Jadi masyarakat tidak usah khawatir bahwa azas Pancasila akan diganti dengan komunisme. Karena pemerintah saat ini tentu tidak akan mengizinkan PKI untuk bangkit dalam wujud apapun di Indonesia.
Rancangan undang-undang haluan ideologi Pancasila menjadi bola panas karena dipolitisasi oleh beberapa pihak. Mereka terang-terangan menuduh pemerintah di bawah kepemimpinan presiden Joko Widodo setuju terhadap paham komunisme.
Penyebabnya karena RUU HIP tidak mencantumkan TAP MPRS tentang larangan komunisme di Indonesia. Politisasi ini tentu sangat disayangkan karena rakyat jadi diadu domba dan diarahkan untuk membenci pemerintah.
Usulan RUU haluan ideologi Pancasila masih menjadi buah bibir masyarakat karena ada rencana ingin mengubah sila pertama dari ketuhanan yang maha esa menjadi ketuhanan yang berbudaya. RUU ini juga mengusulkan pengepresan 5 sila di Pancasila menjadi 3 bahkan 1 saja, menjadi trisila dan ekasila. Hal ini sesuai dengan pidato Bung Karno di awal era kemerdekaan.
Padahal bisa jadi isi pidato itu hanya usulan dan kenyataannya Pancasila tetap memiliki 5 sila, bukan 3 sila apalagi hanya 1. RUU HIP juga dengan tegas ditolak oleh Presiden dan beliau tidak pernah mengeluarkan surpres, karena selain masih berfokus pada penanganan pandemi covid-19, beliau juga tidak setuju karena RUU ini tidak mencantumkan TAP MPRS tentang larangan komunisme dan marxisme di Indonesia.
Lantas mengapa masih ada saja yang berdemo dan protes keras terhadap RUU ini? Mereka masih takut karena status RUU ini adalah ‘ditunda’, lalu mendesak presiden untuk mencabut usulannya. Padahal mentri Mahfud MD sudah menjelaskan bahwa yang berhak mencabutnya adalah DPR sebagai pengusul.
Lantas siapa sebenarnya pengusul RUU haluan ideologi Pancasila? Ternyata jika melihat ke belakang, usulan RUU ini diberikan oleh banyak wakil rakyat di dalam gedung DPR/MPR. Sudah ada 12 kali rapat fraksi untuk membuat draft rancangan undang-undang tersebut, baru diusulkan kepada presiden.
Mengapa sampai ada politisasi dan tuduhan komunisme yang akan bangkit kembali? Ternyata salah satu anggota dewan yang mengusulkan adalah Rieke Diah Pitaloka. Rieke yang mantan pemain sinetron tersebut kebetulan adalah politisi dari PDIP. Partai banteng ini memang sejak dulu selalu dituduh sebagai pro komunis, padahal jelas-jelas salah.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan selalu jadi bulan-bulanan karena merupakan kendaraan dari Presiden Jokowi ketika naik jabatan, mulai dari walikota Solo, Gubernur DKI Jakarta, sampai Presiden Republik Indonesia. Tentu saja banyak yang iri terhadap keberhasilan partai berlambang banteng tersebut, lalu memanfaatkan momen usulan rancangan undang-undang haluan ideologi Pancasila dan mempolitisasinya. Tujuannya agar banyak orang yang ikut membencinya.
Mereka menghalau massa untuk membenci presiden beserta partai pendukungnya karena faktor iri karena capres idolanya gagal total dalam berkali-kali pemilu. Jadi semua tindakan pemerintahan dianggap negatif. Termasuk ketika ada usulan RUU HIP yang akhirnya dikembalikan lagi ke DPR. RUU ini masih dalam tahap evaluasi ulang, namun para provokator membuat hoax yang menarasikan bahwa RUU yang statusnya ditunda bisa benar-benar diwujudkan.
Politisasi dari rancangan undang-undang haluan ideologi Pancasila ini tentu sangat disayangkan karena bisa memecah belah persatuan bangsa. RUU ini belum diwujudkan jadi undang-undang dan sudah jelas statusnya masih ditunda. Jadi masyarakat tidak usah khawatir bahwa azas Pancasila akan diganti dengan komunisme. Karena pemerintah saat ini tentu tidak akan mengizinkan PKI untuk bangkit dalam wujud apapun di Indonesia.
Ketika rancangan undang-undang haluan ideologi Pancasila masih dievaluasi ulang, maka DPR berjanji akan memasukkan TAP MPRS yang melarang komunisme, marxisme, dan leninisme di Indonesia. Kita tidak usah takut akan adanya kebangkitan PKI, karena politisasi dari RUU HIP adalah permainan kotor dari para provokator yang ingin rakyat ikut membenci presiden dan pemerintah saat ini.
Rancangan undang-undang haluan ideologi Pancasila menjadi bola panas karena dipolitisasi oleh beberapa pihak. Mereka terang-terangan menuduh pemerintah di bawah kepemimpinan presiden Joko Widodo setuju terhadap paham komunisme. Penyebabnya karena RUU HIP tidak mencantumkan TAP MPRS tentang larangan komunisme di Indonesia. Politisasi ini tentu sangat disayangkan karena rakyat jadi diadu domba dan diarahkan untuk membenci pemerintah.
Usulan RUU haluan ideologi Pancasila masih menjadi buah bibir masyarakat karena ada rencana ingin mengubah sila pertama dari ketuhanan yang maha esa menjadi ketuhanan yang berbudaya. RUU ini juga mengusulkan pengepresan 5 sila di Pancasila menjadi 3 bahkan 1 saja, menjadi trisila dan ekasila. Hal ini sesuai dengan pidato Bung Karno di awal era kemerdekaan.
Padahal bisa jadi isi pidato itu hanya usulan dan kenyataannya Pancasila tetap memiliki 5 sila, bukan 3 sila apalagi hanya 1. RUU HIP juga dengan tegas ditolak oleh Presiden dan beliau tidak pernah mengeluarkan surpres, karena selain masih berfokus pada penanganan pandemi covid-19, beliau juga tidak setuju karena RUU ini tidak mencantumkan TAP MPRS tentang larangan komunisme dan marxisme di Indonesia.
Lantas mengapa masih ada saja yang berdemo dan protes keras terhadap RUU ini? Mereka masih takut karena status RUU ini adalah ‘ditunda’, lalu mendesak presiden untuk mencabut usulannya. Padahal mentri Mahfud MD sudah menjelaskan bahwa yang berhak mencabutnya adalah DPR sebagai pengusul.
Lantas siapa sebenarnya pengusul RUU haluan ideologi Pancasila? Ternyata jika melihat ke belakang, usulan RUU ini diberikan oleh banyak wakil rakyat di dalam gedung DPR/MPR. Sudah ada 12 kali rapat fraksi untuk membuat draft rancangan undang-undang tersebut, baru diusulkan kepada presiden.
Mengapa sampai ada politisasi dan tuduhan komunisme yang akan bangkit kembali? Ternyata salah satu anggota dewan yang mengusulkan adalah Rieke Diah Pitaloka. Rieke yang mantan pemain sinetron tersebut kebetulan adalah politisi dari PDIP. Partai banteng ini memang sejak dulu selalu dituduh sebagai pro komunis, padahal jelas-jelas salah.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan selalu jadi bulan-bulanan karena merupakan kendaraan dari Presiden Jokowi ketika naik jabatan, mulai dari walikota Solo, Gubernur DKI Jakarta, sampai Presiden Republik Indonesia. Tentu saja banyak yang iri terhadap keberhasilan partai berlambang banteng tersebut, lalu memanfaatkan momen usulan rancangan undang-undang haluan ideologi Pancasila dan mempolitisasinya. Tujuannya agar banyak orang yang ikut membencinya.
Mereka menghalau massa untuk membenci presiden beserta partai pendukungnya karena faktor iri. Penyebabnya karena capres idolanya gagal total dalam berkali-kali pemilu. Jadi semua tindakan pemerintahan dianggap negatif. Termasuk ketika ada usulan RUU HIP yang akhirnya dikembalikan lagi ke DPR. RUU ini masih dalam tahap evaluasi ulang, namun para provokator membuat hoax yang menarasikan bahwa RUU yang statusnya ditunda bisa benar-benar diwujudkan.
Politisasi dari rancangan undang-undang haluan ideologi Pancasila ini tentu sangat disayangkan karena bisa memecah belah persatuan bangsa. RUU ini belum diwujudkan jadi undang-undang dan sudah jelas statusnya masih ditunda.
Jadi masyarakat tidak usah khawatir bahwa azas Pancasila akan diganti dengan komunisme. Karena pemerintah saat ini tentu tidak akan mengizinkan PKI untuk bangkit dalam wujud apapun di Indonesia.
Ketika rancangan undang-undang haluan ideologi Pancasila masih dievaluasi ulang, maka DPR berjanji akan memasukkan TAP MPRS yang melarang komunisme, marxisme, dan leninisme di Indonesia. Kita tidak usah takut akan adanya kebangkitan PKI, karena politisasi dari RUU HIP adalah permainan kotor dari para provokator yang ingin rakyat ikut membenci presiden dan pemerintah saat ini.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews