Apa daya. Masyarakat memang perlu mencapai sesuatu, perlu makna. Mereka membutuhkan fiksi. Marco Polo tumbuh dalam situasi itu.
Salahkah tokoh legendaris Marco Polo? Salahkah jika catatan perjalanannya di abad ke 13 yang mengugah dunia ternyata hanyalah fiksi?
Renungan ini yang saya bawa ketika tiba di Venesia. Banyak yang menyebutkan Marco Polo lahir dan dimakamkan di kota ini.
Tak ada mobil, sepeda motor bahkan sepeda di sini. Hanya ada kanal- kanal air dan 400 jembatan penghubung daratan. Gondola, perahu kecil hingga taxi air yang menjadi transportasi. Begitu banyak bangunan kuno yang terendam air sejak dulu.
Keindahan kota ini tiada tara. Tak salah jika begitu banyak karya sudah ditulis yang mengkaitkannya dengan Venice. Shakepeare menulis The Merchant of Venice (1596-1599). Juga karya Thomas Man: Death in Venice (1912).
Melewati kanal- kanal kecil dengan perahu motor, sayapun sampai di Gereja San Lorenzo. Ujar pemandu tour, turun temurun penduduk setempat meyakini Marco Polo dimakamkan di gereja sini. Itu kejadian 800 tahun lalu. Tapi gereja beberapa kali direnovasi. Kuburan Marco Polo tak lagi terlihat.
Namun kisah Marco Polo di sini sudah menjadi legenda, ujarnya. Dari perahu motor saya menatap keseluruhan gereja. Ingin saya rasakan jika bisa aura dan getaran seorang pejalan yang menjadi legenda.
Saya teringat guru sejarah saya di masa SMP. Ia begitu bersemangat menceritakan kehebatan Marco Polo.
Samar- samar terbayang ruang kelas zaman dulu. Guru SMP mengulang saja apa yang di era itu memang menjadi keyakinan.
Seorang remaja, bernama Marco Polo, berusia 17-19 tahun berkelana ke Asia Timur. Ia sampai di Cina. Itu abad ke 13. Belum ada manusia Eropa yang berkelana sejauh itu. Total perjalanan Marco Polo, sejak pergi dan kembali lagi ke Venice, sekitar 24 tahun.
Marco Polo dianggap berjasa selaku pemula yang menjembatani dua budaya. Kepada dunia Asia Timur, khususnya Cina, Marco membawa budaya barat. Kepada budaya Barat, Marco membawa dunia timur.
Di abad ke 13, manusia Eropa sama sekali asing dengan wilayah di luar komunitasnya. Ada apa di ujung dunia sana? Apakah di belahan bumi di sana juga dihuni oleh manusia yang sama?
Di abad ke 13, banyak ahli yang mengembangkan imajinasinya sendiri. Bahwa di ujung dunia sana hidup manusia yang berbeda. Yaitu manusia berkepala srigala. Atau manusia yang tanpa kepala, karena kepalanya tumbuh di depan badan. Atau manusia yang kakinya hanya satu.
Marco Polo membawa kisah yang berbeda. Di bumi belahan ujung sana, ada Cina dan juga ada peradaban. Manusia yang sama juga hidup di ujung dunia sana. Bahkan ujar Marco, manusia di Cina lebih maju karena pertanian dan perindustriannya lebih berkembang.
Ada raja di Cina bernama Kublai Khan. Marco menggambarkan raja ini maha arif dan bijaksana. Penduduknya sejahtera. Marco sendiri menyatakan dirinya bekerja selama 17 tahun membantu Kublai Khan. Sang raja membutuhkan keahlian Marco sebagai penjelajah. Marco diminta untuk mengawasi aneka wilayah Kublai Khan, dan melaporkan hasilnya.
Saat Eropa masih menggunakan uang koin dan emas, ujar Marco, Cina sudah mengenalkan uang kertas. Catatan perjalanan Marco Polo bahkan turut menginspirasi Christoper Columbus untuk menjelajah lebih jauh.
Kisah dunia di ujung sana, di Cina, membangkitkan keingin tahuan lebih jauh. Kisah perjalanan Marco Polo meledak.
Marco Polo kelahiran Venice pun dinobatkan sebagai petualang pertama yang mengkisahkan perjalanannya. Ia ikut mengubah dunia.
Tapi kini satu persatu catatan perjalanan Marco Polo diragukan. Ia bahkan dinilai tak pernah menginjakkan kakinya ke Cina. Semua kisah di catatan perjalanan itu dituding hanya fiksi belaka.
Sejarahwan memeriksa dokumen di luar buku Marco Polo. Sama sekali tak ada catatan dalam sejarah Kublai Khan yang mencatat bahwa pernah ada kunjungan seorang barat (baik bernama Marco Polo atau nama lainnya). Tak pula ada catatan Kublai Khan bahkan mengangkat orang barat itu selaku pembantu pentingnya selama 17 tahun.
Mereka juga mengukur jarak daratan yang harus ditempuh Marco Polo untuk sampai ke Cina. Jarak itu terlalu jauh dan terlalu buas untuk ditaklukan remaja Marco Polo (dan dua orang dewasa yang menyertai). Dalam buku itu, Marco Polo tak juga bercerita apa yang ia lakukan agar survive menembus jarak darat maha lebar itu.
Kisah tentang Kublai Khan juga bertentangan dengan yang Marco sampaikan. Kublai Khan yang sebenarnya terkenal kejam dan barbar, bukan arif dan humanis. Penduduk di bawah kekuasaan Khan juga dikenal mengalami kesulitan ekonomi, bukan sejahtera dan jaya.
Pun Marco dalam bukunya tak menyinggung hal yang sangat khusus di Cina. Misalnya hadirnya dinding besar (Great Wall) Cina. Atau gaya makan kultur Cina yang memakai chopstik. Hal ini terlalu penting untuk tidak disinggung Marco.
Kemudian diketahui pula Marco pernah dipenjara ketika ia kembali ke Venice. Di dalam penjara itu, Marco berjumpa dengan penulis fiksi romantis: Rustichello da Pisa. Sang penulis ini juga sedang dipenjara.
Diduga Rustichello da Pisa yang sebenarnya menjadi penulis buku Marco Polo. Entah Marco berbohong pada Rustichello, atau kesepakatan mereka berdua, akhirnya yang ditulis adalah fiksi bukan fakta yang sebenarnya. Rustichello memang ahli fiksi di era itu.
Bisa jadi memang Marco Polo ternyata tak pernah sampai ke Cina. Bisa jadi ternyata kisah perjalanan Marco Polo hanyalah fiksi. Tapi fiksi itu sudah mampu ikut memberikan inspirasi dan menggerakkan sejarah.
Bukankah memang banyak yang kita yakini dalam hidup, yang mampu menggerakkan kita, ternyata hanyalah fiksi?
Dalam film PK (2014) karya Rajkumar Hirani, sang tokoh berseru. Ada dua konsep Tuhan yang kita kenal.
Pertama Tuhan yang sebenarnya. Ia menciptakan Alam Semesta, yang kita tak pernah bisa memahaminya. Kedua, Tuhan yang kita kenal dalam sejarah. Kitalah yang menciptakan konsep Tuhan. Itu juga fiksi!
Apa daya. Masyarakat memang perlu mencapai sesuatu, perlu makna. Mereka membutuhkan fiksi. Marco Polo tumbuh dalam situasi itu.
Juli 2019
***
Catatan Perjalanan Denny JA
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews