Vivian Balakrishnan Menlu Singapura dan Chicken Rice Sandi Uno

Jumat, 2 November 2018 | 06:27 WIB
0
552
Vivian Balakrishnan Menlu Singapura dan Chicken Rice Sandi Uno
Sandiaga Uno (Foto: Miftah Sabri)

Namanya Vivian Balakrishnan. Dia seorang dokter. Ibunya Cina, Ayahnya India. Dahulunya, dia Presiden Mahasiswa National University Of Singapore. Semacam Ketua BEM kalau di Indonesia.

Selepas itu dia melanjutkan studi lanjutan tentang Oftalmologi, bedah mata di Edinburgh Univeraity Scotlandia, tempat Fahri melanjutkan studi postdocnya dalam Filem Ayat Ayat Cinta 2. Mirip Faldo Maldini II, eks Presiden BEM UI. Melanjutkan studi Fisika Material ke Imperial Colleges London.

Namun, sepertinya layaknya Dokter Cipto Mangkunkusumo, Dokter Mahatir Muhammad, dan belakangan Dokter Gamal Albinsaid di Indonesia, stetoskop dan segala alat kedokteran kurang ia minati secara serius. Hal-hal kemasyarakatan mengurus orang banyak lebih ia minati. Maka, Vivian terjun ke poltik di Singapura. Menjadi anggota parlemen daerah pemilihan Bukit Timah dari Partai PAP (People's Action Party). Partai utama di Singapura.

Karier politiknya merangkak dari bawah. Sebelum menjadi menteri luar negeri, dokter ganteng ini adalah Menteri Pemuda dan Olahraga. Kemudian menjadi Menteri Perdagangan dan Perindustrian. Serta sempat pula, ia menjadi Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional.

Salah satu inisiatifnya sebagai menteri adalah mengurusi inisiatif "smart nation" di Singapura. Dari jam terbang dan pengalamannya, dia bisa dikategorikan sebagai Politsi senior dan matang dari negeri Jiran.

Malam itu, Saya dan Bang Sandiaga Salahuddin Uno mendapat kesempatan berbicara "in person" dengan beliau. Sebagai Politisi kemaren sore, kami tentu harus banyak belajar dari politisi senior lintas bangsa. Kesempatan itu kami dapatkan dari sebuah undangan jamuan makan malam.

Selepas mengisi kuliah umum atas undangan ISEAS (Institute of Southeast Asian Studies) Singapura, kami mendapatkan undangan Dokter Vivian. Tentunya dengan reputasi sebagaimana saya sebut di atas, semua yang keluar dari mulut Dokter Vivian susah untuk bisa diragukan lagi kesahihannya.

Sebagaimana jamuan makan malam diplomatik, awalnya pembicaraan kaku. Tapi memang Dokter Vivian canggih luar biasa. Dia bisa mengerti membukanya dengan apa. Ia mulai dengan membahas topik kedua negara sebagai jiran tetangga.

Sebagai jiran, stabilitas politik Indonesia adalah penting bagi singapura. Siapapun yang memimpin Indonesia dengan catatan bertarung secara demokratis adalah sahabat Singapura. Bagi kami, Pak Jokowi dan Pak Prabowo adalah teman Singapura. Kira-kira begitu.

Sengaja, saya menjamu Bapak Sandi yang datang ke sini. Karena beberapa minggu yang lalu, Pak Ma'ruf Amin juga datang ke Singapura, bahkan dijamu oleh Perdana Menteri Lee Hsien Loong. "Masak, Sandi Uno datang kita ga jamu," katanya sambil ketawa.

Tiba-tiba jamuan makan semakin mengalir macam bincang-bincang kawan dekat yang lama tak jumpa. Bang Sandi menceritakan dia pernah menjadi karyawan di Singapura yang tinggal di Lucky Plaza. Ia juga memegang greencard dan bahkan menikahpun di Singapura.

Beranjak kemudian ke tema politik. Tentang bagaimana dia menghadiri 4 titik kampanye di Batam. Puluhan ribu orang tumpah ruah di sana. Kemudian berpindah membahas isu terkait Batam dan Singapura. Mengagetkan, ternyata pertumbuhan ekonomi Batam terendah di Indonesia, nomor dua papan bawah di atas Nusa Tenggara Timur. Ada deindustrialisasi di Batam. Padahal, UMR di sana lebih tinggi dari daerah-daerah di Jawa.

Dokter Vivian memutar pertanyaan. "How was your campaign? I hear about chicken rice discourse," katanya. Saya tidak kaget dengan pertanyaan ini karena diplomat muda yang mengurus acara ini saja sebelum pertemuan sempat bertanya demikian. Diskusi di ISEAS juga membahas ini. Dugaan saya, dia sudah mendapatkan briefing dari timnya untuk menanyakan hal itu pula. Sehingga, basa basi diplomatik tercipta. Bicara jadi ngalir.

Sandi si Politisi kemarin sore menjawab "saya hanya mengutip dari data Bank Dunia". Tidak lebih. "Apa Iya?" kata Dokter Vivian sang menlu ini. "Silahkan cek saja kalau tidak percaya", jawab Sandi.

Bang Sandi melanjutkan penjelasan, "coba saja cek harga 1kg beras dan 1kg Ayam di Singapura. Itu memang lebih kompetitif di Singapura dibanding Indonesia".

Seraya tidak percaya, sang menlu menyambar HP-nya di Meja. Dia membuka website e-dagang Singapura dan mengecek harga beras.

Di sana jenis beras premium dijual per 5kg. Sedangkan di Indonesia dijual per Kg. Dia pun kaget. WAW! Amazing. Benar, harga 1kg beras tersebut lebih murah. Bahkan, dia lebih kaget. Ini premium punya. Dalam dua jam kalau saya order ini akan sampai.

Kemudian dia melakukan pencarian lagi untuk harga Ayam per kg. Harga ayam mentah nya. Nah untuk harga ayam, sedikit lebih mahal, tapi tidak jauh hanya beda berapa ribu. Tapi muncul lah pertanyaan? How come?

Selidik punya selidik. Singapura tidak punya lahan padi dan sawah, mereka semua Impor. Namun, impor tersebut dari Vietnam atau Thailand, langsung masuk ke negara kota itu tanpa ada lagi biaya logistik. Wajar beras di Singapura dengan kualitas premium lebih murah dari Indonesia.

Untuk Ayam ini ada yang menarik. Dia bilang ini kami impor ayam dalam skala besar dari Brazil. Vivian bilang kenapa ga dibuat ya di Indonesia ternak ayam skala besar di Batam atau Riau untuk ekspor ke sini. Bahkan ketika impor udah melewati beberapa benua tersebut ayamnya harganya beti beti, beda tipis dengan Indonesia.

Vivian sebelum menteri luar negeri, meskipun dia Dokter, adalah menteri perdagangan dan industri Singapura. Mestilah keterangannya valid. Kami terus lanjut makan ikan salmon sembari saling melanjutkan diskusi tentang ayam dan beras.

Sambil bercanda dia bilang kalau ada dari Indonesia bisa sediakan ayam, kami akan dengan senang hati, daripada jauh-jauh impor dari Brazil. Saya menjawab dalam hati, untuk ayam dalam negeri aja kita masih kurang. Boro boro. Hehe.

Setelah didalami lagi, ada yang menarik. Ternyata pakan industri ayam ini juga kadar impornya tinggi. Inilah yang membuat industri ayam di Indonesia bukan perkara sederhana. Padahal, Indonesia penggemar Ayam. Nasi Goreng Ayam. Ayam Goreng. Ayam bakar. Ayam kremes. Pecel Ayam. Mie Ayam. Ayam Pop! Apa-apa Ayam.

Saya senang dari meja makan malam semi diplomatik ini mata saya terbuka lebar. Pintu hati terketuk. Dari polemik soal chiken rice Jakarta vs Singapura ini, ada polemik dan diskusi tentang kebijakan yang bisa kita ambil.

Daripada kita mengarahkan perdebatan ini bohong vs itu tidak bohong. Ini malaikat vs itu iblis. Ini orang baik vs itu orang jahat. Maka dari itu sebaiknya diskusinya adalah soal tata niaga ayam dan tata niaga beras Indonesia. Sebagai dasar dari polemik harga chiken rice yang fenomenal itu.

Sama dengan diskusi tentang tempe setipis atm. Di situ, ada diskusi tentang tata niaga kedelai. Efek penguatan dollar terhadap rupiah dan pengaruhnya pada kreatifitas tukang tempe.

Sebagaimana kita ketahui, kedelai itu tidak banyak tumbuh di Indonesia dan mayoritas Impor. Bagaimana caranya kedelai yang menjadi bahan dasar tahu dan tempe ini bisa tumbuh dengan skala masif di Indonesia? Adakah teknologi yang bisa kita implementasikan? Sehingga, suatu saat kedelai dan tempe tahu tidak lagi terpengaruh pada fluktuasi dollar terhadap rupiah.

Ini yang lebih menarik minat saya dan karena ini politik menjadi menarik untuk digeluti. Karena lewat politik lah, kita mengurusi soal soal ini.

Kemudian soal minyak yang menggoreng kerupuk emak kita di rumah, soal bensin yang kita bakar di kendaraan kita, soal ayam, beras, tempe-tahu. Dan soalan lainnya, semua diatur oleh kebijakan politik.

Ketimbang bersifat defensif, ada baiknya kita berdialog. Bahwa, ada masalah dengan tata niaga dan pertanian kita. Lets talk politely in politics.

Kembali ke dokter Vivian, sang Menlu negara sahabat kita. Waktu menujukkan jam 21.00. Pesawat rombongan Sandi Uno balik ke Jakarta sekitar pukul 22.30 malam. Saya bilang santailah, kita sedang jadi tamu menteri luar negeri ini. Telat sedikit mereka akan menunggu.

Vivian menyambar, "Oo No No. Bahkan Singapore Airlines tidak akan menununggu, even saya menteri luar negerinya yang terlambat." Kami tertawa bersama.

Sandi Uno menyambar, "Ya! Saya dengan Garuda Indonesia. Mereka juga tidak akan menunggu jika Sandi Uno terlambat,"
Kami pun menutup makan malam itu. Cekrek-cekrek, saya minta selfie bertiga.

Vivian mengantar kami ke lobby Hotel Orchard. Dia tampak kaget. Mana mobilnya? Kami naik taksi. Tidak ada mobil diplomatik-diplomatikan. Tidak ada seorangpun pejabat ataupun staf dari kedutaan Indonesia di Singapura yang datang di acara dan menemani. Padahal untuk kegiatan ini, Sandi harus mendapat approval dulu dari komisi pemilihan Umum.

Artinya, untuk sopan santun ketimuran, harusnya ada hospitality sikit-sikit. Sandi hanya datang dengan dua orang stafnya. Satu staf media dan satu fotografer. Ditambah dua ajudan resmi Polisi dari KPU. Dia menenteng ranselnya sendiri. Sampai di bandara, baru atase kepolisian RI menyambut di lobi keberangkatan. Itupun bentuknya komunikasi dari senior-junior polisi yang mengawal, bukan karena saluran resmi.

Seminggu sebelumnya sempat beredar surat berkop Kedutaan Indonesia di Singapura yang melarang warga Indonesia untuk datang dalam kegiatan politik di Singapura. Isi surat itu kira-kira, kalau kamu datang maka kamu akan ditangkap polisi Singapura. Mungkin ini yang menyebabkan, meskipun kegiatan Sandi Uno di ISEAS, diikuti sedikit warga Indonesia. Justru, lebih banyak orang luar.

Tadinya, saya fikir ini benar. Cuma saat menutup perbincangan dr Vivian nyeletuk, "Sayang sekali anda hanya sebentar dan tidak menginap. Kan banyak orang Indonesia di sini. Anda bisa berdialog dan bertemu. Mereka bisa dikumpulkan." Saya jadi teringat, loh? Surat yang kemaren beredar itu berarti paradoks dengan pertanyaan dr Vivian.

Kami pun pamit. Sebelum kami naik taksi ke Bandara, Dia bilang, mohon maaf tidak bisa antar sampai bandara. "Saya harus ke daerah pemilihan saya. Ada agenda bertemu konstituen saya di sana. Kalau saya tidak datang, bisa-bisa hilang kursi saya di kabinet," kembali ia tertawa, saya dan bang Sandi pun ikut tertawa.

FYI, Singapura menganut sistem yang berbeda dengan kita. Mereka menganut sistem parlementer. Seorang menteri harus merupakan anggota parlemen terlebih dahulu. Dapil-nya Dr Vivian Balakhrisnan adalah The Holland-Bukit Panjang Group Representation Constituency.

Sama juga nasib Vivian, Sandi, dan saya. Kami harus bertemu terus dengan masyarakat. Sebagai politisi, Mendengar keluhan adalah jalan kami. Untuk kemudian, mengubah input itu menjadi kebijakan.

Di tengah kesempitan perpisahan, kami bertanya, "apa isu kampanye Anda Tuan Menteri Vivian?" Lalu, dia bilang "Ya samalah. Di masyarakat India, isu lapangan pekerjaan. Sementara, kelompok keturunan china cost of living! Di mana-mana sama saja,"

Terimakasih perjamuan dan bincang bincang politiknya Menteri Luar Negeri Singapura. Saya senang sekali dapat pelajaran berharga dari waktu yang singkat ini.

Meritokrasi yang menjadi dasar dibangunnya Singapura, saya saksikan langsung dari sosok dr Vivian Bakharisna, dari seorang dokter yang aktivis Presiden Mahasiswa Univesitas Nasional Singapura. Kemudian, beliau memimpin Young PAP. Putera kelas menengah pekerja, dari Ayah berdarah Tamil India dan Ibu berdarah Cina , naik satu demi satu tapak politik Singapura. Dari anggota parlemen, hingga menjadi political confidant Perdana Menteri, lalu menjadi Menteri Luar Negeri Singapura.

Oya. Satu lagi. "Cucu saya orang Indonesia," katanya. Ternyata, Pak Menlu ini awet muda. Sudah bercucu. Anaknya menikah dengan orang Indonesia. Dan, cucunya orang Indonesia.

Terimakasih jamuan ikan tuna nya Pak dokter. Semoga Indonesia Singapura bisa hidup rukun sebagai tetangga. Dan, menjaga kedaulatan masing-masing. Serta bahu membahu menghadapi winter is coming. Ancaman dingin dari utara, Vivian Balakhrisnan.

***

Miftah N.Sabri