Lipatgandakan Gaji Penegak Hukum, Yakinkah Itu Jadi Solusi?

Senin, 21 Januari 2019 | 20:51 WIB
0
426
Lipatgandakan Gaji Penegak Hukum, Yakinkah Itu Jadi Solusi?
Ilustrasi gaji (Foto: Tribunnews.com)

Pada kesempatan penyampaian visi misi calon presiden dan wakil presiden di Debat Perdana Capres Cawapres oleh KPU, Kamis 17 Januari 2019 lalu, Prabowo mengatakan bahwa Indonesia harus menjamin kualitas hidup semua petugas berwenang agar tidak korupsi. Prabowo menambahkan, penegak hukum harus digaji begitu hebat agar tidak terpengaruh godaan dari luar. Untuk itu menurut Prabowo, negara harus menguasai sumber-sumber ekonomi.

Prabowo mau menaikkan gaji penegak hukum setinggi-tingginya? Apa dia yakin korupsi akan berhenti dengan begitu? Ayo kita cermati lagi kasus-kasus korupsi yang terjadi di Indonesia selama ini. Dilansir dari Katadata.co.id, data KPK di tahun 2018 bahwa sepanjang periode 2004 -- September 2018 sebanyak 19 hakim, 7 jaksa dan 2 polisi terlibat korupsi. Dalam periode yang sama sebanyak 229 orang anggota DPR dan DPRD RI terjerat kasus korupsi.

Saya mencoba menelusuri penghasilan (gaji plus tunjangan) terbesar dari semua profesi di atas dan kaitannya dengan perilaku korupsi yang mereka lakukan. Tentu saja ini cuma survey kecil-kecil orang awam, tapi data yang ada di situs-situs berita terpercaya berserakan soal ini. Bersumber dari gajimu yang datanya diambil dari data resmi berdasarkan undang-undang (terlampir), gaji dan tunjangan tertinggi ada pada gaji pejabat tinggi di  Mahkamah Agung mulai dari Ketua, Wakil Ketua dan Ketua Muda. 

Selain itu, penghasilan tertinggi ada pula di hakim pengadilan negeri kelas 1A hingga hakim di tingkat banding. Lalu, gaji dan berbagai tunjangan terbesar ada pada Presiden, Wakil Presiden, Pengurus dan anggota DPR/DPD RI dan seterusnya hingga gaji terendah pejabat publik ada pada posisi kepala daerah (tetapi tunjangan fungsionalnya bisa mencapai milyaran).

Dari data jumlah kasus, gaji dan tunjangan anggota DPR RI adalah termasuk penghasilan terbesar di lingkup pemerintahan dan birokrasi, tetapi kasus korupsi terbanyak justru terjadi di kalangan anggota DPR RI. Dilihat dari list penghasilan, seorang hakim mulai level hakim pratama hingga hakim utama dan ketua pengadilan tinggi bergaji di kisaran 14 juta hingga 40 juta rupiah belum termasuk tunjangan-tunjangannya. Penghasilan itu termasuk dalam kisaran gaji tinggi di kalangan penegak hukum. Tetapi, data kasus korupsi dari tahun 2017 hingga September 2018 menyebutkan sembilan belas di antaranya adalah korupsi oleh hakim.

Itu kita baru bicara soal angka gaji dengan kasus yang terjadi. Padahal ditelaah lebih dalam, kasus korupsi banyak juga terjadi berulang oleh pelaku yang sama yang notabene pelakunya adalah pejabat berpenghasilan tinggi pula. Penyidik senior di KPK, Novel Baswedan mengatakan bahwa koruptor tidak akan melakukan korupsi satu kali. 

Menurutnya, koruptor yang terbukti melakukan korupsi telah melakukannya berulang kali. Oleh karena itu, Novel tidak setuju dengan keputusan Mahkamah Agung yang mengizinkan mantan narapidana korupsi menjadi calon legislatif. "Yang jadi persoalan hanya apakah kita mau menggantungkan harapan dengan mewakilkan diri kita pada orang-orang yang punya masalah seperti itu. Kalau saya pribadi tidak," kata Novel.

Dilansir dari Tribunnews.com, Indonesian Corruption Watch (ICW) di awal tahun 2018 mencatat setidaknya ada 3 orang yang pernah menjadi residivis korupsi (pelaku korupsi yang sudah menjalani masa hukuman kemudian melakukan praktek korupsi lagi). Ketiga nama tersebut adalah Abdul Latif (Bupati Hulu Sungai Tengah), Mochammad Basuki (Ketua DPRD Jawa Timur) dan Aidil Fitri (Ketua KONI Samarinda).

Abdul Latif, di tahun 2005-2006 sebagai pengusaha pernah tersangkut kasus korupsi pembangunan Unit Sekolah Baru (USB) SMA Negeri 1 Labuan Amas Utara dengan anggaran 711 juta rupiah. Pada 8 Juni 2008 Pengadilan Negeri Barabai menjatuhkan vonis terhadap Abdul Latif 1 tahun 6 bulan penjara dan denda 50 juta subside 2 bulan kurungan dan membayar ganti rugi sebesar Rp. 37.636.500. Terdakwa mengajukan banding tapi di tingkat banding dan kasasi putusan tersebut justru diperkuat.

Pada 4 Januari 2017 Abdul Latif kembali terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK atas kasus suap proyek pembangunan RSUD Damanhuri. Ia diduga menerima suap sebesar 3,6 milyar rupiah.

Mochammad Basuki di tahun 2002 sebagai ketua DPRD Surabaya terlibat dalam kasus korupsi tunjangan kesehatan dan biaya operasional DPRD Surabaya yang merugikan negara sebesar 1,2 milyar rupiah. Anggaran yang semestinya digunakan untuk membayar premi asuransi kesehatan justru dibagi-bagi kepada 45 anggota DPRD Surabaya. 

Pengadilan Negeri Surabaya pun menjatuhkan hukuman 1 tahun 5 bulan penjara dan denda 20 juta rupiah subsider 1 bulan kurungan serta membayar uang pengganti sebesar 200 juta rupiah. Tetapi setelah mengajukan banding, hukuman untuknya dikurangi menjadi 1 tahun penjara dengan denda 50 juta rupiah subside 1 bulan kurungan. Basuki keluar dari penjara pada 4 Februari 2004.

Pada 6 Juni 2017 KPK kembali menetapkan Mochammad Basuki sebagai Ketua Komisi B DPRD Jawa Timur Fraksi Gerindra sebagai tersangka kasus suap pengawasan kegiatan anggaran dan revisi peraturan daerah (perda) di Propinsi Jawa Timur. Basuki menerima suap dari beberapa Kepala Dinas Pemerintah Propinsi Jawa Timur.

Di tahun 2010 Aidil Fitri sebagai anggota DPRD Samarinda menjadi tersangka korupsi dana bantuan social (bansos) dari APBD Samarinda ke klub sepak bola Persisam Putra pada tahun 2007-2008 yang merugikan keuangan negara hingga 1,78 miliar rupiah. Aidil dicopot dari jabatan general manager Persisam Putra dan divonis setahun penjara ditambah denda 50 juta rupiah serta mengembalikan kerugian negara sebesar 1,78 miliar.

Pada tahun 2016 Aidil sebagai Ketua KONI Samarinda kembali ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung dalam kasus penyelewengan dana Pekan Olahraga Propinsi V/2014 Samarinda. Pada 5 Mei 2017 Pengadilan Tipikor Banjarmasin menjatuhkan vonis 1 tahun penjara kepada Aidil dan mewajibkan Aidil membayar uang pengganti sebesar 772 juta rupiah.

Tidak puas atas vonis ringan, jaksa mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Kaltim. Banding pun dikabulkan oleh majelis hakim dan menambah vonis Aidil menjadi 5 tahun penjara.

Menurut ICW, selain karena adanya kesempatan, vonis yang ringan pada kasus korupsi sebelumnya bias jadi faktor pendorong pelaku melakukan korupsi kembali setelah melalui masa hukuman. Vonis ringan tidak membuat pelaku jera. Selain itu, selama semester I tahun 2017 rata-rata vonis koruptor yaitu 2 tahun 3 bulan penjara. Jumlah ini dikategorikan vonis ringan untuk koruptor. 

Vonis yang ringan tanpa upaya pemiskinan koruptor juga jadi fakto mereka berani melakukan korupsi kembali. ICW merekomendasikan agar residivis koruptor dijatuhi hukuman maksimal berdasarkan UU Tipikor yang menjeratnya. Hukuman maksimal untuk kasus korupsi adalah penjara 20 tahun atau seumur hidup. Dalam kondisi tertentu bahkan hukuman mati dapat diterapkan untuk terdakwa yang terbukti bersalah.

Jelas, upaya menaikkan gaji tak bisa menjamin berkurangnya kasus korupsi oleh para penegak hukum atau pejabat publik. Yang lebih dibutuhkan adalah tindakan pencegahan berupa kampanye moril dan penguatan transparansi dan kemudahan dalam administrasi perizinan dan semua tahapan dalam proyek-proyek pemerintah. 

Dalam debat ini untuk isu yang sama, Jokowi mengatakan bahwa pemerintahnya sudah menerapkan Online Single Submission yang memangkas waktu pengurusan perizinan dari berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun menjadi cukup dua jam saja. Menurut Jokowi, dalam Online Single Submission ada keterbukaan dan manajemen pengawasan yang ketat.

Presenter Najwa Shihab pernah berkata bahwa dalam kondisi darurat korupsi, pejabat negara tetap mencuri silih berganti. Sebanyak koruptor masuk penjara, sebanyak itu pula regenerasinya menggarong negara. Jadi, walaupun gaji diperbesar, selama budaya korupsi itu masih merajalela akan sulit bagi aparat menghindari godaan syetan yang datang. Pencegahan berupa sistem bisa jadi satu solusi walaupun tidak menjamin sepenuhnya.

Contoh saja koruptor yang sudah pernah kenyang memakan uang korupsi, ia akan tergiur lagi dan lagi. Jadi, motifnya bukan sekedar kebutuhan hidup yang mendesak. Toh, tunjangan para pejabat sudah cukup besar. Seorang gubernur saja misalnya, gajinya hanya 8 juta rupiah tapi bisa memperoleh tunjangan operasional perbulan hingga 2,7 miliar rupiah yang sah ia gunakan untuk keperluan pribadinya dalam rangka tugas jabatan.

Prabowo mencari momen mengambil simpati pemilih tapi tak memikirkan pembiayaan lain di negara yang lebih mendesak. Jangankan tax ratio dinaikkan, nilai pajak saat ini saja sudah ramai dikritik.

Itulah bedanya Prabowo dengan Jokowi... Di saat yang satunya berkata "duit dan duit", sisi yang lain hanya focus "do it" dan "do it"! Nikmatnya punya pemimpin yang bersih dari korupsi dan catatan buruk di masa lalu. "Di pundak pemimpin yang bebas korupsi, di situlah masa depan negeri" --Najwa Shihab.

***