Muslim Uighur di Republik Rakyat China (RRC) terus menjadi perbincangan dan perdebatan di Indonesia. Kenapa tidak? Bukankah sebagai sesama warga Muslim, kita sebagai ummat Islam ikut prihatin? Bukankah Islam mengajarkan, jika ummat Muslim tersakiti di suatu wilayah, maka kita pun ikut merasakannya.
Inilah rasa solidaritas kita di antara sesama ummat Muslim. Hari Jumat, 21 Desember 2018, sebagian ummat muslim dan ada di antaranya Muslim Uighur berunjuk rasa di depan Kedutaan Besar RRC di Jakarta. Hal ini menunjukkan rasa solidaritas di antara sesama ummat muslim.
Masalah Muslim Uighur ini sedikit berbeda cara penanganannya, karena terjadi di negara komunis yang akses informasi dan akses seseorang, misalnya seorang jurnalis memberitakannya ke luar tidak sebegitu bebas seperti di negara bukan beraliran sosialis. "Tidak sebegitu bebas," berarti tidak juga bebas sebebas-bebasnya, karena di setiap negara memiliki intelijennya yang selalu menyaring informasi bila sudah menyangkut kepentingan negaranya. Termasuk di Indonesia.
Mungkin belum lupa dalam ingatan kita peristiwa tahun 1980-an, di mana Jenderal L.B Moerdani, pada waktu itu sebagai pimpinan Bakin menggagalkan kegiatan agen intelijen Rusia yang sedang beraksi di Indonesia.
Begitu pula tentang Muslim Uighur, itu menyangkut permasalahan dalam negeri China yang sulit memberikan akses ke dunia luar, karena negara Sosialis.
Mau tidak mau, kita hanya berpegang kepada pernyataan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla yang mengatakan, bahwa kasus kekerasan Muslim Uighur harus dibedakan antara perlakuan diskriminatif dan kemungkinan adanya radikalisme di wilayah tersebut.
''Pemerintah tetap (mendukung) suatu penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) kalau terjadi diskriminatif dalam agama, melanggar ketentuan atau kesepakatan kita terhadap HAM secara internasional yang harus juga ditaati oleh pihak Cina," kata Jusuf Kalla, di kantornya, Jakarta, Kamis, 20 Desember 2018.
Sisi lainnya terkait kemungkinan adanya radikalisme di wilayah tersebut. Jusuf Kalla menyebut radikalisme dari etnik Uighur telah masuk ke Indonesia melalui jaringan teroris Santoso di Poso. Mereka saat itu ikut perang dan membantu Santoso.
''Ada 12 orang yang ikut perang di Poso, itu orang Uighur, kita juga memahami, agar dibedakan apa yang terjadi, bisa juga radikalisme, malah radikalisme sampai ke Indonesia,'' ujarnya.
Kedatangan orang-orang Uighur di Poso diperkirakan lantaran adanya seruan atau imbauan Santoso di media sosial bahwa orang Asia yang ingin bergabung dengan ISIS (Negara Islam di Irak dan Suriah) harus belajar dan latihan di Poso terlebih dahulu. Adapun, ISIS di Suriah, meminta kelompok MIT pimpinan Santoso untuk memberi pelatihan tempur kepada orang-orang etnik Uighur.
''Ada 6 yang ikut dari Uighur itu meninggal, empat ditahan,'' kata JK. ''Jadi, juga agar dipahami bahwa bisa juga terjadi adanya radikalisme.''
Sebelumnya Konsul Jenderal Cina di Surabaya, Gu Jingqi mengatakan, persoalan yang dialami suku Uighur merupakan masalah separatis yang muncul dari sebagian kecil warga setempat. "Warga muslim Uighur di Xinjiang sekitar 10 juta jiwa, sebagian kecil berpaham radikal ingin merdeka, pisah dari RRT. Itu yang kami, Pemerintah Cina, atasi," kata Jingqi kepada Antara di Surabaya, Jumat, 13 Desember 2018.
Menurut saya, data ini boleh saja dipegang karena datangnya dari Wakil Presiden RI dan infornasi dari perwakilan China di Indonesia.
Bahkan informasi dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) menduga Agen Intelijen Amerika (CIA) ada di belakang informasi itu, karena memang untuk mengucilkan RRC. Bukankah kedua negara ini sedang terlibat persaingan dagang? Memang semuanya berdalih dengan argumen masing-masing.
Menurut saya, yang jelas, rakyat Uighur perlu dibantu secara kemanusiaan. Tetapi pertanyaan selanjutnya, apakah jika bantuan itu berupa barang-barang, akan sampai ke alamat. Di negara komunis, seleksi sangat ketat dari bantuan dari luar, sudah pasti akan diseleksi. Memberi bantuan internasional, belum tentu tidak terjadi penyelundupan agen rahasia.
Apakah dengan mengadu dan memberikan sanksi oleh Dewan Keamanan PBB? Pun tidak mungkin, karena RRC memiliki hak veto untuk mementahkan sebuah resolusi. Bagaimana pun sebagai umat Islam Indonesia, kita hanya bisa berdoa dan memprotes.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews