Lewat perjuangan panjang menghadapi berbagai negara yang menentang klaim Indonesia, pada akhirnya, konsepsi negara kepulauandengan sebagian besar klaim Indonesia berhasil dimenangkan.
Apa jadinya dunia tanpa Indonesia? Baiklah, di Minggu pagi ini kutuntaskan membaca buku "Sovereignty and the Sea: How Indonesia Became an Archipelagic State," karya John G. Butcher dan R.E. Elson.
Tatkala kemerdekaan Indonesia diproklamirkan, negara ini belum menjadi negara kepulauan. Berdasarkan The Territorial Sea and Maritime District Ordinance Tahun 1939, batas wilayah laut teritorial (WLT) hanya 3 mil dari garis pantai.
Artinya, bagi struktur geografis Indonesia dgn selat-selat yg terbuka, antara pulau dan pulau bisa terbentang wilayah laut internasional. Dengan Ordonansi itu, perselisihan batas laut antarnegara juga kerap terjadi.
Negara-negara kuat cenderung meluaskan batas WLT-nya, sedang terhadap negara lemah cenderung menekan untuk menyempitkan batasnya. Hingga akhirnya, Indonesia mengalami persoalan serius tatkala memperjuangkan integrasi Papua.
Chairul Saleh, pemuda revolusioner yang menjadi Menteri Urusan Veteran pada 1957, "memprovokasi" Mochtar Kusumaatmadja muda untuk menjadikan Laut Jawa sebagai laut pedalaman.
Serangan gencar sang revolusioner itulah yang mendorong Mochtar memeras otaknya, yang pada gilirannya berhasil merumuskan wilayah negara Indonesia sebagai negara kepulauan dengan satu kesatuan daratan-lautan, yang menginspirasi lahirnya Deklarasi Djuanda (13 Desember 1957).
Pada tahun 1982, PBB menyepakati United Nations Convention on the Law of the Sea. Dengan itu, dunia memiliki landasan hukum yang kuat dalam menegakkan batas kedaulatan antarnegara di lautan.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews