Ketegangan Trump dan Netanyahu dalam Cermin Geopolitik dan Etika Kekuasaan

Dalam dunia yang sedang terpecah oleh perang, krisis iklim, dan migrasi paksa, dunia membutuhkan pemimpin yang tak hanya berani, tetapi juga bijaksana—yang membangun kepercayaan bukan karena kalkulasi elektoral, tetapi demi kemanusiaan yang lebih luas.

Selasa, 13 Mei 2025 | 06:50 WIB
0
16
Ketegangan Trump dan Netanyahu dalam Cermin Geopolitik dan Etika Kekuasaan
Trump dan Netanyahu (Sumber: Suaraislam.id)

Di balik hubungan strategis Amerika Serikat dan Israel yang selama puluhan tahun dikenal sangat solid, kini terselip kisah retaknya kepercayaan antara dua tokoh besar: Donald Trump dan Benjamin Netanyahu. Keduanya pernah berdiri di panggung dunia sebagai sekutu erat, namun kini ibarat dua kutub yang saling menjauh.

Retaknya hubungan ini bukan sekadar gesekan pribadi, tetapi menyimpan pesan filosofis tentang rapuhnya aliansi yang dibangun di atas kepentingan pragmatis belaka, tanpa fondasi etika dan visi bersama jangka panjang.

Hubungan Trump dan Netanyahu dahulu terjalin erat dalam ikatan politik kanan global. Trump, selama masa jabatannya (2017–2021), memberikan sejumlah hadiah diplomatik besar kepada Israel, yang oleh Netanyahu dipandang sebagai tonggak sejarah: pengakuan atas Yerusalem sebagai ibu kota Israel (2017), pemindahan Kedutaan AS ke Yerusalem (2018), pengakuan atas kedaulatan Israel di Dataran Tinggi Golan (2019), dan dukungan terhadap Abraham Accords, normalisasi hubungan Israel dengan negara-negara Arab seperti UEA dan Bahrain.

Namun, sebagaimana dicatat oleh Axios dan The Guardian (2022), hubungan mulai renggang ketika Netanyahu menjadi salah satu pemimpin dunia pertama yang memberi ucapan selamat kepada Joe Biden pasca-kemenangannya di Pilpres AS 2020—sebuah tindakan yang dianggap Trump sebagai pengkhianatan personal.

“Kami telah melakukan segalanya untuknya, dan dia malah menyambut Biden lebih dulu. F**k him,” ujar Trump dalam wawancara dengan jurnalis Barak Ravid, memperlihatkan kekecewaannya secara vulgar.

Trump juga merasa ditinggalkan ketika Netanyahu tak berani sepenuhnya mendukung rencananya soal “deal of the century”—terutama usulan kontroversial yang berujung pada wacana relokasi warga Gaza. Netanyahu, yang saat itu tengah bergulat dengan tekanan domestik dan perpecahan koalisi, mengambil langkah hati-hati yang dilihat Trump sebagai pengkhianatan.

Ketidakpercayaan antara Trump dan Netanyahu mencerminkan kompleksitas hubungan internasional yang diwarnai oleh dua hal: kalkulasi strategi dan psikologi kekuasaan.

Trump, sebagai figur populis yang mengedepankan loyalitas pribadi, merasa Netanyahu menggunakan dukungannya untuk kepentingan elektoral lalu membuangnya saat momentum berubah. Sementara Netanyahu, yang dikenal sebagai manuveris ulung dalam politik Israel, menimbang antara komitmen pada aliansi luar negeri dan tekanan internal yang makin menuntut pragmatisme.

Di sinilah konflik etika muncul: hubungan bilateral diubah menjadi permainan personal dan transaksional. Ketika hubungan antar-negara didasarkan bukan pada nilai dan prinsip bersama, tetapi pada loyalitas pribadi, maka fondasinya rapuh dan mudah runtuh.

Ketegangan antara dua pemimpin ini menyimpan risiko besar bagi kedua negara dan kawasan yang lebih luas. Ketidakharmonisan dalam kepemimpinan AS dan Israel membuat koordinasi mengenai solusi dua negara, bantuan kemanusiaan untuk Palestina, hingga penanganan konflik Gaza dan Iran menjadi tak sinkron. Saat ini, AS di bawah pemerintahan Biden harus membangun ulang kepercayaan dengan Palestina, dan posisi Israel tak lagi solid di mata beberapa sekutu tradisionalnya.

Baik di Israel maupun AS, ketegangan ini memperdalam polarisasi. Netanyahu, yang menghadapi tekanan dari kelompok ultranasionalis dan pro-perdamaian secara bersamaan, kehilangan kelenturan diplomatiknya. Trump, sementara itu, menghadapi tantangan hukum dan politik di dalam negeri, termasuk dari kalangan Partai Republik sendiri, yang melihat kebijakannya terhadap Israel sebagai tidak konsisten.

Dalam isu seperti pengaruh Iran, ancaman terorisme, dan stabilitas Timur Tengah, ketidakharmonisan ini melemahkan posisi bersama AS dan Israel. Ini memberi ruang bagi kekuatan seperti Rusia dan Tiongkok untuk memperkuat pengaruhnya di kawasan.

Kuasa dan Kepercayaan

Ketegangan Trump-Netanyahu mengajarkan bahwa kekuasaan tanpa nilai etis akan membusuk di tangan waktu. Aristoteles dalam Ethica Nicomachea menyatakan bahwa persahabatan politik yang sejati dibangun atas dasar kebajikan, bukan sekadar keuntungan. Bila hubungan dua pemimpin dibangun di atas rasa “utang budi” dan transaksi kepentingan semata, maka ia tak ubahnya rumah yang dibangun di atas pasir.

Dalam dunia yang sedang terpecah oleh perang, krisis iklim, dan migrasi paksa, dunia membutuhkan pemimpin yang tak hanya berani, tetapi juga bijaksana—yang membangun kepercayaan bukan karena kalkulasi elektoral, tetapi demi kemanusiaan yang lebih luas.

Ketika dua tokoh besar bersilang jalan, dunia mencatat bukan hanya perbedaan sikap mereka, tetapi juga nilai-nilai apa yang mereka pilih untuk pertahankan. Trump dan Netanyahu kini berdiri di persimpangan sejarah yang menuntut keputusan bukan hanya demi masa depan politik mereka, tetapi juga demi masa depan perdamaian dan keadilan global.

Apakah mereka akan kembali menjalin aliansi pragmatis? Atau biarkan sejarah mencatat bahwa ego dua pemimpin akhirnya menggerogoti aliansi yang pernah mereka bangun sendiri?

***