Pembebasan Siti Aisyah antara Klaim dan Sinisme

Senin, 18 Maret 2019 | 10:46 WIB
0
435
Pembebasan Siti Aisyah antara Klaim dan Sinisme
Siti Aisyah (Foto: BBC.com)

Mahathir membantah isu yang viral belakangan terkait pembebasan Siti Aisyah dari tuduhan pembunuhan Kim Jong-nam, kakak tiri Pemimpin Korea Utara, Kim Jong-un karena lobi pemerintah Indonesia. Sebagai negara berdaulat apa yang dilakukan Mahathir adalah sebuah keharusan, sebab apa pun fakta sebenarnya proses peradilan sebuah negara tidak boleh diintervensi apa lagi ditekan negara lain.

Tapi, benarkah pemerintah Indonesia tidak melakukan lobi, atau setidaknya telah berusaha maksimal memperjuangkan warga negaranya?

Adalah sulit untuk tidak mengatakan bebasnya Siti Aisyah karena keterlibatan pemerintah. Selama persidangan berlangsung, Kejaksaan Agung diminta oleh Kementerian Luar Negeri untuk mendampingi dan mengasistensi pengacara Malaysia yang sejak awal disiapkan pemerintah.

Di luar pengadilan, Jaksa Agung sendiri pernah membicarakan kasus Aisyah secara khusus dengan Jaksa Agung Malaysia, Tommy Thomas. Bahkan saat bertemu dengan ketua Civil Court Malaysia di Singapura, Jaksa Agung menyempatkan waktu khusus berdiskusi mengenai kasus yang menimpa TKI asal Serang Banten ini.

"Sejak Siti Aisyah ditangkap, Bapak Presiden (Jokowi) telah meminta dilakukannya kordinasi erat antara Menteri Luar Negeri, Menhukam, Kapolri, Jaksa Agung, dan Kepala BIN," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Armanantha Nasir.

Setiap ikhtiar yang dilakukan pemerintah Indonesia menjadi variabel penting yang ikut menentukan perjalanan panjang kasus Siti Aisyah. Menghadapi dakwaan jaksa di pengadilan tidak cukup dihadapi terdakwa dengan duduk manis menunggu vonis.

Bandingkan misalnya dengan klaim Prabowo yang seakan seorang diri membebaskan Wilfrida Soik dari ancaman hukuman mati hanya karena ikut menyiapkan lawyer untuk bergabung dengan tim lawyer yang sejak awal dipersiapkan KBRI.

Harus diakui tidak semua negara memiliki komitmen yang tinggi terhadap warga negaranya yang mengalami masalah hukum di luar negeri. Sebaliknya, Filipina telah menunjukkan pada dunia internasional bagaimana seharusnya negara berperan aktif melindungi warganya yang bermasalah di luar negeri. Pada 16 September 1995, publik internasional terkesima dengan solidaritas pemerintah dan rakyat Filipina terhadap warganya yang divonis mati oleh aparat hukum Uni Emirat Arab (UEA).

Saat Sarah Balabagan bersiap menghadapi tiang gantungan, pemerintah dan masyarakat Filipina bereaksi. Gadis 16 tahun yang dituduh membunuh majikannya karena berusaha memperkosanya membuat geram rakyat Filipina. Fidel Ramos, presiden Filipina kala itu merasa perlu datang ke Uni Emirat Arab melobi langsung untuk menyelesaikan permasalahan ini.

Sementara publik Filipina memobilisasi demonstrasi dalam negeri dan menggalang opini internasional untuk menekan pemerintah Uni Emirat Arab. Akibatnya, pemerintah UEA sulit mengabaikan desakan publik internasional ketika sosok Sarah menjadi icon antar bangsa.

Endingnya kemudian bisa ditebak, nasib gadis muslim 16 tahun asal Mindanao itu berakhir manis. Sarah bebas tanpa kewajiban membayar darah.

Di tengah suasana kebahagiaan bebasnya Siti Aisyah, Fahri Hamzah berkicau seakan pemerintah tidak punya peran apa-apa. Dengan mendesak Kemenlu memohon maaf ke Malaysia karena alasan bisa merusak hubungan diplomatik, Fahri seakan menghendaki pemerintah Indonesia duduk manis menunggu informasi perkembangan kasus dari otoritas resmi pemerintah Malaysia.

Demi melindungi nyawa warganya, pemerintah dan rakyat Filipina mempertaruhkan hubungan diplomatiknya dengan Uni Emirat Arab.

Hari ini, keberhasilan pemerintah memperjuangkan nasib warga negara yang terancam hukuman mati justru ditanggapi sinis oleh mereka yang seharusnya ikut berjibaku sebagai wakil rakyat.

Apa sebenarnya yang tuan inginkan?

***