Mereka berbiak lebih cepat dan bertahan hidup lebih kuat daripada yang kita duga. Mereka fenomena abad ini, fenomena dunia yang terbalik.
Pilpres 2019 seolah mengukuhkan bahwa kampretisme adalah suatu fenomena aktual yang masih akan panjang umurnya. Kampret mula-mula mungkin hanya semacam olok-olok, sebagai reaksi balik ejekan kelompok ini terhadap para pendukung Jokowi yang disebut "cebong". Mengapa cebong? Karena Jokowi, dengan selera anehnya suka sekali memelihara kodok.
Mula-mula memang sukses ketika ia tinggal di Taman Surapati saat ia jadi Gubernur DKI, namun gagal total saat ditebarkan di Istana Bogor saat ia telah jadi Presiden. Konon karena dimakan biawak. Jadi istilah kampret itu sebenarnya tak tepat, mustinya mereka menamakan dirinya biawak!
Tapi ya apa tumon, biawak kan lebih dekat pada istilah laki-laki hidung belang? Artinya hubungan sesungguhnya adalah cebong dan biawak, bila ingin sesuai rantai makanan secara alamiah.
Namun tampaknya mereka tak ingin sungguh-sungguh menang, karena pasti gak mau pakai istilah biawak. Danyang pro-Jokowi, tentu tak ingin menyebut mereka sebagai sebagai "real predator", pemangsa alami yang mungkin akan membuat Jokowi benar-benar kalah.
Nah, akan halnya istilah "kampret" sendiri saya pikir lebih sebagai sejenis "umpatan baik", karena sedemikian sukanya mereka mencuri start, menelikung, dan merusak dengan berbagai perilaku hoax, fitnah, dan penyebaran kebencian yang sungguh-sungguh suatu epidemik yang meresahkan. "Kampret lu..."
Di alam nyata, sependek yang saya pahami sebagai orang Jawa kampret adalah anak kelelawar. Tak jelas betul species kelelawar yang mana. Karena kelelawar sendiri terbatas dalam kultur Jawa saja memiliki nama yang sangat banyak, misal kalong, lawa, codot, dan mungkin masih banyak lagi.
Kalong itu antonimnya lawa, kalong pemakan buah sedang lawa pemakan serangga. Ukuran kalong sebagaimana biasa kelompok herbivora bisa jauh lebih besar dibanding lawa yang (mungkin) terkategori omnivora (bukan carnivora, sic!).
Kampret lebih dekat dengan nama lain codot, ia perusak buah yang setengah matang. Kenapa setengah matang, sebab buah matang nyaris mustahil digerogoti, diganduli sedikit saja ia pasti jatuh ke tanah.
Jadi kampret itu "kalong ajaran, kalong yang lagi belajar mencuri". Ia pencuri tanggung yang menyebalkan, karena buah yang ditinggalkannya dipastikan risak.
Dalam sebuah rumpun pisang, biasanya bila ada buah yang sudah dihinggapi codot merupakan pertanda ia harus segera diselamatkan dengan dipanen lebih cepat. Hal ini (hakok bisa) sesuai betul dengan penandaan kampret dalam kubu musuh cebong.
Ia berperilaku dengan tanggung benar. Ia pengen menang tapi dengan cara yang sejak awal jelas salah. Ia sejenis penyamun yang meninggalkan jejak, sejenis hacker yang tak pernah menghapus IP. Ia kelompok yang mengganggu tapi tak akan pernah menang. Demikianlah alam mengatur....
Apakah kampretisme itu identik dengan Prabowo? Bisa ya bisa tidak! Ya bila memahami Prabowo memanfaatkannya sebagai salah satu kuda tunggang terdepan. Tidak bila diselami lebih jauh bahwa "kampretisme" sesungguhnya lebih pada kelompok berkedok agama yang ngebet betul ingin bikin negara baru. Artinya ini dua kelompok yang berbeda!
Jelas Prabowo adalah kelompok ultra-nasionalis, sedang rekan beriringannya adalah kelompok Islam fundamentalis. Dua kelompok yang secara natural sulit berkuasa, kalau bisa pasti jangka-nya pendek sekali. Mungkin di abad lalu (masih) mungkin, tapi di abad milenial ini nyaris mustahil.
Banyak pelajaran yang bisa diunduh dari negara lain: Mesir, Suriah, peristiwa Arab Spring dan dalam banyak kasus kemenangan Pilkadal di dalam negeri yang menempatkan kelompok-kelompok sebagai pemenang. Mereka ini hanya para pemenang semu, menang hanya untuk menunjukkan sesungguhnya mereka tidak bisa apa-apa. Kecuali menunjukkan watak asli mereka sebagai pencuri!
Persis betul dengan watak kampret. Dan kampret itu ada dimana-mana, dan bagian yang paling sial adalah mereka sudah menguasai struktur birokrasi kita, konon lebih dari 70% ASN kita berwatak demikian. Persentase yang lebih besar adalah dalam BUMN yang tampak dari luarnya makin profesional, tapi sesungguhnya masih belum bergerak kemana-mana. Aroma KKN masih sangat kuat didalamnya!
Pilpres dan pileg sudah selesai, pemenangnya sudah jelas. Sesuatu yang sama sekali tidak luar biasa! Jokowi menang karena lawannya terlalu jelek. Sedemikian jeleknya, belum lagi sehari MK menolak seluruh gugatan BPN, esok harinya koalisi adil makmur dibubarkan. Membuktikan apalah arti sebuah nama! Nama yang terlalu berat untuk mereka sandang.
Satu hal yang masih akan menetap dan berumur panjang adalah kampretisme. Belum lagi sehari mereka telah marah-marah dengan Prabowo yang dianggapnya tidak menghargai jerih payah mereka. Padahal mereka mengaku telah melakukan semuan hal: fitnah, hoax, ujaran kebencian, bla bla bla.
Demikianlah kampret tak punya malu dan terlalu mudah menelanjangi dirinya sendiri....
Sampai kapan? Pertanyaan absurd! Mereka berbiak lebih cepat dan bertahan hidup lebih kuat daripada yang kita duga. Mereka fenomena abad ini, fenomena dunia yang terbalik. Dan ia bisa melihat semua celah bahkan dengan cara terbalik.
Jangan juga lupa setelah jadi kampret, ia akan jadi kalong, lalu berakhir jadi vampir.....
***
Keterangan: Judul asli tulisan ini adalah "Pilpres Selesai, Koalisi Bubar, Tapi Kampret Jalan Terus", diubah sesuai karakteristik pembaca PepNews.
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews