jika para ulama pendukung Prabowo mengklaim Ijtima Ulama yang diprosuksinya sebagai keinginan Allah, maka para ulama tersebut telah mendiskreditkan Allah.
"Tapi kalau mereka mau istiqomah ya laksanakan. Keputusan ulama atas kesepakatan sosok yang sudah dipilih sama dengan keinginan Allah."
Itulah pernyataan Persaudaraan Alumni (PA) 212 yang ditegaskan oleh Ustadz Bernard Abdul Jabbar pada 2 Agustus 2018 sebagaimana yang dikutip oleh CNNIndonesia.com.
Bernard bukan tokoh sembarangan dalam PA 212. Ia memegang jabatan mentereng: Sekretaris Umum Persaudaraan Alumni 212.
Pernyataan Bernard tersebut dilontarkan saat PA 212 mengirim surat resmi yang ditujukan kepada partai-partai koalisi keummatan, Partai Gerindra, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Berkarya.
Dalam isi suratnya, PA 212 meminta kelima parpol tersebut untuk menghormati dan menghargai hasil Ijtima Ulama soal calon presiden dan calon wakil presiden (cawapres) dalam Pilpres 2019.
Untuk capres, pilihan PA 212 jatuh pada Prabowo Subianto. Sementara untuk cawapres, PA 212 menyodorkan dua pilihan, yaitu Habib Salim Segaf Al Jufri atau Ustaz Abdul Somad
Dalam isi suratnya, PA 212 juga menyinggung tentang kepatuhan kepada ulama sama halnya patuh dengan Rasulullah (Nabi Muhammad).
"Isi surat menyatakan jika kepatuhan kepada ulama sama halnya patuh dengan Rasulullah. Tidaklah mungkin ulama sebagai pewaris Nabi akan menyalahgunakan wewenang, bicara menurut hawa nafsunya," kata Bernard..
Singkatnya, atas dasar keinginan Allah dan kepatuhan terhadap Rasulullah, partai koalisi wajib menjunjung tinggi penunjukan Habib Salim Segaf Al Jufri atau Ustaz Abdul Somad sebagai cawapres bagi Prabowo Subianto.
"Jika kalau Habib Salim Segaf Al Jufri atau Ustaz Abdul Somad yang ditunjuk sebagai cawapres Bapak Prabowo, partai koalisi wajib menjunjung tinggi keputusan tersebut," tegas Bernard.
Faktanya, tidak satu pun, baik itu Habib Salim Segaf Al Jufri ataupun Ustaz Abdul Somad yang dipilih Prabowo sebagai calon presiden pendampingnya dalam Pilpres 2019. Prabowo malah memutuskan Sandiaga Uno sebagai cawapresnya.
Karenanya, jika mengikuti logika dari pernyataan yang dilontarkan PA 212 lewat sekretaris umumnya, sikap Prabowo tersebut merupakan bentuk penolakan terhadap keinginan Allah sekaligus juga wujud pembangkangan terhadap Rasulullah.
Menariknya, meskipun Prabowo menolak ijtima ulama yang disebut PA 212 sebagai keinginan Allah dan membangkang pada Rasulullah, para ulama yang tergabung dalam PA 212 tetap mendukung Prabowo.
Artinya, PA 212 mendukung penolakan Prabowo atas keinginan Allah sekaligus juga pembangkangan terhadap Rasulullah.
Bahkan, lebih dari itu saja, pada 16 September 2018, PA 212 kemudian mengeluarkan ijtima baru yang isinya mendukung pasangan Prabowo-Sandi.
Jelas, isi ijtima ulama yang kemudian dikenal sebagai Ijtima Ulama II ini berbeda dengan ijtima yang dikeluarkan satu setengah bulan sebelumnya.
Jika ijtima ulama menurut PA 212 adalah bentuk keinginan Allah, maka apa artinya?
Jawabannya sangat sederhana.
Pertama, jika ijtima ulama merupakan keinginan Allah, maka keinginan Allah tersebut berubah hanya dalam tempo satu setengah bulan.
Kedua, karena keinginan Allah berubah dan menyesuaikan atau bahkan tunduk pada kemauan Prabowo, maka kemauan Prabowo berada di atas keinginan Allah. Atau bisa dikatakan, Prabowo berada di atas Allah.
Kesimpulannya, jika mengikuti logika PA 212, Allah tidak memiliki kekuasaan penuh atas makhluk ciptaannya sendiri, setidaknya Prabowo Subianto.
Kemudian pada 2 April 2019, para ulama yang sama kembali mengeluarkan ijtima. Kali ini ijtima yang keluar pasca-Pilpres 2019 tersebut dikenal sebagai Ijtima Ulama III.
Yang isinya,
Pertama, Ijtima Ulama menyimpulkan bahwa telah terjadi kecurangan dan kejahatan bersifat terstruktur, sistematis dan masif dalam proses penyelenggaraan pemilu 2019.
Kedua, mendorong dan meminta kepada Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandi untuk mengajukan keberatan melalui mekanisme legal, prosedural tentang terjadinya berbagai kecurangan dan kejahatan, terstruktur, sistematis dan masif dalam proses pemilihan presiden 2019.
Sedangkan poin kelima berbunyi, memutuskan melawan kecurangan kejahatan serta ketidakadilan adalah bentuk amal marif nahi munkar, konstitusional dan sah secara hukum dengan menjaga keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia dan kedaulatan rakyat.
Dari kelima poin dalam Ijtima Ulama III tersebut dapat disimpulkan jika Ijtima Ulama merupakan bentuk keinginan Allah, maka Allah yang diyakini Mahamelihat itu ternyata tidak mengetahui adanya kecurangan yang merugikan keinginan-Nya sendiri.
Sedangkan untuk poin ketiga dan keempat yang berbunyi;
Ketiga, mendesak Bawaslu dan KPU untuk memutuskan membatalkan, atau mendiskualifikasi paslon capres-cawapres 01.
Baca Juga: Ijtima Ulama III, Politik Ugal-ugalan yang Sesatkan Umat
Keempat, mengajak umat dan seluruh anak bangsa untuk mengawal dan mendampingi perjuangan penegakan hukum secara syari dan legal konstitusional dalam melawan kecurangan kejahatan serta ketidakadilan termasuk perjuangan pembatalan/diskualifikasi paslon capres-cawapres 01 yang ikut melakukan kecurangan dan kejahatan dalam Pilpres 2019.
Kesimpulannya, Allah yang Mahaberkehendak sudah kehilangan "kun fayakun-Nya" sehingga untuk mewujudkan keinginan-Nya saja sampai harus mendesak Bawaslu dan juga KPU untuk mendiskualifikasi paslon Jokowi-Ma'ruf Amin.
Tetapi, dalam keyakinan Islam, Allah tidak seperti yang coba dinarasikan oleh PA 212. Bagi muslim, Allah adalah Mahatinggi, Allah Mahamelihat, dan Allah Mahaberkehendak. Dan, Allah sangat tidak mungkin merevisi keinginan atau kehendakmnya hanya karena berbeda dengan kemauan makhluk ciptaannya.
Karenanya, jika para ulama pendukung Prabowo mengklaim Ijtima Ulama yang diprosuksinya sebagai keinginan Allah, maka para ulama tersebut telah mendiskreditkan Allah.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews