Ironi Hukum, Presiden Jokowi Minta Baiq Nuril Ajukan Grasi

Sabtu, 24 November 2018 | 06:29 WIB
0
550
Ironi Hukum, Presiden Jokowi Minta Baiq Nuril Ajukan Grasi
Terpidana Baiq Nuril yang dituduh melakukan pencemaran nama baik mantan Kepala Sekolah SMAN 7 Mataram Muslim. (Foto: Detik.com).

Menurut UU Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi, pada Pasal 2 ayat (2), disebutkan bahwa grasi hanya dapat dilakukan pada putusan pemidanaan pidana mati, seumur hidup, atau penjara paling rendah dua tahun. Bagaimana dengan kasus Baiq Nuril Maknun?

Bagi Presiden Joko Widodo, tampaknya ketentuan pasal 2 ayat (2) UU 22/2002 itu tidak berlaku. Sebab, Baiq Nuril oleh Mahkamah Agung dinyatakan bersalah dan dihukum 6 bulan penjara serta denda Rp 500 juta, meski awalnya divonis bebas oleh PN Mataram.

Presiden Jokowi mendorong Baiq Nuril, terpidana kasus perekaman percakapan mesum itu, untuk mengajukan peninjauan kembali (PK) ke MA. Namun, jika di tingkat PK masih belum mendapat keadilan, Jokowi menyarankan untuk mengajukan grasi.

“Namun, dalam mencari keadilan Ibu Baiq Nuril masih bisa mengajukan upaya hukum, yaitu PK. Kita berharap nantinya, melalui PK, Mahkamah Agung dapat memberikan putusan yang seadil-adilnya. Saya sangat mendukung Ibu Baiq Nurul mencari keadilan,” ujarnya.

Pernyataan Presiden Jokowi tersebut disampaikan saat berkunjung ke Pasar Induk Sidoharjo, Lamongan, Jawa Timur, Senin (19/11/2018). Ia mengatakan tidak bisa mengintervensi kasus tersebut. Namun, ia baru bisa turun tangan jika PK yang diajukan Baiq Nuril ditolak.

“Seandainya nanti PK-nya masih belum mendapatkan keadilan, bisa mengajukan grasi ke Presiden. Memang tahapannya seperti itu. Kalau sudah mengajukan grasi ke Presiden, nah nanti itu bagian saya,” sebutnya, seperti dilansir Detik.com, Senin (19/11/2018).

Kasus ini bermula saat mantan Kepala SMAN 7 Mataram Muslim menelepon Baiq Nuril dan menggoda serta berbicara kotor berbau mesum pada 2012. Omongan itu direkam Baiq Nuril. Kasus bergulir ke pengadilan. Ia dijerat jaksa dengan UU ITE karena merekam tanpa izin.

Awalnya Baiq Nuril divonis bebas oleh PN Mataram. Tapi, di tingkat kasasi, guru SMAN 7 Mataram ini dinyatakan bersalah dan dihukum 6 bulan penjara serta denda Rp 500 juta. Saat dihubungi CNNIndonesia.com, Selasa (20/11/2018), Muslim menolak bicara.

Ia menolak memberi pernyataan ataupun menanggapi kasusnya dengan Baiq Nuril. Muslim  menolak merespons dugaan pelanggaran UU ITE yang melibatkan mantan bawahannya itu, sekaligus pelaporan dirinya atas dugaan pelecehan seksual.

Saat didatangi di kediamannya di Desa Kampung Bugis, Mataram, NTB, Selasa (20/11/2018) siang, Muslim sempat menerima untuk berbincang sebentar, tapi pada penutup perbincangan, ia memohon untuk tidak dikutip segala isi pembicaraannya.

Atas putusan kasasi tersebut, Baiq Nuril dan keluarganya sempat menulis surat ke Presiden Jokowi yang berisi permohonan agar dirinya dibebaskan. Permohonan itu ditulis Baiq Nuril lewat secarik surat.

“Ya, memang jalan satu-satunya PK. Itu yang akan dilakukan tim hukum,” ujar kuasa hukum Baiq Nuril, Joko Sumadi, saat dihubungi Detik.com, Senin (19/11/2018). Meski akan ajukan PK, Joko juga berharap Presiden Jokowi memberikan amnesti kepada kliennya.

Namun, pihaknya tidak mendorong secara langsung upaya tersebut kepada Presiden Jokowi.  “Ya harapan (diberi amnesti) pastilah. Artinya, dalam hal ini, kan Bu Nuril benar-benar tidak bersalah,” katanya.

“Kami nggak mendorong. Yang mendorong adalah teman-teman dari luar. Yang mendorong untuk amnesti adalah teman-teman di Jakarta. Kalau fokus kami adalah melakukan upaya peninjauan kembali,” imbuh Joko.

Sementara itu, terkait Baiq Nuril yang sedianya dieksekusi ke penjara pada 21 November 2018, Joko mengatakan pihaknya telah mengajukan permohonan penundaan eksekusi. Permohonan itu dilayangkan pihaknya ke Kejaksaan Agung, Sabtu (17/11/2018).

Jika permohonan penundaan eksekusi itu ditolak, maka pihaknya bersama kliennya akan melakukan upaya perlawanan. “Kami akan datang menghadiri undangan yang dilayangkan jaksa, termasuk dengan Bu Nuril, tapi menolak eksekusi itu dilakukan,” ujarnya.

Ia sudah menyiapkan bahwa tidak akan bersedia dieksekusi. “Kami menolak eksekusi. Kami datang untuk menghargai panggilan dari kejaksaan. Tapi di sisi lain kami menolak dieksekusi hari itu. Karena eksekusi tidak sah kalau memakai petikan putusan,” ujar Joko.

“Menunda pelaksanaan eksekusi atau Jokowi turun tangan untuk memberikan amnesti,” tegas Joko. Jika Presiden Jokowi memberikan amnesti atau grasi, sebenarnya ini sama saja dengan Baiq Nuril itu “mengaku bersalah”. Padahal, ia menolak dinyatakan bersalah.

Dalam Pasal 14 UUD 1945 ditulis, Presiden memberi grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi. Menurut pasal 1 angka 1 UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi, grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden.

Sedangkan untuk rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) UUD 1945, dilakukan pemulihan dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya, dan dikembalikan kepada kedudukannya.

Dengan kata lain, seseorang yang mendapatkan grasi dari presiden ialah orang yang bersalah, namun memohon pengampunan kepada kepala negara. Tindak pidana atau kesahalahan orang itu tidak hilang tetapi pelaksanaan pidana seperti hukuman penjaranya saja yang diampuni.

Grasi haruslah dimohonkan seseorang atau terpidana kepada presiden. Sedangkan amnesti, merupakan pengampunan atau penghapusan hukuman yang diberikan kepala negara kepada seseorang atau sekelompok orang yang telah melakukan tindak pidana tertentu.

Dalam UU Darurat No. 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi menyebutkan bahwa akibat dari pemberian amnesti adalah semua akibat hukum pidana terhadap orang-orang yang diberikan amnesti dihapuskan.

Amnesti bisa diberikan presiden kepada seseorang tanpa harus pengajuan terlebih dahulu. Ini mungkin yang dimaksud oleh Joko tadi, sehingga Presiden Jokowi bisa langsung memberikan hak prerogatifnya sebagai Kepala Negara kepada Baiq Nuril.

Menurut UU Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi, pada Pasal 2 ayat (2), disebutkan bahwa grasi hanya dapat dilakukan pada putusan pemidanaan pidana mati, seumur hidup, atau penjara paling rendah dua tahun.

Jika merujuk pada pasal ini, maka Baiq Nuril tidak bisa menerima grasi. Karena, hukuman Baiq Nuril cuma dihukum 6 bulan penjara serta denda Rp 500 juta saja. Sehingga, sangat tidak tepat jika Presiden Jokowi memberikan grasi kepadanya.

Grasi itu wewenang dari Kepala Negara untuk memberikan pengampunan terhadap hukuman yang telah dijatuhkan oleh hakim, berupa menghapus seluruhnya, sebagian atau mengubah sifat/bentuk hukuman itu.

Menurut Pasal 1 Undang-Undang No. 22 Tahun 2002, Grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden.

Grasi bukan berupa upaya hukum, karena upaya hukum hanya terdapat sampai pada tingkat Kasasi ke Mahkamah Agung. Grasi merupakan upaya non hukum yang didasarkan pada hak prerogatif Presiden dan juga diputuskan berdasarkan pertimbangan subjektif Presiden.

Grasi bisa meminimalisasi beberapa resiko yang dikhawatirkan sebagai akibat dari vonis oleh hakim, khususnya untuk pidana pidana mati yaitu adanya kemungkinan terjadi eksekusi pada innocent people.

Selain itu, adanya kekhilafan dalam proses hukum, meliputi proses penuntutan, penangkapan yang salah, atau keterangan dari saksi yang tidak bisa dipercaya. Grasi berada di luar lingkup peradilan pidana.

Jadi, sudah tahu dan ngerti kan apa bedanya grasi dan amnesti? Juga yang berhak mendapat grasi itu?

Salah Siapa?

Baiq Nuril dijerat UU ITE pasal 27 ayat (3). Adakah yang salah dalam penerapan pasal itu? Menurut Prof. Henri Subiakto, staf Ahli Kominfo yang juga pakar komunisi dari Universitas Airlangga (UA) Surabaya, ada banyak ketidaktepatan penerapan hukumnya.

“Bagi saya kasus putusan MA pada Baiq Nuril ini adalah contoh penerapan UU ITE yang kurang tepat. Penguasaan terhadap ruh UU ITE dan rasa keadilan tampak begitu jauh dari kasus ini. Bukti bahwa tidak semua penegak hukum menguasai UU ITE,” ujarnya.

Orang dikenakan pasal 27 ayat (3) UU ITE itu harus memenuhi unsur: pertama pelaku harus punya niat atau sengaja, & tanpa hak, mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik yang muatannya penghinaan & pencemaran nama baik. “Baiq Nuril tidak memenuhi itu,” tegasnya.

Disebut dengan sengaja jika pelaku itu menghendaki atau mengetahui secara sadar bahwa tindakannya dilakukan dengan sengaja. “Unsur ini harus dibuktikan,” lanjut Henri Subiakto kepada Pepnews.com.

Disebut “tanpa hak”, itu jika tidak ada landasan hukum yang membenarkan tindakannya. Orang yang menjadi korban atau terancam, memiliki hak membela diri, mempertahankan martabat.

“Persoalannya tindakan Bu Nuril itu dalam rangka membela diri atau bukan? Kalau membela diri, berarti berhak,” jelas Henri Subiakto.

Unsur mendistribusikan, yaitu pelaku menyebarkan pada orang banyak, beberapa akun, atau penerima, lewat transaksi elektronik. “Kalau Bu Nuril ternyata pasif, tidak menshare-share, tidak kirim-kirim ke banyak orang, tapi pelaku lain yang melakukannya, maka unsur ini juga tidak terpenuhi,” tegas Henri Subiakto.

Unsur mentransmisikan, ini adalah perbuatan pelaku mengirimkan informasi elektronik pada pihak lain lewat sistem elektronik. Menurut Henri, jika Nuril hanya membolehkan orang lain mengambil file dari perangkatnya tanpa dia sendiri melakukan transaksi elektronik, maka itu bukan perbuatan mentransmisikan.

“Kalau orang pasif tidak melakukan perbuatan kejahatan tapi diadukan dan dipidana, maka itu melanggar prinsip pidana Geen Straft Zonder Schuld,” tegas Henri Subiakto.

Unsur membuat dapat diaksesnya, ini jugg dalam konteks harus ada transaksi elektroniknya, misal mengupload, memberikan tautan/link ke dlm sistem elektronik. Kalau Baiq Nuril hanya mengijinkan orang lain mengambil file, itu tidak termasuk tindakan bertransaksi elektronik.

Unsur bermuatan penghinaan dan pencemaran nama baik, itu content yang disebar harus berisi serangan terhadap kehormatan seseorang, dengan cara menuduhkan sesuatu hal yang tidak benar.

“Kalau isi tuduhan itu ternyata benar, namanya bukan penghinaan tapi mengungkap fakta. Nah, di sini rekaman itu benar apa tidak,” tegas Henri Subiakto.

Kalaupun unsur membuat dapat diaksesnya dianggap ada dan dilakukan Nuril, toh isinya yang berupa rekaman pembicaraan itu adalah fakta. “Bukan tuduhan palsu. Maka berlaku prinsip truth is absolut defence of libel cases,” lanjutnya.

Apa yang terjadi pada Baiq Nuril itu jauh dari pelanggaran pasal 27 ayat (3), karena yang menyebarkan dan atau mendistribusikan itu bukan dirinya. Tapi temannya. Jadi, “Bu Nuril tidak masuk dalam unsur mentransmisikan dan membuat dapat diaksesnya oleh publik.”

Jadi, “Putusan MA yang menghukum Baiq Nuril memang sangat kontroversial, dan layak untuk diajukan peninjauan kembali (PK) karena tidak sesuai dengan azas keadilan dan UU ITE sendiri,” ungkap Henri Subiakto.

***