Taktik sembunyi dari korum seperti itu ternyata bukan baru terjadi sekarang. Sudah empat kali. Sejak 20 tahun lalu. Kadang Republik yang minggat. Kadang Demokrat.
Saya sedang di kebun percobaan. Saat orang setempat lagi ramai membicarakan ini: 11 anggota DPRD negara bagian Oregon 'hilang'.
Gubernur sudah memerintahkan polisi. Agar mencari anggota fraksi Partai Republik itu. Tidak ketemu.
Tapi polisi tahu di mana mereka: di negara bagian tetangga. Di Idaho. Tapi polisi daerah Oregon tidak punya wewenang mencari mereka sampai Idaho. Yang jaraknya hanya dua jam naik mobil.
Gubernur itu dari Partai Demokrat. Yang lagi dicari itu anggota DPRD dari Republik.
Anggota DPRD dari Demokrat memang lagi mengajukan rancangan perda. State Law. Hukum negara bagian. Yang kalau tidak disahkan tanggal 1 Juli kemarin, selesailah. Rancangan itu gugur.
Memang pembahasannya masih bisa ditambah 5 hari lagi. Sampai tanggal 5 Juli lusa. Tapi syaratnya naik.
Kalau voting terjadi di masa 'normal' korumnya cukup 2/3 hadir. Lalu, saat pemungutan suara cukup menang 51 persen.
Kalau sampai molor ke masa perpanjangan, pengusul baru bisa menang kalau yang setuju melebihi 2/3 dari jumlah suara.
Partai Republik tidak ingin rancangan itu lolos menjadi UU. Kalau voting pasti kalah. Dari jumlah kursi 30, Demokrat menguasai 18 kursi. Pasti menang saat voting.
Tapi kehadiran 18 kursi belum korum. Sidang belum bisa dimulai. Demokrat memerlukan kehadiran dua lagi dari partai lawan. Agar yang hadir bisa 20 anggota DPRD. Agar korum 2/3 terpenuhi.
Drama politik pun terjadi. Di hari pemungutan suara korum tidak tercapai. Ada 11 kursi yang kosong. Ditunggu tidak juga datang. Gubernur berhak memerintahkan polisi untuk menjemput mereka. Tapi tidak ketemu.
Suasana ruangan DPRD Oregon yang sepi karena ditinggal anggota Partai Republik.
Ada pula sanksi tambahan: setiap absen didenda 500 dolar. Atau sekitar Rp 7 juta. Tapi mereka pilih bayar denda.
Di Amerika polisi daerah tidak berada dalam komando polisi pusat. Dan wewenang polisi itu hanya ada di daerahnya.
Waktu saya mengendarai mobil 2,5 jam dari Seattle ke Portland (kota terbesar di Oregon) peristiwa ini lagi hangat-hangatnya. Keesokan harinya saya ke kota kecil Eugene. Melewati kota kecil Salem dan Lebanon. Salem-lah ibukota negara bagian Oregon.
Di Eugene pun koran lokal memberitakan itu. Termasuk menulis panjang soal kemerosotan ekonomi Oregon. Yakni sejak bisnis kayu log terhambat peraturan daerah. Ribuan usaha penggergajian kayu pun mati. Salah satu perusahaan raksasa kayu dunia juga menutup usahanya di Oregon:Georgia Pacific.
Orang Kaltim pasti tahu nama perusahaan itu. Punya hutan yang maha luas di Kaltim. Bertahun-tahun ekspor kayu gelondongan dari muara sungai Mahakam. Atau dari pelabuhan Balikpapan. Ada nama Bob Hasan di baliknya.
Saya ada rapat-rapat di kota kecil Eugene itu. Bermalam di situ. Sambil melirik keramaian politik itu.
Rancangan perda yang diajukan Partai Demokrat itu terkait dengan penebangan kayu. Yakni agar di tahun 2035 nanti penurunan emisi di Oregon sudah berkurang 45 persen lagi. Dari level tahun 1990. Dan di tahun 2050 harus turun lagi 80 persen.
Tahun 1990 dipakai ukuran karena di tahun itulah aturan penebangan hutan ditetapkan. Yang membuat bisnis kayu kelimpungan.
Di tahun itu kesadaran kerusakan lingkungan memang mencapai puncaknya. Hanya saja sejak tahun itu tidak ada lagi kemajuan.
Partai Demokrat ingin Oregon lebih hijau lagi. Seperti negara tetangganya, Idoho. Tempat persembunyian lawan politiknya itu.
Tapi sejak rancangan itu diusulkan hebohnya bukan main. Terutama karena belum ditemukan: apa yang bisa dipakai menjadi penggerak ekonomi berikutnya.
Pun waktu pembahasannya. Bahkan lebih seru lagi. Melebar ke ideologi masyarakat: antara liberal (identik Demokrat) dan konservatif (identik Republik). Kelompok liberal yang bukan Demokrat pun ikut menyerang Republik.
Juga sebaliknya: kelompok pemuda seperti Intifa ikut terjun. Melawan liberal. Inilah kelompok pro kulit putih. Yang secara tidak langsung di kubu Republik. Secara tidak langsung juga pro kapitalis. Yang ideologi mereka terinspirasi dari sejak zaman Mussolini di Italia sampai ke zaman Hitler di Jerman.
Mereka dilawan oleh pemuda dari gerakan yang anti rasis. Membela Demokrat. Mereka saling demo. Bahkan tanggal 1 Juli kemarin bentrok. Salah satu korbannya tokoh muda konservatif: Andy Ngo. Tokoh wartawan lokal. Wajahnya babak belur. Harus masuk ke rumah sakit. Tokoh-tokoh nasional partai Republik pun turun tangan.
Padahal konservatif sangat anti LGBT.
Taktik sembunyi dari korum seperti itu ternyata bukan baru terjadi sekarang. Sudah empat kali. Sejak 20 tahun lalu. Kadang Republik yang minggat. Kadang Demokrat.
Dan minggatnya selalu ke Idaho yang indah. Yang mottonya: Terlalu indah untuk dibuangi sampah.
Tentu moto itu bukan sindiran untuk politisi yang membuang diri ke Idaho.
Dahlan Iskan
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews