Menyesal Pilih Jokowi?

Mari kita sama-sama lihat, seperti apa hasil akhirnya, namun tetap dengan husnudzon terhadap Pemerintah.

Kamis, 19 September 2019 | 20:21 WIB
0
564
Menyesal Pilih Jokowi?
Presiden Joko Widodo (voanews.com)

Saya adalah termasuk salah seorang yang menolak Revisi UU KPK yang diusulkan DPR pada masa Pemerintahan SBY. Ternyata sekarang UU tersebut kembali diusulkan, dan Pemerintahan Jokowi menyetujiinya.

Sivitas Akademika dari Bulaksumur itu merawat ingatan tentang sosok Joko Widodo (Jokowi) yang dekat dengan rakyat. Sekarang mereka dari Balairung Universitas Gajah Mada (UGM), resah karena terhadap sikap Jokowi yang pernah mereka dukung.

Ini adalah sebuah reaksi yang wajar, karena mereka Akademisi yang Ikut memikirkan nasib bangsa ini kedepan. Reaksi kekecewaan jelas memancar dari hati dan sanubari mereka, karena Jokowi tidak merespon aspirasi mereka.

Ketua Dewan Guru Besar UGM Prof Koentjoro menilai revisi UU KPK akan mengebiri lembaga antirasuah itu. Para dosen, mahasiswa, hingga karyawan kampus itu berkumpul bersama kompak mengenakan pakaian berwarna hitam.

“Upaya sistematis pelemahan KPK dan gerakan antikorupsi yang agresif dan begitu brutal dalam beberapa pekan terakhir ini sungguh melecehkan moralitas bangsa kita,” kata Koentjoro saat membaca deklarasi UGM tolak pelemahan KPK di Balairung, Gedung Pusat UGM.

Deklarasi tersebut adalah manifestasi dari penolakan terhadap Revisi UU KPK, yang disepakati oleh DPR dan Pemerintah. Rupanya "gaung" deklarasi ini tidak sampai ketelinga Presiden Jokowi, yang nota bene adalah alumnus UGM.

Terhadap sikap dan kebijakan yang diambil oleh Jokowi, mungkin sebagian besar akan berpikir "Menyesal Memilih Jokowi," tapi ada juga yang tetap menganggap kebijakan yang tidak Populis yang diambil Jokowi tetap perlu didukung, meskipun pahit.

Jujur saja saya tidak Menyesal Memilih Jokowi, karena saya meyakini keputusan yang diambil bukanlah tanpa alasan, dan dia sangat menyadari kalau keputusan ya tersebut tidak memuaskan semua orang.

Hidup memang tidak selalu untuk mendapatkan tepuk tangan, karena seorang pemimpin bukanlah seorang penggembira bagi rakyatnya. Namun pemimpin tetap harus bertujuan untuk mensejahterakan rakyatnya.

Sipitas akademika UGM meskipun mereka menolak Revisi UU KPK, namun sebagai sesama alumni UGM mereka tetap berusaha untuk mendukung Jokowi.

Salah seorang dosen bernama Prof Wahyudi Kumorotomo membacakan puisi. Dia bernostalgia mengenang sosok Jokowi.

“Saya adalah salah satu alumni UGM dan Pak Jokowi juga adalah alumni UGM. Karena itu, saya betul-betul meminta kepada sivitas akademika UGM untuk berada di belakang Jokowi, berada di belakang alumni kita,” katanya.

“Kita tidak menginginkan alumni kita menjadi orang yang menghabisi KPK, lembaga yang kita cintai bersama ini,” sambung Wahyudi.

Tetap berhusnudzon terhadap Presiden Jokowi, dan tidak menyesal memilih Jokowi. Artinya sivitas akademika UGM masih berharap banyak terhadap hasil dari pembahasan akhir revisi UU KPK.

Prof. Wahyudi Kumorotomo sebelum membacakan puisinya, dia ingin menyapa Presiden Jokowi, yang juga merupakan teman satu alumninya dengan panggilan 'Mas.'

“Saya ingin memanggil Presiden dengan mas, selayaknya alumni UGM,” katanya.
Berikut potongan puisi yang dibacakan oleh Wahyudi untuk Presiden Jokowi:

Mas Joko widodo, ingatlah ketika kita makan Gudeg di Mbarek, makan nasi kucing di Bulaksumur dan kita mendaki bersama-sama di Gunung Merbabu, kita makan mie instan, makan seadanya.

Waktu itu kita berpikir bahwa di Indonesia ada banyak yang lebih menderita dari kita, walaupun kita sudah bisa menikmati nasi kucing sederhana untuk bisa kuliah di UGM.

Maka, pikirkanlah sekarang ini nasib rakyat Indonesia, yang masih banyak di antara mereka makan nasi aking, makan sederhana. Baca disini

Puisi ini tentunya bertujuan ingin menggugah perasaan Jokowi, apakah puisi ini terbaca oleh Jokowi, dan seperti apa reaksi Jokowi. Atau justeru Jokowi tetap pada keputusannya, yang mendukung revisi UU KPK.

Sampai tahap sekarang, draf revisi UU KPK sudah disahkan DPR. DPR dan Pemerintah menyepakati tujuh perubahan dalam revisi UU KPK.

Kesepakatan diambil dalam Rapat Kerja Pengambilan Keputusan tingkat I antara Badan Legislasi (Baleg) DPR dan pemerintah.

Dalam rapat itu, pemerintah diwakili oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Syafruddin.

Tujuh poin yang disepakati revisi UU KPK tinggal menunggu dibawa ke Rapat Paripurna DPR RI untuk kemudian disahkan menjadi UU KPK. Apa hasil dari Rapat Paripurna itu nantinya, Wallahu'alam.

Tujuh poin yang disepakati dari revisi UU KPK antara DPR dan Pemerintah, Sumber

Pertama, soal kedudukan KPK sebagai lembaga penegak hukum berada pada rumpun eksekutif dan dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya tetap independen.

Kedua, terkait pembentukan dewan pengawas.

Ketiga, mengenai pelaksanaan fungsi penyadapan oleh KPK.

Keempat, mekanisme penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) oleh KPK.

Kelima, koordinasi kelembagaan KPK dengan aparat penegak hukum yang ada dalam pelaksanaan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.

Keenam, terkait mekanisme penyitaan dan penggeledahan.

Ketujuh, sistem kepegawaian KPK.

Setelah itu, pembahasan revisi UU KPK akan dilanjutkan ke pembicaraan tingkat II di Rapat Paripurna untuk disahkan menjadi undang-undang.

Dari tujuh poin diatas memang sebagian besar yang menolak Revisi UU KPK tersebut, masih menganggap ada beberapa poin yang bisa melemahkan KPK, terutama yang menyangkut Pembentukan Dewan pengawas dan sistem Kepegawaian KPK.

Mari kita sama-sama lihat, seperti apa hasil akhirnya, namun tetap dengan husnudzon terhadap Pemerintah. Apapun keputusan yang sudah diambil, tetap diyakini tidak akan melemahkan KPK. Itulah makanya saya tidak Menyesal Memilih Jokowi, meskipun keputusan yang dipilihnya tidak Populis.

***