Mana Mau DPR yang Malas Tak Digaji sebagaimana Diusulkan KPK

Sabtu, 8 Desember 2018 | 23:55 WIB
0
385
Mana Mau DPR yang Malas Tak Digaji sebagaimana Diusulkan KPK
Saut Situmorang (Foto: Tribunnews.com)

Pimpinan atau Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengusulkan agar anggota DPR yang malas membahas atau mengesahkan Undang-undang tidak digaji.

"Integritas sesuatu sebuah given di setiap orang, hari ini kita bicara seperti apa anggota DPR, wakil rakyat perform di DPR, integritas itu being honest," ujar Saut saat diskusi di Hotel Bidakara, Jalan Jendral Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Selasa (4/12/2018).

Usulan Wakil Ketua KPK Saut Situmorang menurut opini saya melampaui kewenangannya atau bukan tupoksi sebagai lembaga penegak hukum. Mungkin niatnya baik memberikan masukan atau usulan, akan tetapi usulan untuk tidak menggaji anggota DPR yang malas membahas atau mengesahkan undang-undang bukanlah kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Komisi pemberantasan Korupsi (KPK) adalah lembaga penegak hukum. Kewenangan atau tugasnya yaitu Penindakan dan Pencegahan. Dan KPK bukanlah seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bisa mendesak atau mengusulkan seperti usulan pimpinan KPK Saut Situmorang.

Opini ini tidak untuk membela anggota DPR yang malasnya naudzubillah min dzalik. Setiap rapat paripurna untuk pengesahan atau membahas undang-udang banyak anggota yang tidak hadir. Bahkan baru-baru ini anggota DPR yang tidak hadir dalam rapat mencapai 400 anggota lebih. Alasannya lagi kampanye caleg. Bahkan wakil Ketua DPR Fadli Zon supaya rakyat bisa memaklumi. Memaklumi gundulmu kuwi!

Usulan pimpinan KPK Saut Situmorang ini terasa aneh. Bagaimanan tidak aneh? Sedangkan KPK sendiri itu tergantung atau mempunyai kepentingan juga dengan DPR. Kepentingan apa itu?

Anggaran yang diajukan KPK, baik minta kenaikan anggaran atau meminta sesuatu terkait dengan kebutuhan KPK, itu perlu persetujuan dan ketok palu atau pengesahan dari anggota DPR. Tanpa persetujuan atau ketok palu DPR, anggaran KPK tidak bisa dicairkan. Kalau tidak bisa dicairkan, artinya KPK tidak bisa bekerja.

Niat baik saja tidak cukup, harus juga mengikuti aturan dan sesuai tupoksi atau kewenangan masing-masing lembaga. Supaya tidak timbul tumpang tindih kewenangan. Bisa-bisa KPK akan menjadi lembaga penegak hukum yang mempunyai kewenangan: Penindakan, Pencegahan dan memberikan usulan.

Mengkritisi kinerja DPR sebenarnya tugas masyarakat atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang memberikan masukan-masukan atau usulan, baik kepada DPR atau kepada pemerintah.

Memang lembaga KPK adalah lembaga penegak hukum yang mendapat kepercayaan dengan tingkat kepercayaan paling tinggi dibanding Kejaksaan atau Kepolisian. Bahkan di saat-saat genting yang mengancam keberadaan KPK, masyarakat selalu memberikan dukungan kepada KPK. Dan harus kita akui KPK harapan satu-satunya dalam penegakkan hukum.

Akan tetapi jangan sampai karena mendapatkan kepercayaan yang tinggi dari masyarakat, KPK cenderung arogan atau ingin merangkap yang bukan tugas dan kewenangannya. KPK juga harus dikritisi. Bukan hanya suatu pemerintahan saja yang bisa menjadi otoriter, lembaga penegak hukum juga bisa otoriter dan sewenang-wenang. Karena menganggap apa yang dikerjakan atau dilakukan akan mendapat dukungan masyarakat.

Jangan sampai kalau ada yang mengkritisi KPK terus dituduh ingin melemahkan lembaga KPK.

Ada lagi kasus yang menurut opini pribadi, sebenarnya masuk kategori PUNGLI. Yaitu kasus yang menjerat Kalapas Sukamiskin Bandung. Kalapas Sukamiskin Bandung ini menerima suap dari para narapida korupsi atau warga binaan untuk mendapat fasilatas keluar dari penjara atau fasiltas lainnya.

Kalau masuk PUNGLI harusnya yang menangani adalah Kejaksaan atau Kepolisian. Tetapi waktu itu KPK berdalih dengan menggunakan undang-undang Tindak Pidana Korupsi yang mana seorang Kalapas termasuk penegak hukum. Dan itu masuk bagian dari kewenangan KPK.

Kasus-kasus suap untuk mendapatkan fasiltas dalam penjara bukan rahasia umum lagi. Sudah terjadi mungkin 30 tahun lebih, bukan terjadi lima atau sepuluh tahun terakhir ini. Ibaratnya sudah lazim dilakukan oleh narapidana berduit, seperti kasus korupsi dan narkoba.

Yang menjadi pertanyaan, kenapa KPK baru menindak suap yang terjadi di dalam penjara untuk mendapatkan fasilitas? Jawabnya gampang, yaitu KPK merasa sudah menindak para koruptor, tetapi ternyata did alam penjara mereka bebas keluar masuk dengan cara menyuap untuk mendapatkan fasilitas dari Kalapas. KPK merasa geram dan kesal oleh narapinda koruptor.

Seandainya mereka bukan narapidana koruptor yang ditangani oleh KPK, hampir pasti tidak akan tindak atau ditangani oleh KPK. Toh praktik suap untuk mendapat fasiltas di penjara tidak terjadi di penjara Sukamiskin Bandung saja. Hampir terjadi di penjara-penjara yang tersebar di seluruh Indonesia tercinta.

Ada lagi KPK memberikan masukan atau usulan untuk menaikkan gaji para kepala daerah dan usulan ini sedang dikaji oleh Kementerian Keuangan. KPK menganggap perilaku korupsi yang dilakukan oleh para kepada daerah karena gajinya yang kecil.

Yang menjadi pertanyaan: apakah benar gaji kepala daerah itu kecil? Kalau gaji pokok memang kecil, tapi seorang kepala daerah dengan berbagai tunjangan-tunjangan atau istilahnya home pay, cukup besar gajinya.

Kalau hanya untuk menghidupi dua atau tiga dapur para kepala daerah lebih dari cukup. Sifat rakus dan tamaklah yang membimbing untuk korupsi.

Apakah kalau digaji besar seorang kepala daerah tidak akan melakukan korupsi? Tidak! Korupsi akan jalan terus. Karena sifat manusia tidak akan pernah puas dan tamak atau rakus.

Manusia selama hidup tidak akan pernah puas dan merasa kurang. Apalagi yang menjadikan ingin  korupsi terkadang "biaya kelakuan".

Jadi KPK jangan melampaui tugas atau kewenangnnya. Fokus saja pada Penindakan dan Pencegahan.

***