Aroma Politik Terkait Bebasnya Terdakwa BLBI

Kamis, 11 Juli 2019 | 15:23 WIB
0
491
Aroma Politik Terkait Bebasnya Terdakwa BLBI
Syafruddin Arsyad Temenggung saat di persidangan. (Foto: Antara.com).

Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif tampak sangat kecewa atas putusan Mahkamah Agung (MA) yang membebaskan terdakwa kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Syafruddin Arsyad Temenggung, Selasa (9/7/2019).

Hal itu diputuskan dalam sidang vonis kasasi yang dibacakan Kepala Biro Humas MA Hakim Agung Abdullah pada Selasa (9/7/2019). “Memerintahkan agar terdakwa dikeluarkan dari tahanan,” ujarnya mengutip sebagian point dari putusan itu.

Ada tiga hakim yang menyidangkan kasasi kasus terdakwa BLBI itu, yakni Syamsul Rakan Chaniago, Mohammad Askin, dan dipimpin oleh Hakim Ketua Salman Luthan. Diantara para hakim itu ada berpedaan pendapat sebelum memutuskannya.

Syamsul dan Askin tidak sepakat apabila perbuatan korupsi yang dilakukan oleh eks Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) itu adalah perbuatan pidana. Syamsul menilai itu perbuatan perdata, sedangkan Askin menyebut apa yang dilakukan oleh Syafruddin adalah perbuatan administrasi. 

Maka, Wakil Ketua KPK, Laode M. Syarif terlihat bingung. Sebab, selama hampir 5 tahun memimpin KPK, baru kali pertama ia membaca putusan kasasi semacam ini. “Putusan ini aneh bin ajaib,” ujar Syarif, seperti dilansir IDN Times, Selasa (9/7/2019). 

Mantan pengajar fakultas hukum di Universitas Hasanuddin, Makassar itu menilai aneh lantaran ketiga hakim sepakat Syafruddin bersalah melakukan korupsi. Tapi, para hakim justru berbeda pendapat. 

“Ada yang menilai pidana, perdata, dan administratif. Ketiga pendapat seperti ini mungkin baru kali ini terjadi,” kata Syarif. Dengan putusan MA tersebut, harapan Syafruddin untuk bisa menghela udara bebas, terkabul sudah. Syafruddin langsung bebas.

Dalam persidangan yang digelar pada hari terakhir batas penahanannya, eks Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) itu dianggap oleh majelis hakim agung tak terbukti berbuat pidana. 

Alhasil, majelis hakim MA mengabulkan kasasi yang diajukan oleh Syafruddin pada awal tahun ini. Padahal, sebelumnya di tingkat Pengadilan Tinggi, hukuman Syafruddin justru diperberat menjadi 15 tahun dari yang semula 13 tahun penjara. Begitu pula denda yang dikenakan, dari semula Rp700 juta menjadi Rp1 miliar. 

“Mengadili, satu mengabulkan permohonan kasasi dari pemohon kasasi atau terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung tersebut. Kedua, membatalkan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada PT DKI Jakarta No. 29/PID.SUS-TPK/2018/PT.DKI tanggal 2 Januari 2019 yang mengubah amar putusan Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat No. 39/PID-SUS/TPK/2018/PN.JKT.PST tanggal 24 September 2018,” kata Abdullah. 

Dengan itu, MA memerintahkan pengadilan agar membebaskan Syafruddin dari tahanan.  “Memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnya,” lanjut Abdullah lagi. 

Politik Sandera

Diseretnya Syafruddin Arsyad Temenggung via KPK itu untuk  menciptakan ancaman kepada Ketum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri sebagai target penetapan tersangka adalah untuk Rekonsiliasi “Ki Dalang” dengan Megawati-PDIP April 2018.

Penetapan paslon 01 Joko Widodo – Ma’ruf Amin oleh koalisi PDIP; Manuver Ki Dalang menggagalkan Deddy Mizwar, Sudrajat, Sudirman Said, dan Puti Guntur menjadi Gubernur di Jabar, Jateng, dan Jatim;

Manuver Ki Dalang melalui KPK untuk memastikan Lukas Enembe penuhi komitmennya guna memenangkan paslon 01 dan menyandera kepala-kepala daerah lain untuk bisa curangi pemilu demi paslon 01;

Manuver Ki Dalang membantu kemenangan Ganjar Pranowo pada Pilkada Jateng 2018 lalu sekaligus memastikan Ganjar tetap jadi sandera kasus suap e-KTP di KPK; Juga manuvernya melalui KPK guna menyandera Wapres Jusuf Kalla melalui kasus suap PLN melibatkan Idrus Marham dan Sofyan Bashir (tangan kanan JK di PLN).

Dus, PDIP praktis tersingkir dari Oligarki penguasa di balik rezim Jokowi pasca penetapan Capim KPK 2015-2019 oleh Komisi III DPR pada Desember 2015. Tidak ada seorang pun 5 Capim KPK itu proksi PDIP dan Golkar.

Sebut saja, Agus Rahardjo, Basaria Panjaitan, dan Saut Situmorang adalah proksi Ki Dalang Cs, Alexander Marwata “wakil” CSIS, dan Laode M. Syarif “orangnya” JK. Pasca Desember 2015 kader-kader PDIP di rezim Jokowi disingkirkan.

Kecuali yang tertinggal hanya Puan Maharani, Tjahjo Kumolo, dan Budi Gunawan. Pramono Anung, mantan Sekjen PDIP yang telah dipecat, ditunjuk menjadi Seskab untuk mengelabui publik seolah-olah PDIP masih jadi penguasa di balik Jokowi.

Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) dibentuk Presiden Jokowi untuk bonsai BG. Mantan Kepala Lemsaneg Djoko Setiadi dipercayakan Jokowi untuk memimpin lembaga yang akan berkoordinasi langsung dengan presiden tersebut.

Melalui KPK, The Superbody Ki Dalang Cs bisa leluasa menyandera lembaga negara (BPK, MA, KPU, DPR, dan MK). Menyandera partai-partai politik tertentu (PDIP, Golkar, PKB, PPP, PAN). Menyandera Kepala-kepala daerah. Juga, menyandera JK.

Semua untuk mewujudkan kemenangan Jokowi pada Pilpres 2019. Pansus Hak Angket KPK di DPR adalah perlawanan PDIP-Golkar atas upaya penyanderaan Mega, PDIP, dan Golkar oleh Ki Dalang Cs melalui KPK.

Pansus Hak Angket KPK ini berhasil dipatahkan Ki Dalang dengan mengelabui partai-partai lain agar menolak usulan rekomendasi Pansus Hak Angket DPR. Catat, Ki Dalang dan CSIS itu sejak 2014 hingga hari ini tetap jadi penguasa sesungguhnya di balik rezim Jokowi.

Yang berubah adalah PDIP sebagai kolaboratornya. Pada Desember 2015 – Maret 2018 PDIP disingkirkan, pada April 2018 – Juni 2019 PDIP dilibatkan lagi. Rekonsiliasi Ki Dalang Cs dengan PDIP pada April 2018 adalah strategi Ki Dalang Cs untuk:

Menggagalkan Cagub-cagub di Pilkada yang diusung Gerindra; Menjadikan PDIP sebagai operator pencurangan pemilu melalui jaringan pencurangan pemilu yang dikendalikan Ki Dalang sejak 2009; Dan, Memenangkan paslon 01.

Pasca Pemilu 2019 lalu, Ki Dalang Cs dan CSIS berupaya untuk kembali menggusur PDIP-Mega keluar dari lingkaran penguasa di balik Jokowi, melalui manuvernya menetapkan Syamsul Nursalim (BDNI) sebagai tersangka kasus BLBI oleh KPK.

Kembali menyandera Mega dengan ancaman jadi Tersangka BLBI. Melalui ancaman, Mega akan jadi tersangka oleh KPK setiap saat diperintahkan Ki Dalang, PDIP tidak bisa paksa Ki Dalang untuk memenuhi komitmen yang disepakati sebelum Pemilu 2019.

Sesuai kesepakatan, BG akan menjadi wapres pengganti Ma’ruf Amin pada awal 2020 yang akan datang. Ki Dalang untuk kesekian kali mengkhianati Mega/PDIP. Mega, BG, dan PDIP telah dikhianati Ki Dalang berkali-kali, termasuk penggagalan BG menjadi Kapolri.

Yakni, melalui penetapan tersangka BG oleh KPK. Entah mengapa, pada April 2018 lalu, Mega, BG, dan PDIP kembali masuk perangkap Ki Dalang: PDIP mau mengusung Jokowi-Ma’ruf yang bukan kader partai jadi paslon.

Pencurangan dan manipulasi pemilu 2019 hanya bisa terjadi dengan bantuan jaringan yang dikuasai oleh Ki Dalang. PDIP sudah merasakan pahitnya kekalahan pada beberapa Pilkada sebelumnya di Bali, Papua, Banten, dan Jatim akibat dicurangi Ki Dalang.

Harus diakui bahwa berkat dukungan pencurangan pemilu oleh jaringan Ki Dalang, termasuk melalui Judicial Review UU Pemilu di MK menghasilkan 129 kursi DPR untuk PDIP. Tanpa pencurangan itu, PDIP hanya meraih 86 kursi DPR.

JK, Prabowo, Megawati, BG, Zulkifli Hasan, Romahurmuzy, Osman Sapta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, JK dan lain-lain elit politik Indonesia sejatinya adalah sama-sama korban politik Ki Dalang-CSIS.

Jokowi sejak awal sejatinya adalah kader Ki Dalang Cs dan CSIS. Mereka sejatinya adalah Penguasa RI di balik Jokowi. Jadi, sudah paham kan? Mengapa yang teriak cuma Laode M. Syarif? Itu karena dia bukan orangnya Ki Dalang Cs, tapi JK.

Pembebasan Syafruddin bisa jadi merupakan bentuk perlawanan BG-PDIP atas manuver Ki Dalang Cs dalam proses sandera Mega.

***