Di Balik PDIP yang Hebat, Ada Perempuan yang Kuat

Selasa, 8 Januari 2019 | 16:42 WIB
0
500
Di Balik PDIP yang Hebat, Ada Perempuan yang Kuat
Megawati Soekarnoputri dan Soeharto (Foto: Pperpusnas.go.id)

Di antara semua peserta kontestasi pemilihan tahun 2019, ada 2 partai yang masih tetap eksis dari orde baru hingga sekarang. Untuk yang satunya lagi, pada saat orde baru, partai tersebut hanya seperti organisasi yang dilegalkan oleh rezim yang kemudian bertransformasi menjadi sebuah partai yang kita kenal dengan nama Partai Golongan Karya (Golkar).

Kemudian untuk 2 partai yang hingga kini masih eksis tersebut adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan yang terakhir PDI, kemudian berubah menjadi PDI-P.

Namun dalam partisipasinya pada pemilu, diantara ketiga kelompok tersebut, bisa dikatakan hanya PDI-P yang konsisten mendapatkan suara di atas 10 persen. Misalnya pada saat tahun 1999, PDI-P mendapatkan peringkat pertama dengan suara untuk DPR sebanyak 35jt suara lebih.

Kemudian pada tahun 2004, mendapatkan 18,53 persen suara. Di tahun pemilihan berikutnya, PDI-P mendapatkan 14,03 persen suara. Terakhir pada tahun 2014, PDI-P mendapatkan 18,95 persen suara dan dinyatakan sebagai partai dengan suara terbanyak kembali.

Berdasarkan data tersebut, sebenarnya PDI-P sudah menasbihkan diri sebagai partai yang sangat kuat. Hal ini cukup beralasan bagi saya, karena dari 4 (empat) kontestasi tersebut, PDI-P tidak pernah keluar dari 5 besar partai yang memperoleh suara terbanyak.

Ada hal yang menarik bagi saya dari kekuatan partai ini, adalah kekuatan sosok ketua partainya. Sebab jika ditelusuri, dari semua partai yang sempat berkontestasi dan masuk ke lima besar partai dengan suara terbanyak, hanya PDI-P saja yang pemimpinnya adalah seorang perempuan. Dia adalah Dyah Permata Sari Megawati Soekarnoputri atau yang biasa kita kenal dengan Ibu Mega.

Anak Pendiri Bangsa yang (sempat) Terasingkan

Bukan menjadi rahasia lagi, jika Ibu Megawati adalah anak dari salah satu pendiri bangsa Indonesia, yaitu Ir. Soekarno. Namun statusnya tersebut, justru tidak pernah ada “keistimewaan” yang diperoleh. Malah yang ada, beliau sempat mengalami “pembuangan” (baca: kriminalisasi) oleh orde baru.

“Pembuangan” itu terjadi setelah Soekarno lengser atau lebih tepatnya dilengserkan oleh orde baru dengan alasan Soekarno ikut membantu pemberontakan PKI terhadap negara. Beberapa tahun setelah orde baru menduduki tahta tertinggi di Indonesia, Soeharto selaku simbol orde baru, melakukan proses desoekarnoisasi.

Desoekarnoisasi adalah proses “pembuangan” orang-orang yang dilakukan oleh Soeharto kepada para pendukung dari Soekarno maupun keluarga dari Soekarno pada kontestasi politik di Indonesia. Efeknya sudah dapat ditebak, para pendukung maupun keluarga Soekarno pun menghilang dari kancah politik di Indonesia. salah satu yang terkena dari operasi tersebut adalah Megawati.

Salah satu upaya yang dilakukan oleh orde baru guna membatasi gerak dari para keturunan Soekarno adalah memaksa Megawati untuk patuh pada peraturan yang ditetapkan oleh kampus, yaitu dilarangnya penyebaran ideologi dari Soekarno. Saat itu, menurut Ahmad Basarah yang mendengar kisah tersebut dari Ibu Megawati, kampus mengajukan pilihan kepada Ibu Megawati.

Pertama, dia tetap menjadi mahasiswa di kampus tersebut, namun dia diharuskan keluar dari organisasi yang tengah diikutinya dan dilarang menyebarkan paham dari ayahnya, yaitu Ir. Soekarno. Atau kedua, dia melepaskan statusnya sebagai mahasiswa di kampus tersebut.

Dengan tegas, Ibu Megawati yang saat itu langsung dipanggil oleh Rektor kampus, menyatakan memilih keluar dari kampus, memilih aktif di organisasi, dan menyebarkan paham yang diberikan oleh ayahnya.

Akhirnya, Ibu Megawati pun dikeluarkan dari kampus atau istilah saat ininya drop out. Bukan hanya sekali Ibu Megawati mengalami hal tersebut, dia mengalami hal tersebut kurang lebih sebanyak 2 (dua) kali.

Penolakan Orde Baru

Sikap represif yang ditunjukan oleh orde baru kepada Ibu Megawati tidak cukup sampai di situ saja. Setelah beliau dikeluarkan dari kampus dan memilih untuk mengembangkan diri di partai politik, yaitu di Partai Demokrasi Indonesia (PDI), orde baru tetap mengawasi gerak-gerik dari Ibu Megawati.

Masih ingat dalam bayang Ibu Megawati, pada saat beliau sedang makan siang di sebuah restoran bersama salah seorang petinggi dari PDI, kondisi dari tempat tersebut mendadak menjadi sepi pembeli. Kemudian pemilik dari restoran tersebut datang ke Ibu Megawati dan membisikan kepada beliau dengan berkata, “Ibu mohon maaf, kalau sudah selesai makannya, ibu kalau bisa jangan lama-lama ya di tempat saya. Karena nanti saya disangka pendukung dari Soekarno.”

Dengan sedikit rasa kesal dan kasihan, Ibu Megawati dan petinggi dari PDI tersebut pergi dari tempat makan tersebut.

Ada juga kisah lain yang dialami oleh Ibu Megawati. Dalam Buku “Menangs dan Tertawa Bersama Rakyat” menggambarkan saat tahun 1993, Megawati Soekarnoputri yang didorong oleh keinginan dari para pimpinan pengurus Cabang dari PDI untuk menyalonkan diri pada Kongres Luar Biasa (KLB) PDI di Asrama Haji Sukolilo, Surabaya Desember 1993. Kongres itu terjadi setelah Kongres IV PDI di Hotel Tiara, Medan 21-25 Juli 1993 tidak mampu memilih ketua umum partai.

Kondisi di KLB PDI tersebut, terasa sangat panas. Karena nama Megawati muncul secara tiba-tiba. Padahal saat kongres yang berlangusng di Medan, nama yang tampil untuk mencalonkan diri di antaranya Soejadi, Aberson Marle Sihaloho, Budi Hardjono, Soetardjo Soerjogurtino, Tarto Sudiro dan Ismunandar, sementara nama Megawati tidak ada.

Singkat cerita, kondisi di KLB tersebut mengalami deadlock. Karena alasan yang sudah saya sampaikan pada paragraf sebelumnya. Setelah mengalami deadlock, akhirnya pemerintah menyatakan KLB PDI gagal. Pemerintah tidak menghiraukan suara arus bawah. Seakan menutup telinga, Pemeritah Orde Baru (baca: Departemen Dalam Negeri), menganggap angin lalu kekuatan arus bawah.

Namun itulah Ibu Megawati, meskipun Pemerintah Orde Baru menyatakan gagal, ketika kongres seakan akan berakhir ketika massa PDI dan pendukungnya ingin pulang ke daerahnya masing-masing, sekitar pukul 22.00 WIB, dua jam sebelum masa izin kongres berakhir, Megawati bangkit dari duduknya dan melakukan konferensi pers dan mengeluarkan pernyataan politik bahwa secara de facto dirinya terpilih menjadi Ketua Umum PDI Periode 1993-1998.

Sungguh panjang perjalanan kisah dari Ibu Megawati selaku petinggi dari PDI. Jika dalam kehidupan kita ada adagium yang menyatakan, “Di balik laki-laki yang hebat, terdapat kuat”, maka saya pun membuat adagium untuk PDI yang kurang lebih seperti ini, “Di balik PDI yang hebat, ada perepuan yang hebat.”

***

Sumber:

Megawati dalam Catatan Wartawam: Menangis dan Tertawa Bersama Rakyat

http://www.er.id/read/Q9UeW6-pemilu-1999-pertama-setelah -reformasi

http://m.detik.com/news/berita/155421/inilah-hasil-pemilu-legislatif-2004

http://partai.info/pemilu2009

http://m.tributnews.com/amp/pemilu-2014/2014/05/100hasil-pemilu-legislatif-2014-pdip-menang