Mungkin Ini Saatnya Kirimi Sandiaga Bunga Tanda Simpati

Dengan bunga itu pula, kita nyatakan simpati kita atas kejujuran Sandiaga, yang meski tidak melalui ucapan, cukuplah dengan ekspresi wajah.

Sabtu, 27 April 2019 | 02:22 WIB
0
834
Mungkin Ini Saatnya Kirimi Sandiaga Bunga Tanda Simpati
Karangan Bunga untuk Sandiaga [ilustrasi, diolah dari Liputan6.com dan aliexpress.com]

Tak ada orang yang benar-benar hitam atau  sama sekali putih. Manusia pada hakikatnya kelabu, percampuran antara kebaikan dan keburukan, antara tindakan-tindakan benar dan sejumlah kekeliruan. Bahkan sekelam-kelamnya Preteanu dalam Shangri-La milik Ken Budha Kusumandaru (Aiih, saya beta reader buku keduanya dulu), tetaplah ada kebaikan dalam dirinya. Setidaknya di balik jalannya yang 'jahat' itu ada tujuan yang 'baik.'

Jika kita bisa menemukan sekeping kebaikan dalam diri Preteanu --juga dalam diri Magneto (X-Man), Gellert Grindelwald (Fantastic Beast), atau tokoh-tokoh antagonis novel dan film lainnya-- maka sebenarnya tak sulit pula mengakui sejumlah hal baik dalam diri Prabowo.

Kalau hal baik dalam diri Prabowo saja bisa kita temukan, apalagi dalam diri Sandiaga Uno.

Mungkin karena banyak orang, sadar atau tidak, percaya ada hal baik dalam diri Sandiaga Uno; atau mungkin mengharapkan sisi baik Sandiaga Uno mengalahkan sisi kelamnya, orang mudah percaya Sandiaga Uno benar-benar bertengkar dengan Prabowo Subianto dan sejumlah orang di tim mereka soal deklarasi klaim kemenangan.

Saya sendiri lebih senang mempercayai versi kisah Sandiaga Uno mula-mula menolak pendeklarasian klaim kemenangan kubunya. Saya juga tak keberatan jika demi menghormati kejujuran dan sikap ksatria, Sandiaga menerima dampak ditampar Prabowo sebagaimana rumor yang viral itu.

Mungkin selain karena berharap sisi baik Sandiaga mengalahkan sisi jahatnya, juga karena  rumor penamparan itu--atau setidaknya dibentak--memiliki landasan lumayan kuat, terutama setelah Sandiaga muncul dalam kesempatan ketiga deklarasi klaim kemenangan dengan raut wajah dan bahasa tubuh yang tak pernah terlihat sebelumnya.

Sulit menerima penjelasan wajah Sandiaga bisa sememelas itu hanya karena cegukan, pilek, atau kelelahan. Sesakit-sakitnya orang, ambien dan wasir parah sekalipun, atau sedang di puncak terparah diare berat, akan sumringah ria-ria wajahnya jika perjuangan 'hidup-mati' yang menghabiskan bermiliar-miliar uang hasil penjualan beribu-ribu lembar saham akhirnya sukses.

Apalagi, pakar gestur dan mikroeskpresi Monica Kumalasari sudah pula angkat suara. Ia menilai ekspresi dan gestur Sandiaga dalam kesempatan ketiga deklarasi klaim kemenangan itu sarat dengan tanda-tanda suasana batin sedih, takut, dan marah. Hal ini sama sekali keluar dari kebiasan Sandiaga yang dalam tekanan seperti apapun selama ini selalu berusaha tampak ceria.

Kondisi seperti apakah yang bisa membuat Sandiaga tak mampu bersandiwara sembunyikan sedih, takut, dan marah di balik senyum dan tingkah kocaknya?

Bagi saya, bukan sakit remeh-temeh seperti cegukan atau vonis kanker sekalipun yang berdaya demikian. Sedih, takut, dan marah yang tak bisa lagi dimanipulasi sandiwara itu hanya mungkin terjadi oleh konflik batin antara ingin bersikap jujur dan ksatria dengan ketakberdayaan diri menghadapi tekanan kelompok.

Sekali lagi, saya lebih senang mempercayai versi ini. Dengan begitu, Sandiaga tetap tampak baik. Ia terpaksa ikut hadir dalam kesempatan ketiga deklarasi klaim kemenangan karena terlalu tak berdaya untuk melawan tekanan kolektifnya. Begitulah. Ekspresi wajah--mungkin juga jejak terjadi sesuatu di sana--dan bahasa tubuhnya mengisyaratkan keterpaksaan itu.

Tak mengapa jika oleh keyakinan ini saya dipandang jamaah post-truth, sekalipun ikon kebudayaan pascakebenaran di Indonesia bagi saya adalah Prabowo Subianto.

Saya kira ini pula cara pandang Kompasianer Prof. Felix Tani, yang menyejajarkan Sandiaga dengan bocah lugu dalam dongeng Denmark, "The Emperor's New Clothes" karya H.C. Andersen.

Namun bukankah dengan menerima versi Sandiaga sebagai anak kecil polos dalam "The Emperor's New Clothes," Prabowo justru menjadi sangat jahat? Sudah bikin Sandiaga jual begitu banyak saham demi biaya pemenangan, masih main tampar si pemilik duit pula?

Aih. Tidak harus begitu kesimpulannya.

Kita bisa melihat urgensi tindakan Prabowo dengan sudut pandang lain--dengan asumsi Prabowo sungguh menampar, atau setidaknya membentak dan menekan Sandiaga agar tunduk kepada skenario yang jadi keputusan kolektif.
Tindakan Prabowo bisa saja dibenarkan kelak di kemudian hari. Anggaplah Prabowo sungguh percaya akan terjadi kecurangan dalam pilpres yang merugikan kubunya. Jadi (asumsinya) narasi kecurangan pilpres bukan dikarang-karang demi alasan menolak kekalahan.

Untuk mencegah kecurangan  di masa perhitungan suara, para saksi dan tim sukses di lapangan harus dikondisikan agar tidak lengah. Jika mereka menerima kesimpulan quick count, yang berarti mereka telah kalah, tim sukses dan saksi-saksi itu akan mundur dari medan tempur, atau bertempur tanpa antusiasme, tidak bersungguh-sungguh. 

Mereka akan jatuh kepada kapitulasi, rela menerima beberapa lembar rupiah sebagai ganti mendiamkan beralihnya suara dalam berita acara sidang pleno rekapitulasi di tingkatan kecamatan, kabupaten/kota, dan seterusnya.

Agar itu jangan sampai terjadi, kubu Prabowo harus meyakinkan mereka bahwa perolehan suara sejatinya berbeda dengan hasil hitung cepat. Cara meyakinkan paling mustajab adalah dengan mendeklarasikan klaim kemenangan. Bisa dimengerti. Maka adalah tindakan insubordinasi di saat paling genting jika Sandiaga sampai tak setuju pendeklarasian itu. Insuburdinasi dalam kondisi genting layak berganjar peluru, apalagi sekadar lima jari jenderal.

Artinya, bagi Prabowo, urusan deklarasi klaim kemenangan--sekalipun tak punya data valid bagi klaim itu--adalah urusan taktis mendesak demi menyelamatkan suara dalam sidang pleno rekapitulasi, bukan urusan nilai dan prinsip kejujuran atau sikap ksatria.

Hanya saja dalam melakukan itu Prabowo memang bermain api. Dengan menyampaikan tudingan pilpres dicurangi, ia bisa membakar seisi negeri.
Prabowo mungkin yakin, seruannya agar para pendukung tidak melakukan tindakan melawan hukum bisa mencegah kemungkinan itu. Namun apakah ia sudah berhitung potensi para Sengkuni bermain di balik punggungnya, mengasah pidato provokatif Prabowo menjadi percik api yang terbang liar dan  hinggap pada ranting-ranting kering para pengikutnya?

Apakah Prabowo sudah menimbang matang kemungkinan orasi-orasi penuh tudingan kecurangannya bisa dimanfaatkan pihak-pihak yang sejak awal hanya membonceng pemilu--menjadikan Prabowo sebagai sedan Grab jarak dekat--demi tujuan lain?

Apakah Prabowo lupa, orang-orang di sekitarnya bisa mengolah hal-hal yang tidak nyata menjadi isu yang sanggup menggulingkan Presiden? Tidakkah ia tahu apa yang terjadi dengan Gus Dur? Presiden hebat itu harus lengser demi kasus yang hingga kini tak pernah terbukti. Tidakkah jelas siapa tokoh utama yang tega membenturkan massa di lapangan demi ambisi politik kekuasaan?

Hhhhh, semoga saja Prabowo sadar dan telah menghitung segalanya.

Kembali ke soal Sandiaga, mungkin ini saatnya kita mengirimkan bunga tanda simpati kepadanya.

Dengan bunga itu kita berterima kasih karena Sandiaga sudah menjadi lawan hebat bagi Jokowi; sudah menyampaikan kritik yang meski terkesan mengarang-ngarang namun cukup membuat kubu Jokowi memeriksa diri, sudah efektifkah kebijakan-kebijakan yang ada memperbaiki kesejahteraan dan harapan bangsa ini? 

Dengan bunga itu pula, kita nyatakan simpati kita atas kejujuran Sandiaga, yang meski tidak melalui ucapan, cukuplah dengan ekspresi wajah. Kita nyatakan pengertian kita bahwa di tengah orang-orang yang berpura-pura memuja-muja pakaian indah Sang Kaisar, Sandiaga harus berpura-pura pula tak melihat sosok telanjang kaisar.

Tetapi kita perlu pula mengingatkan Sandiaga. Pada akhirnya ia harus mengumpulkan keberanian untuk menyelamatkan raja dari tipu daya Shakuni yang dalam kisah "The Emperor's New Clothes" menyaru sebagai penjahit masyur.

Semoga.

***


Sumber:

  1. Detik.com (20/04/2019) "BPN Tepis Isu Viral Prabowo Tabok Sandiaga."
  2. Jpnn.com (19/04/2019). "Pakar Gestur dan Ekspresi Tangkap Ketakutan di Wajah Sandi."
  3. Kompasiana.com (22/04/2019) "Bruce Lee, Nasruddin Hoja dan Sandiaga Uno."