrok dengan aparat hingga pihak kepolisian menembakkan gas air mata.

Jika ditilik dadi segi umur tentunya mereka ini belumlah termasuk ke dalam hak berdemo. Mengingat, kewajiban belajar pokok mereka juga belum berakhir. Karena mereka masih terikat pula dibawah naungan dinas pendidikan, serta dewan perlindungan anak jika usia mereka masih dibawah 17 tahun. Dalam hal ini peran keluarga juga tenaga pendidik sekolah harus menyikapinya secara lebih aktif lagi.

Peran serta masyarakat disini bukan sebagai pendukung aksi saja, namun lebih memegang kunci utama untuk mencegah adanya hal-hal yang tak diinginkan. Marilah bersatu padu, menolak demo dengan tindakan anarkis, selamatkan anak-anak kita, saudara juga warga lainnya dari bahayanya aksi-aksi semacam ini. Terlebih upaya provokasi yang gencar dilakukan pihak ketiga guna memecah kesatuan dan persatuan RI. Jika pihak ketiga berhasil dengan tujuannya, maka yang rugi adalah kita.

Stop Anarkisme!

***