Mahathir membantah isu yang viral belakangan terkait pembebasan Siti Aisyah dari tuduhan pembunuhan Kim Jong-nam, kakak tiri Pemimpin Korea Utara, Kim Jong-un karena lobi pemerintah Indonesia. Sebagai negara berdaulat apa yang dilakukan Mahathir adalah sebuah keharusan, sebab apa pun fakta sebenarnya proses peradilan sebuah negara tidak boleh diintervensi apa lagi ditekan negara lain.
Tapi, benarkah pemerintah Indonesia tidak melakukan lobi, atau setidaknya telah berusaha maksimal memperjuangkan warga negaranya?
Adalah sulit untuk tidak mengatakan bebasnya Siti Aisyah karena keterlibatan pemerintah. Selama persidangan berlangsung, Kejaksaan Agung diminta oleh Kementerian Luar Negeri untuk mendampingi dan mengasistensi pengacara Malaysia yang sejak awal disiapkan pemerintah.
Di luar pengadilan, Jaksa Agung sendiri pernah membicarakan kasus Aisyah secara khusus dengan Jaksa Agung Malaysia, Tommy Thomas. Bahkan saat bertemu dengan ketua Civil Court Malaysia di Singapura, Jaksa Agung menyempatkan waktu khusus berdiskusi mengenai kasus yang menimpa TKI asal Serang Banten ini.
"Sejak Siti Aisyah ditangkap, Bapak Presiden (Jokowi) telah meminta dilakukannya kordinasi erat antara Menteri Luar Negeri, Menhukam, Kapolri, Jaksa Agung, dan Kepala BIN," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Armanantha Nasir.
Setiap ikhtiar yang dilakukan pemerintah Indonesia menjadi variabel penting yang ikut menentukan perjalanan panjang kasus Siti Aisyah. Menghadapi dakwaan jaksa di pengadilan tidak cukup dihadapi terdakwa dengan duduk manis menunggu vonis.
Bandingkan misalnya dengan klaim Prabowo yang seakan seorang diri membebaskan Wilfrida Soik dari ancaman hukuman mati hanya karena ikut menyiapkan lawyer untuk bergabung dengan tim lawyer yang sejak awal dipersiapkan KBRI.
Harus diakui tidak semua negara memiliki komitmen yang tinggi terhadap warga negaranya yang mengalami masalah hukum di luar negeri. Sebaliknya, Filipina telah menunjukkan pada dunia internasional bagaimana seharusnya negara berperan aktif melindungi warganya yang bermasalah di luar negeri. Pada 16 September 1995, publik internasional terkesima dengan solidaritas pemerintah dan rakyat Filipina terhadap warganya yang divonis mati oleh aparat hukum Uni Emirat Arab (UEA).
Saat Sarah Balabagan bersiap menghadapi tiang gantungan, pemerintah dan masyarakat Filipina bereaksi. Gadis 16 tahun yang dituduh membunuh majikannya karena berusaha memperkosanya membuat geram rakyat Filipina. Fidel Ramos, presiden Filipina kala itu merasa perlu datang ke Uni Emirat Arab melobi langsung untuk menyelesaikan permasalahan ini.
Sementara publik Filipina memobilisasi demonstrasi dalam negeri dan menggalang opini internasional untuk menekan pemerintah Uni Emirat Arab. Akibatnya, pemerintah UEA sulit mengabaikan desakan publik internasional ketika sosok Sarah menjadi icon antar bangsa.
Endingnya kemudian bisa ditebak, nasib gadis muslim 16 tahun asal Mindanao itu berakhir manis. Sarah bebas tanpa kewajiban membayar darah.
Di tengah suasana kebahagiaan bebasnya Siti Aisyah, Fahri Hamzah berkicau seakan pemerintah tidak punya peran apa-apa. Dengan mendesak Kemenlu memohon maaf ke Malaysia karena alasan bisa merusak hubungan diplomatik, Fahri seakan menghendaki pemerintah Indonesia duduk manis menunggu informasi perkembangan kasus dari otoritas resmi pemerintah Malaysia.
Demi melindungi nyawa warganya, pemerintah dan rakyat Filipina mempertaruhkan hubungan diplomatiknya dengan Uni Emirat Arab.
Hari ini, keberhasilan pemerintah memperjuangkan nasib warga negara yang terancam hukuman mati justru ditanggapi sinis oleh mereka yang seharusnya ikut berjibaku sebagai wakil rakyat.
Apa sebenarnya yang tuan inginkan?
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews