Romy

Sabtu, 16 Maret 2019 | 06:23 WIB
0
421
Romy
Ilustrasi PPP (Foto:Facebook.com)

Politik tanah air sungguh-sungguh gaduh, berita panas datang bergelombang silih berganti, dan kita pun melupakan partai lawas yang hari-hari ini akan kembali moncer di situs-situs berita: Partai Persatuan Pembangunan.

Partai yang berdiri tahun 1973, hasil gabungan empat partai keagamaan -Partai Nahdlatul Ulama, Partai Serikat Islam Indonesia, Perti dan Parmusi- dan karena itu menyebut dirinya “rumah bersama umat Islam” pernah bertahan dalam hempasan zaman dan tekanan penguasa Orde Baru bersama Golkar yang berkuasa.

PPP-lah yang hampir tak pernah kalah di kota paling majemuk di Indonesia, DKI Jakarta. Ia baru bisa disalip Golkar di penghujung kekuasaan Orde Baru, di tahun 1997.

Saya masih ingat singa-singa podium partai ini: Rhoma Irama, Zainuddin M.Z., Jailani Naro, Ismail Hassan Metareum, dan lain-lain. Di setiap musim kampanye, jika Rhoma bergoyang, ribuan massa berkaus hijau di mana pun di negeri ini akan terbakar serempak meneriakkan kesetiaan kepada PPP. Juga Zainuddin M.Z., sang kiai sejuta umat yang lama menjaga marwah PPP.

PPP pula yang pertama kali berani melawan kehendak Soeharto untuk senantiasa “musyawarah untuk mufakat” ketika pada Sidang Umum MPR Maret 1988 mencalonkan Ketua Umumnya, Jaelani “John” Naro sebagai calon wakil presiden pesaing Sudharmono. Kegaduhan politik di parlemen yang jarang terjadi di zaman itu memaksa Presiden Soeharto turun tangan.

Naro, seorang bekas jaksa yang jadi politisi, mundur di detik-detik terakhir pemilihan. Sebagai protes atas tekanan ke Naro yang tak demokratis itu, Sarwo Edhie Wibowo, seorang jenderal bekas sekutu Soeharto mengundurkan diri dari MPR dan DPR.

Yang sudah melek politik di zaman Orde Baru juga tentu masih ingat pidato keras Ketua Fraksi PPP di DPR, Khofifah Indar Parawansa di atas podium sidang paripurna saat menyampaikan pandangan umum fraksi di tahun 1997.

Khofifah yang kini Gubernur Jawa Timur, dengan tegas menyorot kekuasaan Presiden Soeharto yang sarat korupsi, kolusi dan nepotisme. Sejak pidato menggelegar Khofifah itu, khalayak Indonesia akrab dengan istilah KKN.

Tapi kini, sodara-sodara, semua nostalgia tentang PPP yang berjaya itu tinggal kenangan manis balaka. Partai berlambang Kakbah ini kini terancam jadi partai gurem, nyaris jadi paria di belantara politik Indonesia yang centang perenang.

Menjelang Pemilihan Presiden 2014, lima tahun lalu, Ketua Unum PPP Suryadharma Ali menjadi tersangka di KPK untuk perkara dana haji. Sampai sekarang pun sang bekas menteri agama masih di dalam penjara.

Hari ini, sebulan menjelang Pemilihan Presiden 2019, Ketua Umum PPP yang masih begitu muda, Romahurmuziy, juga dicokok KPK dalam sebuah operasi tangkap tangan di kota Surabaya. Kabarnya, Rommy berurusan dengan uang “receh” untuk kelas ketua partai besar.

Semoga partai “rumah besar umat Islam” berlambang Kakbah itu tak ikut oleng.

***