Ini kejengkelan saya kepada para SJW dan Anti Jokowi yang banyak membacot di sosmed seolah mereka sedang membelai kelompok marjinal sambil menjelek-jelekkan program pemerintah.
Saya ini orang daerah. Dan sering berpindah-pindah tempat tinggal, namanya juga jomblo belum punya beban tanggungan dan tidak terikat pada sesiapapun. Eh, tapi bukan itu poin yang ingin saya ceritakan.
Kadang saya bisa tinggal di lingkungan perumahan elit, kadang di perkampungan di mana ada irisan dan himpunan antara si kaya dan si miskin, kadang di kotamadya dan kadang di kabupaten juga.
Pernah juga tinggal dalam suasana kota, namun di belakangnya masih ada sungai besar di mana orang-orang masih mandi, cuci dan berak di sana, dan jika datang musim kemarau panjang seperti sekarang, yang tersisa adalah pemandangan kotoran-kotoran manusia di atas batu-batu besar.
Jujur saya takjub, karena pemandangan seperti itu biasanya cuma saya lihat di kampung ibu saya yang memelosok di bawah kaki Gunung Slamet sana. Ternyata di kota pun ada, main saya selama ini pasti kurang jauh.
Kesimpulannya, saya menyaksikan berbagai macam potret kehidupan manusia dari semua level dengan berbagai problematikanya.
Kehidupan orang kaya, kaum sosialita, kaum urban kelas menengah ngehek tidak terlalu menarik untuk diceritakan. Ritme hidup mereka cenderung membosankan. Mungkin itu termasuk saya di dalamnya, yang kegiatannya cuma makan, tidur, bangun, being awesome, onlen, makan dan tidur lagi. Gak menarik, kan?
Tapi banyak yang bisa diamati dari kehidupan masyarakat marjinal. Bagaimana mereka bertahan hidup di tengah keterbatasan, bagaimana mereka menyiasati keterbatasan agar bisa melaju dengan zaman. Banyak pelajaran yang bisa kita ambil dan tidak sedikit juga hal yang ingin kita umpati pada mereka, dari kebiasaan buruk yang sulit diubah hingga perilaku berlindung pada alasan 'kemiskinan' yang menjengkelkan.
Ya menjengkelkan, karena seringkali sebetulnya 'kemiskinan' itu hanyalah berupa 'budaya' yang sangat bisa diubah.
Dengan bantuan kita, kelompok masyarakat yang lebih beruntung dan lebih berpengetahuan daripada mereka.
Kalau soal bantuan materi, saya angkat tangan. Saya bukan pengusaha yang uangnya tidak berseri dan tyada habisnya. Saya juga bukan pejabat yang bisa membuat kebijakan yang memihak mereka.
Tapi dari banyak perbincangan dengan mereka, setidaknya ada dua hal yang bisa saya lakukan untuk mereka.
Pertama, knowledge sharing. Apapun pengetahuan yang saya miliki untuk mengatasi problem yang mereka miliki.
Jika mereka PKL, sharing ilmu marketing yang saya miliki, bagaimana menata jualan agar lebih meningkatkan omzet, dlsb.
Di antara pengalaman yang paling menarik adalah menginsyafkan seorang nenek dari profesinya sebagai renternir. Berawal dari kehilangan kehadiran seorang penjual makanan keliling, berhari-hari tidak muncul dan saya pun khawatir barangkali sakit atau terkena musibah. Saya sambangi rumahnya ternyata sedang bersembunyi dari kejaran si nenek renternir tersebut.
Masalah klasik, bukan ?
Saya bukan bank berjalan yang selalu punya harta berlebih untuk membantu kesulitan keuangan orang lain, tapi orang tua kita telah susah payah menyekolahkan kita, paling tidak harapannya tentu saja agar kita bisa jadi manusia berguna, bukan ?
Untuk persoalan seperti di atas biasanya saya menghubungi badan amil untuk membantu mereka lepas dari jeratan renternir serta sedikit modal agar mereka bisa mandiri lagi, dengan sedikit ultimatum tidak boleh kembali ke renternir lagi bla bla..
Ternyata gak susah membantu satu kehidupan orang lain ya. Saya gak ngapa-ngapain, tidak keluar apa-apa, cuma modal menelpon teman yang bekerja di sebuah yayasan amil, "tuh ada dhuafa yang perlu disurvey", sudah begitu saja. Siapapun bisa melakukannya, termasuk anda. Tidak perlu punya skill apapun, asal punya empati saja modalnya.
Dan kembali ke si nenek renternir tadi, setelah perbincangan panjang lebar ternyata alasan kenapa sampai dia terjerat ke dalam profesi renternir, persoalannya satu, blio gak bisa sholat!
Karena buta sama sekali tentang agama, si nenek sama sekali tidak paham apa itu dosa, hari akhir dan hisabnya, dst. Jadi tidak ada yang dia takuti maupun pedomani dalam hidup, meskipun blio percaya pada eksistensi Tuhan. Lagi-lagi ini juga problem klasik di kalangan kaum marjinal.
Lalu saya pun mulai memperkenalkannya dengan sholat wajib, sholat dhuha agar rejekinya tetap lancar meski meninggalkannya profesi renternirnya, dst.
Ada yang ingin saya bagi lagi. Golongan kiri seringkali 'meledek' tentang konsep Islam, bagaimana beragama kok seperti orang berdagang, harus dengan iming-iming atau nakut-nakuti supaya pemeluknya taat. Kalau berbuat baik nanti masuk surga, kalau tidak berzina nanti dapat bidadari surga, kalau maksiat masuk neraka, dst.
Anda yang hanya Islam keturunan, baru njebrol sudah auto Islam, mungkin memang tidak akan paham mengapa kesannya demikian. Tapi ketika Nabi Muhammad disuruh menyebarkan Islam, yang dihadapi Blio adalah kaum Jahiliyyah, yang sudah terbiasa hidup bebas tanpa aturan.
Jadi untuk membuat mereka tertarik pada Islam, harus dengan iming-iming. Dan saya baru mengamini hal tsb setelah saya mengalaminya sendiri, bagaimana menghadapi orang-orang yang benar-benar buta, ditambah lagi orang asing, bukan saudara bukan teman, memang perlu menggunakan iming-iming untuk membuat mereka tertarik belajar Islam. Karena iman itu belum ada di hati mereka. Yang baru mereka gunakan logika untung rugi dan insting.
Jadi, tidak ada konsep agama yang jelek aselinya. Pemahaman kitanya yang belum tentu sudah sampai sebagaimana yang dimaksud pembawa Risalahnya. Wallahu a'lam.
Kedua, dalam rangka membantu kelompok marjinal, sebetulnya pemerintah sudah memiliki program jaring pengaman sosial yang cukup komprehensif. Implementasinya saja yang kadang tidak sampai kepada yang dituju karena berbagai persoalan. Mulai dari ketidakpahaman, pungli, distribusi yang tidak tepat sasaran, dlsb. Judulnya, banyak oknum di level bawah yang tidak bekerja sebagai ibadah termasuk sikap mental masyarakatnya sendiri.
Sekali lagi, orang macam saya tidak akan punya sumber daya yang akan mampu membantu saudara kita yang termarjinalkan ini.
Tapi dengan pengetahuan yang kita miliki, kita bisa berperan sebagai jembatan antara masyarakat marjinal dengan program pemerintah. Modalnya hanya empati dan panca indera kita.
Seperti kemarin tukang sayur dekat rumah, saya perhatikan lagi-lagi terlibat dengan renternir. Kalau saya cuma berdakwah seperti para aktivis anti riba itu, riba haram, dosanya lebih besar dari menzinahi ibu kandung sendiri bla bla.. Itu namanya bukan menyelamatkan kehidupan orang, tapi ngeselin orang. Apalagi ketika saya pun tidak bisa memberinya pinjaman modal.
Tapi sekedar googling mencarikan lembaga keuangan non bank yang menyalurkan kredit Umi & Mekaar, yaitu program pinjaman mikro dengan bunga rendah dan tanpa agunan dari pemerintah, saya masih bisa. Daripada para pelaku UMKM tersebut terlibat dengan bank harian yang berbunga menjerat leher.
Jika anda horang-horang kayah yang jarang bertemu dengan masyarakat miskin, bisa ketika melihat tukang jual minuman di pinggir jalan, tukang bubur, ketoprak, dlsb ngobrol lah dengan mereka, apakah anak-anaknya semua sekolah, apakah yang sekolah sudah memegang Kartu Indonesia Pintar (KIP). Buat anda uang Rp750rb mungkin tidak berarti, tapi bagi mereka, sangat bisa ngurangi beban uang jajan harian anak, dlsb.
Apakah mereka sudah memegang kartu PKH, Program Keluarga Harapan, apakah sudah tahu bahwa iuran BPJS bisa gratis dengan subsidi pemerintah, atau jika kuota subsidinya sudah habis masih ada program KIS.
Apakah sudah tahu bahwa pemerintah menyediakan pinjaman tanpa agunan untuk usaha mikro? Apakah mereka tahu pemerintah menyediakan pelatihan keterampilan untuk meningkatkan skill mereka... dan seterusnya.
Sebetulnya pemerintah sudah memiliki banyak program, namun banyak yang tidak sampai pada mereka.
Dari persentuhan saya dengan mereka, banyak sekali problemnya. Jangankan kartu-kartuan Jokowi itu, bahkan bagi pendatang untuk mendapatkan KTP saja bisa sangat sulit.
Ada tetangga saya yang dipungli oleh RT nya hingga Rp500rb an, tanpa KTP setempat menghilangkan kesempatan mereka mendapatkan beras rastra dlsb.
Sebagai orang yang lebih berpendidikan kita bisa membantu menghadapi para oknum-oknum tsb.
Banyak lagi yang tidak tahu prosedur mengurus BPJS PBI, mendapatkan listik yang bersubsidi, dst.
Kenapa saya memberi judul yang seperti OOT (out of topic)?
Itu adalah bentuk kejengkelan saya kepada para SJW dan Anti Jokowi yang banyak membacot di sosmed seolah mereka sedang membelai kelompok marjinal sambil menjelek-jelekkan Jokowi dan program pemerintah, padahal DO NOTHING!
Jangankan membantu, sejatinya mereka sedang menjauhkan kelompok masyarakat miskin dari mendapatkan jaring pengaman sosial yang menjadi hak mereka dan sudah disediakan pemerintah, dengan terus menyebarkan kebencian pada Jokowi.
Dengan selalu menjelekkan Jokowi, saya punya keyakinan, boro-boro mereka akan membantu mensosialisasikan program pemerintah, apalagi hingga memberikan solusi dari berbagai kendala yang dihadapi masyarakat seperti saya sebut di atas.
Apalagi ketika saya, yang kerap melakukan sosialisasi seperti ini di berbagai status lalu dicap BUZZER PEMERINTAH!
Saya dengan tidak keberatan menyebut mereka ini punya gangguan jiwa! Minimal punya penyakit hati yang mengerak di dada mereka, sehingga isi kepalanya selalu diisi dengan 'zon' alias negative thinking.
FL (friendlist) saya mayoritas diisi oleh kaum middle dan upper class, jadi memang sosialisasi tentang jaring pengaman sosial dari pemerintah yang kerap saya tulis tentu bukan ditujukan untuk pemirsa status-status saya.
Tapi harapan saya adalah, dengan pemirsa diinformasikan, dan terus diingatkan, kemudian bersedia menjadi jembatan yang menghubungkan program pemerintah tsb kepada mereka yang berhak menerimanya, karena sungguh mereka akan sangat terbantu.
Tapi jika setiap hari kerjanya menyinyiri pemerintah, apakah kalian mau menjadi jembatan itu ?
Atau kalian sudah seperti manusia kelelawar terkaya di Gotham City yang bisa membantu kesulitan semua masyarakat miskin seperti joker-joker itu tanpa perlu kartu-kartuan Jokowi ?
Fyn. Gud.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews