Sistem politik yang elitis, dan dogmatisme agama, menjadikan daya kritis dihindari, untuk menciptakan ketergantungan dalam sistem budaya patronase.
Kita ketahui bersama, tingkat literasi masyarakat Indonesia rerata rendah. Nomor dua dari bawah, unggul dari Bostwana, Afrika. Itu data World's Most Literate Nations, yang disusun Central Connecticut State University, tahun 2016 dari 61 negara. Apakah sekarang sudah berubah?
Kondisi tersebut tak jauh dari data UNESCO tahun 2012. Indeks tingkat membaca orang Indonesia hanya 0,001. Dari 1.000 penduduk, hanya ada 1 orang yang membaca buku. Berarti di antara 250 juta penduduk, hanya 250.000 yang punya minat baca.
Senyampang itu berbanding terbalik dengan jumlah pengguna internet, yang tahun 2014 mencapai 88,1 juta. Meski pun harus pula dikatakan, daya tahan membaca teks sepanjang 3 menit saja, banyak yang angkat tangan.
Baca Juga: Ironi Hukum, Presiden Jokowi Minta Baiq Nuril Ajukan Grasi
Meski hal itu juga bisa dielaborasi, soal apa yang digemari. Seperti dalil pers jaman kuno, bad-news (yang maknanya kenyataan buruk, atau yang buruk-buruk), seolah adalah good-news, yang lebih banyak menarik minat. Apalagi yang serem-serem dan sensasional. Di medsos masih kita rasakan, efek Pilpres 2019 kemarin.
Dengan daya literasi rendah, daya kritis juga tidak tumbuh. Karena itu mudah terjebak berita bohong. Orang menyebar hoax belum tentu karena memiliki kesamaan ideologis. Tak sedikit pula yang tidak mengetahui persis apa yang dilakukan. Boro-boro mengerti pasal UU-ITE bisa kejam menjerat siapapun, termasuk Baiq Nuril.
Kualitas masyarakat kita mungkin kayak pernyataan Rhoma Irama, yang dulu pernah berkata, “Itu diberitakan di-internet, tidak mungkin bohong...” Faktanya, Rhoma Irama termakan kabar bohong itu.
Kita alpa hidup di negeri di mana hukum belum tegak lurus. Orang pintar juga belum tentu berkhidmat pada kebenaran dan kebaikan. Dengan kepandaiannya, ditopang teknologi, praktik kejahatan bisa dirancang dan dilakukan.
Celakanya, ideologi politik dan ideologi agama, lebih sering berada dalam praktik yang eksploitatif sifatnya. Eksplorasi dalam pengertian mengelaborasi tumbuhnya nalar, rasa kemanusiaan, kejujuran dan nilai-nilai kemuliaan lainnya, bisa jadi dianggap bumerang.
Sistem politik yang elitis, dan dogmatisme agama, menjadikan daya kritis dihindari, untuk menciptakan ketergantungan dalam sistem budaya patronase.
Kemuliaan kemudian hanya dilekatkan pada hal-hal fisik. Yang cakep, berhijab, berkopiah, atau bersorban, seolah pemilik kemuliaan. Tapi ketika ketangkep KPK dalam OTT, semua itu tak bisa menutupi patrap kebusukannya.
Pada situasi kayak ‘gitu, apa yang disampaikan Fahri Hamzah yang konon mewakili sisi kemanusiaan atau HAM, menjadi dilematis. Mengaitkan kasus dikalahkannya Baiq Nuril di MA, Fahri mendesak Presiden Jokowi menghapus UU-ITE.
Walhal kita tahu, meski ada UU-ITE, ujaran kebencian, fitnah dan hoax (terutama karena perbedaan politik dan agama), tidak menyusut.
Bagaimana jika tak ada UU-ITE? Kaum nyinyir pasti bertempik-sorak! Berlomba dalam keburukan, sambil sujud syukur bebas bikin hoax!
Dan selalu, si bodoh yang ketipu. Kadang ketipu oleh yang bodoh juga.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews