Jalan terbaik tetaplah meminta Presiden mengesahkan UU ini segera, dan semenit kemudian Presiden menandatangani Perpu untuk membatalkannya.
Setiap kali ada yang protes terhadap berlakunya sebuah Undang-undang (UU), jawaban klasik pemerintahan dan DPR adalah: "Silakan ajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK), biar MK yang mengujinya." Seakan-akan, itulah solusi terbaik dan satu-satunya terhadap berbagai keberatan terhadap UU tersebut.
Memang benar MK berwenang untuk menguji UU, "apakah UU tersebut bertentangan atau tidak terhadap konstitusi." Ranahnya adalah konstitusionalitas dari sebuah UU. Kalau MK menganggap sebagian atau keseluruhan dari UU tersebut bertentangan dengan pasal-pasal tertentu dari konstitusi, maka MK berhak mengoreksi sebagian atau bahkan membatalkan keseluruhan UU tersebut.
Tetapi MK tidak berwenang menguji "kebijakan yang buruk" (bad policies) yang berbentuk UU, sepanjang kebijakan tersebut tidak bertentangan dengan konstitusi. Itu adalah ranahnya parlemen dan pemerintah. Dan sudah berkali-kali MK pun menyatakan hal tersebut.
Di negeri kita, pembuatan UU dilakukan parlemen bersama pemerintah. Berbagai kebijakan negara memang dibuat dalam bentuk UU.
Omnibus Law Ciptaker juga merupakan kebijakan negara yang berbentuk UU. Jika ada pasal-pasal yang bertentangan dengan konstitusi, maka pasal-pasal tersebut bisa diajukan ke MK untuk diuji. Kalau MK mengabulkan, sebagian atau keseluruhan pasal-pasal yang diujikan tersebut, maka pasal-pasal tersebut bisa dikoreksi sebagian atau bahkan dibatalkan.
Dalam pengamatan saya, memang ada beberapa pasal yang mungkin bisa diujikan konstitusionalitasnya di MK. Namun sebagian besar pasal yang bermasalah tidak relevan untuk diujikan konstitusionalitasnya, karena kebijakan itu memang ranahnya parlemen dan pemerintah.
Berapa jumlah pesangon, atau cuti, jenisnya dan bagaimana pengaturannya; bagaimana menentukan upah minimum regional, di propinsi atau kabupaten; siapa yang punya wewenang perijinan, pemerintah pusat atau pemda dsb. Itu adalah ranahnya pemerintah dan parlemen.
Kalau kebijakan itu dianggap tidak adil dan merugikan sebagian atau bahkan sebagian besar masyarakat, dan pada saat yang sama hanya menguntungkan sebagian kecil kelompok tertentu dalam masyarakat, itu hanyalah kebijakan yang buruk semata.
Baca Juga: RUU Omnibus Law Bikin Polemik, Presiden Sudah Baca?
Sekali lagi, kebijakan yang buruk, selama tidak bertentangan dengan konstitusi, tidak relevan untuk diujikan ke MK. Pasti ditolak. Lalu, kalau ditolak, pemerintah dan parlemen bisa saja berdalih bahwa kebijakan itu sudah benar dan baik. Padahal, bukan begitu kesimpulannya. Kesimpulan yang benar adalah kebijakan itu tidak bertentangan dengan konstitusi.
Keputusan bahwa suatu kebijakan "tidak bertentangan dengan konstitusi" sama sekali tidak berarti bahwa itu adalah kebijakan yang baik. Sebaliknya, keputusan seperti itu juga tidak mengubah kenyataan jika kebijakan itu adalah kebijakan yang buruk.
Karena itu, saya kuatir mengajukan Omnibus Law Ciptaker ke MK hanya akan menciptakan false hope, atau istilah anak sekarang PHP, yang akan berakhir dengan kekecewaan semata. Lalu siklus protes akan berulang kembali yang tak jelas ujungnya.
Jalan terbaik tetaplah meminta Presiden mengesahkan UU ini segera, dan semenit kemudian Presiden menandatangani Perpu untuk membatalkannya. Setelah itu, kita bisa memulai ulang proses pembuatan UU Ciptaker yang baru dengan lebih inklusif, konsultatif, transparan dan berimbang, tanpa terburu-buru.
Dengan begitu, kita bisa kembali fokus menghadapi pandemi dan membangkitkan kembali ekonomi kita bersama-sama. Semoga.
Andi Mallarangeng
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews