Eksperimen dengan "Social Movement" di Era Media Sosial

Eksperimen membangun komunitas intelektual secara virtual menjadi pilihan. Tak hanya karena Ia lebih praktis, lebih murah, lebih cepat respo

Senin, 8 Maret 2021 | 07:45 WIB
0
173
Eksperimen dengan "Social Movement" di Era Media Sosial
Black Live Matter (Foto: Istimewa)

Martin, nama lengkapnya: Trayvon Benyamin Martin, sungguh tak tahu. Ia juga tak merencanakan. Saat itu, remaja kulit hitam ini baru berusia 17 tahun.

Sore itu, 26 Febuari 2012, Ia hanya berjalan kaki. Ia baru keluar dari convenience store, menuju rumah kekasihnya, di Sanford, Florida Amerika Serikat.

Tiba tiba ia dicurigai akan melakukan tindakan kriminal. Ia diserang. Ia melawan sebisanya. Tapi, “Door !!!” Sebuah peluru bersarang di dadanya. Ia pun tewas.

Ternyata kematiannya ikut memulai tipe baru gerakan sosial. Yaitu Social Movement Online. Ini gerakan sosial di era media sosial. Gerakan ini meluas karena digaungkan terutama melalui hastag twitter.

Kematian Martin melahirkan gerakan BLM: Black Lives Matter. Sebuah petisi online ditanda tangani oleh lebih 2 juta orang. Mereka meminta keadilan atas nasib Martin.

Hastag Black Live Matter, yang lahir di tahun 2013, terus bertahan hingga tahun 2021.

Di era pandemi, kembali Black Live Matter bergaung. Kematian kulit hitam di tangan polisi, George Floyd di tahun 2020, meledakkan aksi protes di seluruh Amerika Serikat.

Bahkan dinyatakan, gerakan Black Live Matter ini melibatkan sekitar 15-25 juta penduduk. Ini salah satu aksi protes yang bahkan terbesar sepanjang sejarah Amerika Serikat.

Hastag twitter #BlackLiveMatter di ujung tahun 2020 diretweet lebih dari 40 juta kali.

Sedemikian dahsyat kah pengaruh media sosial dalam menggaungkan social movement?

Twitter, Facebook, Youtube, Instagram, Tik Tok, kini berada dalam kontrol individu. Hanya melalui Handphone di tangan, tanpa diedit oleh siapapun, seorang individu dengan mudah ikut menyebarkan apapun yang menjadi kegelisahan.

Isu sosial yang sensitif, itu seperti bensin bagi api, api media sosial.

Black Live Matter begitu bergaung karena masih kuatnya sentimen rasisme. Kulit hitam, terutama dari kalangan kelas bawah, merasa mereka acapkali menjadi korban prasangka, dan kekerasan. (1)

Prasangka rasialis yang menimpa Martin (2012), juga dialami oleh George Flyod Jr (2020).

Flyod hanya diduga belanja dengan uang palsu senilai 20 dolar. Tapi begitu tega polisi menekan lehernya dengan lutut.

Ia sudah katakan, berulang. Ia tak bisa bernafas. Ia mohon polisi jangan menekan leher.

Tapi polisi terus menekan lehernya. Akhirnya George Flyod Jr mati.

Adegan ini direkam melalui handphone oleh yang menyaksikan. Video tersebut ditayangkan ke media sosial.

Dan, Jeggeeerrr !!! Dari handphone ke handphone, dari individu ke individu, video itu meluas.

Gerakan sosial meledak. Tak peduli itu era social distance karena virus corona. Black Lives Matter kembali bergaung. Bahkan lebih dahsyat.

-000-

Awalnya bersama AE Priyono, saya dan teman- teman (Budhy, Anick, Elza, Jojo) juga bereksperimen dengan social movement, menggunakan medium media sosial.

Kami ingin ikut mengetahui, merasakan dan memanfaatkan, seberapa efektif menggunakan media sosial untuk membangun komunitas.

Yang ingin kami bangun dan rawat bukan komunitas social movement. Lebih tepatnya: komunitas intellectual movement.

Komunitas itu memang diniatkan dibangun secara virtual. Walau nanti, setelah era pandemi selesai, perjumpaan darat akan dikombinasikan dengan perjumpaan online.

Kami prihatin dengan dua tendensi yang ekstrem. Di satu sisi, agama yang ditafsir penganutnya lebih tekstual, konservatif, merusak keakraban warga negara yang beragam.

Atas nama Tuhan, ujaran kebencian begitu mudah digaungkan. Main hakim sendiri. Rumah ibadah dibakar.

Ruang publik pun ingin kembali didominasi oleh paham agama. Padahal data menunjukkan tak ada satupun negara maju jika ruang publiknya didominasi oleh satu agama.

Bahkan departmen agama di Indonesia dinyatakan termasuk yang paling korup. Menteri agama bahkan banyak yang masuk penjara.

Data menunjukkan pula bahkan negara yang paling Islami (Islamicity Index) justru negara barat, yang mempraktekkan hak asasi manusia, kebebasan, demokrasi. Mereka justru membebaskan ruang publiknya dari dominasi satu agama.

Di sisi lain, kami juga prihatin dengan ekses negatif peradaban maju.

Jumlah penduduk yang bunuh diri lebih banyak dibandingkan dengan yang mati karena terorisme, ditambah mati karena bencana alam, ditambah mati karena perang sejak perang dunia kedua.

Ada kekosongan, kesepian di hati Individu, justru ketika peradaban melimpah. Justru ketika banyak negara sampai pada posisi post-materialisme.

Ini era ketika orang mati karena kelebihan makan (terkait obesitas, jantung, dll) lebih banyak dibanding orang mati karena kekurangan makan.

Maka kamipun menggaungkan jalan tengah. Ini titik tengah antara dua ekstrem: fanatisme agama versus kekosongan makna hidup peradaban maju.

Jalan tengah yang kami gaungkan adalah Esoterika, Forum Spiritualitas. Ini semacam titik temu sisi batin setiap agama, aliran kepercayaan ataupun filsafat hidup.

Taglinenya: Selamat datang di taman pencari kedalaman.

Media sosial yang digunakan adalah Facebook Fanpage. Ada posting setiap hari di sana. Awalnya dari admin. Kini peserta Facebook itu sendiri yang lebih banyak memposting.

Admin awalnya memposting review banyak buku. Setiap bulan diselenggarakan telaah dan bedah buku, secara virtual.

Semua buku yang didiskusikan bertema soal spiritualitas, agama, atau filsafat hidup.

Ketika saya diajak AE Priyono mengelola Facebook ini (2019), namanya masih Esoterika Islamica. Peserta tetapnya sekitar 1600 orang.

Atas kesepakatan kami sebelumnya, setelah AE Priyono wafat, saya perluas cakupannya, dengan mengubah nama komunitas ini menjadi Esoterika_Forum Spiritualitas (2020).

Kini pesertanya justru bertambah, dari 1600 melampaui 10.000, dalam waktu setahun.

Esai-esai terpilih, yang pernah dipublikasi dalam facebook ini juga sudah dibukukan. Saat itu sekitar 30 pakar dan penulis mereview buku saya: Spirituality of Happiness (2020).

Buku ini meringkaskan temuan 30 tahun riset positive psychology. Saya rumuskan aneka hasil temuan riset dalam formula hidup bermakna, narasi ilmu pengetahuan.

Formula itu 3P + 2S. 3P untuk Personal Relationship, Positivity dan Passion. 2S untuk Small Winning dan Spiritual Blue Diamond.

Buku ini lahir ketika saya mengelola Fanpage Esoterika. Saya mencoba mengeksplor semacam platform untuk gerakan spiritualitas.

Buku itu kini dikembangkan lebih jauh lagi. Tengah disusun sejenis training: diskusi + meditasi, yang disusun berdasarkan prinsip 3P+ 2S.

Gerakan training ini, kami beri nama: Happiness is Us.

Perusahaan besar seperti Google, Apple, Nike, General Mills, memasukkan tradisi meditasi untuk pengembangan SDM.

-000-

Tahun 1980an, hampir 35 tahun lalu, saya dan teman teman masih era mahasiwa. Kami mengembangkan kelompok studi mahasiswa sebagai sarana diskusi mendalamkan tradisi intelektual.

Kini tahun 2021, era media sosial sudah tiba. Kelompok studi pun menjadi virtual.

Di era kelompok studi tahun 1980an, dikusi paling banyak hanya bisa dihadiri 100 orang. Tapi di era virtual, 10 ribu peserta tetap dapat aktif mengikuti dan merespon diskusi.

Demografi peserta tetap komunitas virtual facebook ini terbaca. Facebook Fanpage menyediakan data itu.

Dari sisi teritori, member Esoterika menyebar dari Indonesia barat, tengah hingga Timur. Terbanyak dari Jakarta (18 persen) dan Bandung (5 persen).

Di bagian Timur, peserta terbanyak dari Sulawesi Selatan (5 persen). Di bagian Sumatera, terbanyak dari Medan (2 persen).

Peserta juga datang dari berbagai jenis usia, di bawah 20 tahun hingga di atas 65 tahun. Tapi peserta terbanyak berusia 25-34 tahun, sekitar 30 persen.

Peserta pria jauh lebih banyak dibandingkan wanita (sekitar 3 banding 1).

Dari spektrum paham agama, peserta juga cukup beragam. Dari yang sangat konservatif hingga yang sangat liberal. Tapi mayoritasnya kaum moderat.

-000-

Dunia internet sudah tiba. Era media sosial telah datang. Kehadiran mereka sudah sampai di titik: “Point of No Return!”

Bahkan kian hari dunia virtual kian dominan.

Eksperimen membangun komunitas intelektual secara virtual menjadi pilihan. Tak hanya karena Ia lebih praktis, lebih murah, lebih cepat respon, tapi juga bisa lebih massif.

Maret 2021

***