Perebutan Pengaruh Rusia-China versus AS-Uni Eropa Berakhir Seperti Apa?

Ceritanya akan berbeda jika di antara kedua kubu yang bertikai dipimpin Presiden atau Perdana Menteri yang berciri ultra nasionalis dan maniak perang, maka situasi dunia jelas akan mencekam.

Kamis, 16 September 2021 | 16:50 WIB
0
198
Perebutan Pengaruh Rusia-China versus AS-Uni Eropa Berakhir Seperti Apa?
Ilustrasi Rusia dan AS (Foto: Russia Beyond)

Perebutan pengaruh (influence struggle) di antara negara-negara besar khususnya antara Tiongkok dengan Amerika Serikat (AS) adalah hal biasa, karena menjadi “global single major power” di era society 5.0 adalah sebuah keniscayaan baik bagi Tiongkok maupun Amerika Serikat, apalagi jika salah satu negara dapat memenangkan perebutan pengaruh global tersebut, maka negara tersebut akan mendominasi bahkan “mengendalikan dunia” baik dalam diplomasi global, politik, ekonomi bahkan dengan seenaknya mendikte negara-negara lain dengan alasan pelanggaran HAM termasuk menjatuhkan sanksi ekonomi (embargo).

Pertanyaannya adalah apakah dalam upaya Tiongkok ataupun AS memenangkan perebutan pengaruh global tersebut akan berjuang sendirian (lone-fighters) atau tetap menjalin aliansi strategis dengan negara lain yang sepakat dengan mereka, serta apa “proxy war” yang disiapkan untuk memenangkan rivalitas tersebut? Terus akan berakhir seperti apa rivalitas itu? Tulisan singkat ini menganalisis fakta-fakta dari berbagai pemberitaan media massa nasional dan luar negeri.

Mendowngrade Wibawa Global Lawan

Baik Tiongkok ataupun AS secara langsung atau tidak langsung terus berupa menurunkan wibawa global masing-masing pihak. AS misalnya dalam upaya mendiskreditkan Tiongkok menjalin kerjasama dengan mitra strategisnya seperti Uni Eropa, Korsel, Jepang, Australia, Selandia Baru, dan Taiwan, sedangkan Tiongkok beraliansi strategis dengan Rusia, Korea Utara, dan Iran.

Mendowngrade wibawa global lawan dipandang penting baik bagi Tiongkok-Rusia ataupun AS beserta negara aliansinya dalam upaya menyakinkan komunitas internasional bahwa salah satu pihak patut dicap atau dilabelisasi sebagai “biang kerok atau bromocorah keributan atau ketegangan global.” Upaya ini terekam melalui berbagai pemberitaan media massa melalui pernyataan masing-masing pihak atau kesepakatan-kesepakatan yang dihasilkan oleh masing-masing kubu.

Seperti misalnya Menlu Jepang, Motegi Toshimitsu dan Menlu AS, Antony Blinken dalam pertemuan mereka di London, Inggris saat pertemuan para Menlu G-7 sepakat akan memperkuat aliansi untuk mewujudkan Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka, bekerja sama melawan RRT, denuklirisasi Korut, dan masalah lainnya. Selain berbagi keprihatinan tentang pelanggaran HAM di Daerah Otonomi Xinjiang, AS dan Jepang sepakat membangun rantai pasokan antara negara-negara rival RRT guna mengimbangi kebangkitan ekonomi Tiongkok.

Para Menteri Luar Negeri Kelompok Tujuh (G7) yang mengkritik China dan Rusia dan dianggap sebagai ancaman terbesar global. Rusia dituduh berusaha merusak demokrasi dan mengancam Ukraina. Sementara China bersalah atas pelanggaran hak asasi manusia dan menggunakan pengaruh ekonominya untuk memberikan tekanan kepada negara lain.

Oleh karenanya, G7 akan meningkatkan upaya kolektif untuk menghentikan kebijakan ekonomi koersif China dan melawan disinformasi Rusia. Selain itu, G7 akan memberikan dukungan penuh kepada Ukraina sehingga mampu melawan upaya destabilisasi Rusia di perbatasan Ukraina.

Di lain pihak, G7 mendukung partisipasi Taiwan dalam forum Organisasi Kesehatan Dunia dan Majelis Kesehatan Dunia, sehingga diharapkan Taiwan memiliki posisi tawar dalam menghadapi ketegangan dengan China di Selat Taiwan

Menlu AS, Antony Blinken menyatakan Pemerintah RRT menerapkan kebijakan domestik yang represif dan kebijakan luar negeri yang agresif dalam melaksanakan hubungan bilateral dengan negara lainnya. Menurut Blinken, Pemerintahan Biden khawatir dengan masalah perlindungan hak kekayaan intelektual di RRT setelah muncul laporan yang menyebut RRT mencuri ratusan miliar dolar dalam rahasia perdagangan AS.

Dalam hal ini, Blinken menyerukan komunitas internasional dan negara lainnya yang memiliki perhatian yang sama terkait persaingan perdagangan yang adil dan perlindungan kekayaan intelektual guna menekan keras perilaku RRT tersebut.

Menlu Inggris, Dominic Raab mengimbau seluruh negara G7 untuk membangun mekanisme perlawanan cepat terhadap propaganda dan disinformasi Rusia-RRT, yang diklaim sebagai ancaman global. Kedua negara dinilai telah menyebarkan berita bohong terkait vaksin Covid-19 dan Pemilu AS, dalam rangka menyudutkan negara Barat.

Di satu sisi, Raab mengklaim Rusia sebagai ancaman terbesar bagi keamanan nasionalnya, sedangkan di sisi lain menganggap RRT sebagai tantangan jangka panjang di bidang militer, ekonomi, dan teknologi.

Terakhir adalah pernyataan Direktur Intelijen Nasional dan Badan Intelijen Pusat (CIA) mengirimkan laporan Penilaian Ancaman Tahunan 2021 yang menempatkan RRT dan Rusia sebagai ancaman bagi keamanan nasional AS karena terus berusaha menekan pengaruh AS dan merusak tatanan global.

Laporan intelijen tersebut dikirimkan ke Kongres AS sebagai bahan kesaksian yang akan disampaikan Direktur Intelijen Nasional, Avril Haines dan Direktur CIA, William Burns. Partai Komunis RRT dilaporkan berusaha menekan semua negara untuk mengikuti agenda RRT, melemahkan pengaruh AS secara global, serta memicu perpecahan antara AS dan sekutunya.

RRT dan Rusia juga diklaim memanfaatkan diplomasi vaksin untuk meningkatkan posisi geopolitik mereka. Sementara itu, komunitas intelijen AS menganggap Rusia berusaha merusak pengaruh AS dengan kampanye disinformasinya, memicu saling curiga antara negara-negara Barat, serta terus meningkatkan kemampuan militernya untuk menjadi pemain utama di level global. Selain itu, RRT dan Rusia disebut terus menggunakan kemampuan serangan siber yang menargetkan infrastruktur penting di AS.

Merespons agresifitas tudingan yang dilakukan AS beserta negara aliansinya, Tiongkok dan Rusia pun segera meresponsnya secara cepat. Hal ini terbukti dalam pertemuan secara online antara Partai Komunis China/PKC dengan Partai United Russia/Partai Rusia Bersatu (partai penguasa) untuk membahas kerja sama di masa pandemi Covid-19, serta mendiskusikan upaya menghadapi tekanan AS.

Pertemuan tersebut dihadiri antara lain, Ketua Departemen Hubungan Internasional PKC, Song Tao, Duta Besar RRT untuk Rusia, Zhang Hanhui, Ketua Dewan Tertinggi United Russia, Boris Gryzlov, dan Duta Besar Rusia untuk RRT, Andrey Denisov menyepakati kedua partai akan melawan tekanan AS dan sekutunya dengan dalih demokrasi dan HAM serta menolak segala bentuk intervensi dalam urusan dalam negeri kedua negara.

Selain itu, kedua partai juga menentang perilaku pemberian sanksi sepihak, aksi agresif dan arogan, serta aktivitas yang menciptakan kekacauan dan keresahan di kawasan. Dalam kaitan tersebut, Song Tao menyatakan bahwa kedua partai harus saling mendukung kepentingan internasional satu sama lain dan menyerang balik setiap tindakan AS dan sekutunya yang menekan RRT dan Rusia.

Kemlu Rusia menilai NATO telah memicu perlombaan senjata global, menyusul adanya peningkatan pengeluaran pertahanan aliansi itu pada 2020 sebesar 7,4% atau US$1,09 triliun. Sementara Rusia hanya mengeluarkan US$0,05 triliun untuk keperluan militer. Selain potensi perlombaan senjata, pihak kementerian meyakini anggaran tersebut akan mengulangi distabilitas global serupa, seperti interfensi NATO dalam pemboman Yugoslavia, invasi di Irak, dan interfensi dalam perang saudara di Libya.

Dalam kunjungannya ke Jepang, Menteri Luar Negeri RRT, Wang Yi memperingatkan Jepang agar tidak bekerjasama dengan Amerika Serikat untuk melawan RRT. Hal tersebut disampaikannya melalui sambungan telepon bersama dengan Menteri Luar Negeri Jepang, Toshimitsu Motegi. Menurut Wang Yi, RRT dan Jepang harus memastikan, hubungan bilateral dengan tidak terlibat dalam "konfrontasi antara negara-negara besar".

Di samping itu, Wang Yi berharap kepada negara Jepang sebagai negara merdeka untuk melihat perkembangan RRT secara obyektif dan rasional daripada disesatkan oleh beberapa negara yang memiliki pandangan bias terhadap RRT. “Tiongkok menentang campur tangan Jepang dalam urusan internal RRT baik di Xinjiang maupun Hong Kong,” ujar Wang Yi.

Sementara itu, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RRT, Hua Chunying mendesak AS menghentikan semua bentuk pertukaran resmi dengan Taiwan karena konflik Selat Taiwan merupakan isu yang sangat sensitif bagi RRT. Menurutnya, AS harus mematuhi prinsip "Satu Tiongkok" dan "Tiga Komunike Bersama RRT-AS" (3 Perjanjian antara RRT dan AS).

Pernyataan tersebut disampaikan, sebagai respon atas pernyataan juru bicara Kementerian Luar Negeri AS, Ned Price bahwa pemerintahnya akan terus melakukan upaya untuk meningkatkan kerja sama dan hubungan tidak resmi dengan Taiwan.

Sedangkan, Menlu Rusia, Sergey Lavrov menilai ambisi AS untuk mendominasi dunia, bertentangan dengan prinsip multipolar dalam panggung global saat ini. Meskipun demikian, AS dan sekutunya dinilai terus berupaya mengganti hukum internasional, terutama yang dianut oleh negara anggota PBB menjadi rule-based order/liberal international order, yakni menerapkan paham liberal dalam aspek ekonomi-politik. Menurut Lavrov, norma baru tersebut akan menyingkirkan seluruh pemain global utama (negara dan non-negara) dari norma hukum internasional, yang telah diakui secara universal.

Memainkan Isu dan Proxy War : Wadah Mengukur ESTOM Lawan

Setelah mendowngrade wibawa global lawan, baik Rusia-Tiongkok ataupun AS dan negara aliansinya juga disibukkan dengan serangan “proxy war” yang dilakukan lawan-lawan politik dengan menyoal berbagai isu-isu strategis dan mematikan, walaupun dalam posisi ini Tiongkok dan Russia lebih tersudutkan dengan beberapa isu global yang bersifat strategis seperti Laut Tiongkok Selatan, masalah Taiwan, Myanmar, penundaan ratifikasi kesepakatan investasi UE dengan RRT, nuklir Korut.

Juga pelanggaran HAM di Xinjiang dan terhadap Muslim Uighur (proxy-proxy yang ditudingkan ke RRT) serta masalah Nagorno-Karabakh, invasi ke Ukraina, pendeportasian sejumlah diplomat Rusia dari beberapa negara Eropa, masalah Iran, masalah Laut Hitam, persoalan tokoh oposisi Alexander Navalny dan lain-lain yang dituduhkan kepada Rusia oleh lawan-lawannya.

Wakil Presiden Eksekutif Uni Eropa (UE), Valdis Dombrovskis menyatakan, UE menunda ratifikasi kesepakatan investasi antara UE dengan RRT, pasca memburuknya hubungan kedua pihak. Kesepakatan telah dicapai pada Desember 2021, namun Parlemen Eropa kemudian mendesak Komisi Eropa untuk menunda kesepakatan tersebut. Kesepakatan yang ditunda itu berisikan peningkatan kerjasama investasi sejumlah perusahaan, serta permintaan hak akses pasar yang lebih besar antara UE dan RRT.

Diketahui ketegangan kedua negara bersumber dari respon UE terhadap RRT yang dituduh melanggar HAM atas permasalahan Uighur, kemudian menjatuhkan sanksi terhadap sejumlah pejabat RRT. Hal tersebut direspons RRT dengan melayangkan sanksi balasan terhadap lima anggota parlemen UE.

Sementara itu, PM Ceko, Andrej Babis meminta sejumlah negara Uni Eropa (UE) mengusir minimal 1 diplomat Rusia, sebagai dukungan terhadap negaranya terkait keterlibatan Rusia dalam ledakan gudang amunisi di desa Vrbetice pada 2014. Permintaan tersebut disampaikan, karena tidak adanya keputusan tertulis menyikapi insiden tersebut, sekalipun sempat dibahas dalam pertemuan informal pejabat UE di Porto, Portugal. Oleh karenanya, Babis menilai, 27 negara organisasi harus menunjukkan solidaritas dalam menindaktegas negara, yang merugikan salah satu negara anggota.

Prancis memprotes Dubes Rusia, Alexey Meshkov, atas sanksi larangan visa memasuki Rusia bagi 8 pejabat Uni Eropa (UE) seiring dengan perintah UE kepada negara anggotanya untuk memanggil seluruh Dubes Rusia. Prancis mengutuk keputusan Rusia, yang salah satunya melarang masuk anggota delegasi Prancis di Majelis Parlemen Dewan Eropa, Jacques Maire.

Ketegangan kedua pihak berawal ketika UE menjatuhkan sanksi kepada enam warga Rusia pada 2 dan 22 Maret 2021 sebagai respon atas kasus percobaan peracunan tokoh oposisi Rusia, Alexey Navalny dan penganiayaan terhadap anggota komunitas LGBT di Chechnya.
Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa (UE), Josep Borrell menuduh Rusia dan China telah berupaya menghambat tercapainya rekonsiliasi politik di Myanmar. Borrell menyayangkan langkah Rusia dan China menentang upaya Dewan Keamanan (DK) PBB terkait rencana embargo senjata terhadap Myanmar.

Namun demikian, Borrel menyatakan tidak terkejut karena kedua negara tersebut merupakan pemasok senjata terbesar bagi Myanmar sehingga Borrell tetap akan meminta DK PBB menindaklanjuti seruan embargo senjata karena militer Myanmar terus melakukan kekerasan terhadap demonstran pro-demokrasi yang telah menewaskan ratusan orang, termasuk 46 anak-anak.

Kekuatan Militer Menjadi Deterrence Factors

Dalam setiap rivalitas global, maka kekuatan militer akan menjadi deterrence factors atau faktor pembeda atau faktor yang menggetarkan nyali lawan-lawan politiknya. Hal ini sesuai dengan adagium bahwa kekuatan militer adalah alat diplomasi global yang paling menentukan selain kekuatan ekonomi sebuah negara.

Kekuatan militer Rusia terus dimodernisasi. Saat ini mereka memiliki banyak alutsista yang mematikan seperti sistem pelontar api terbaru, “TOS-2 Tosochka”, yang dapat menembakkan proyektil thermobarik guna menghasilkan gas dengan zat mudah terbakar, guna menembus tempat yang sulit dijangkau, seperti gua dan terowongan. Alutsista tersebut merupakan pengembangan lebih lanjut dari “TOS-1 Buratino” dan “TOS-1A Solntsepek”.

Armada Pasifik Rusia diperkuat dengan rudal jelajah Kaliber-NK pertama dengan jarak tembak melebihi 1.000 km. Rusia juga mengembangkan rudal balistik antar-benua (Inter-continental Ballistic Missile/ICBM) generasi terbaru, "Kedr" pada 2023-2024. Alutsista tersebut dirancang menggunakan bahan bakar padat dan mengadaptasi teknologi rudal ICBM "Yars" dengan modifikasi mobile dan basis silo. Rudal ICBM "Kedr" diproyeksikan akan menggantikan rudal ICBM "Yars" pada 2030.

Di Laut Arktik, Rusia membangun pangkalan militer dan menempatkan jet tempur “MiG31BM”, bomber, dan sistem radar baru guna mengamankan jalur laut, yang terbentuk akibat mencairnya es di perairan itu. Rusia juga membangun fasilitas bawah tanah, yang diduga untuk menyimpan torpedo 2m39 siluman “Poseidon” tidak berawak dilengkapi reaktor nuklir.

Kemhan Rusia akan mengoperasionalkan kapal selam nuklir terbaru, “Belgorod” secara resmi di Samudera Pasifik pasca serangkaian uji coba pada Mei 2021. Kapal selam itu akan ditugaskan, melakukan misi pengamanan maritim di seluruh lokasi perairan di dunia. Selain itu, dalam operasinya, alutsista dari Proyek 09852 Rusia tersebut diduga akan mengangkut drone nuklir nirawak bawah air “Poseidon” dan stasiun nuklir laut dalam, “AS-15”.

Rusia juga memiliki pesawat Bomber TU-95MS "Bear H", Tu-160 "Blackjack" dan Il-78 "Midas". Rusia memiliki rudal jelajah bernama "inert Kh-555" merupakan varian senjata konvensional subsonik berkepala nuklir dengan sistem panduan minimal 2.500 km.

Rusia memiliki Pasukan Pertahanan Udara dan Rudal Anti-Balistik AU yang dilengkapi dengan rudal pencegat 53T6M dari sistem pertahanan Rudal Anti-Balistik (ABM) A-135 di Sary-Shagan, Kazakhstan. Sementara kapal “Moskva” milik Rusia sebagai kapal terkuat di Armada Laut Hitam, memiliki 16 peluncur rudal anti-kapal P-1000 Vulcan, senjata artileri, dan sistem rudal anti-pesawat.

Sementara itu, kekuatan militer RRT atau Tiongkok Kapal Induk “Liaoning”, Kapal Perusak Berpeluru Kendali Siluman Kelas “Renhai”, 2 Kapal Perusak Berpeluru Kendali Kelas “Luyang III”, Fregat Multi-peran “Jiangka II”, Kapal Pendukung Tempur Cepat Kelas “Fuyu”, Jet Tempur “J-15”, Kapal Perusak “Type 055” yang diklaim memiliki sistem radar, sistem manajemen informasi medan perang, dan daya tembak yang lebih kuat dari “Type 052D”.

Komando Armada Timur Tentara Pembebasan Rakyat Tiongkok (PLA) memiliki belasan pesawat pengebom "H-6K" di Provinsi Qinghai, wilayah barat laut RRT. Selain itu, Tiongkok menempat 200 kapal milisi di sekitar Whitsun Reef di Laut China Selatan. Tiongkok juga memiliki pesawat pengintai taktis "Y-8 RECCE", pesawat perang RRT "Y-8 EW" dan pesawat anti kapal selam “Y-8 ASW" di dekat Taiwan.

Angkatan Laut Tentara Pembebasan Rakyat RRT (PLA) memiliki kapal selam rudal balistik strategis bertenaga nuklir "Type 09IV", kapal perusak kelas 10.000 ton "Type 055", dan kapal serbu amfibi "Type 075". Kapal selam "Type 09IV" diklaim memiliki kemampuan untuk meredam suara tembakan sekaligus meningkatkan akurasi tembakan rudal, sedangkan kapal perusak "Type 055" dirancang untuk mampu mendampingi kapal induk serta dilengkapi dengan sistem anti serangan udara, anti rudal, dan anti kapal selam. Sementara kapal serbu amfibi "Type 075" mampu mengangkut helikopter, kendaraan tempur dan tank serta dapat melakukan misi pendaratan vertikal dan horizontal di darat.

Tiongkok juga memiliki Kapal Selam Nuklir Rudal balistik “Tipe 094A Changzhen 18”, Kapal Perusak Berpeluru Kendali “Tipe 055 Dalian”, dan Kapal Serbu Amfibi “Tipe 075 Hainan"
Oleh karena itu, pemerintah RRT mengklaim bahwa Angkatan Laut (AL) RRT mampu mengalahkan AL AS jika terjadi perang di kawasan Pasifik Barat dalam konflik Selat Taiwan.

Pernyataan tersebut disampaikan, setelah AL AS mempublikasikan foto 2 Perwira Komando Pasifik AS yang memantau Kapal Induk "Liaoning" RRT dengan gesture arogansi meremehkan kemampuan AL RRT. Dari Januari s.d. April 2021, dua negara tersebut rutin melakukan latihan militer di kawasan Laut China Selatan yang berdekatan dengan Taiwan dalam rangka "show of force".

Di luar kekuatan militer Tiongkok-Rusia, lawan-lawan mereka juga terus memperbaharui kemampuan tempurnya seperti misalnya militer Jepang memiliki kekuatan militer antara lain Kapal Perusak “JS Suzutsuki”, Pesawat Patroli Maritim “P-1”, Pesawat Patroli Perang Anti-kapal Selam “P-3C”

Taiwan yang sedang mengalami hubungan internasional tidak harmonis dengan Tiongkok, terus memperbaiki alutsista dan kemampuan tempurnya. Taiwan memiliki kekuatan militer antara lain membangun landasan pacu Pangkalan Udara “Hsinchu Air Base” yang akan selesai pada Mei 2021. Taiwan juga memiliki Armada Mirage 2000 Taiwan yang terdiri dari jet tempur buatan Prancis, 7 gugus tempur taktis yang sebagian besar terdiri dari “F-16”, “FCK-1”, “Mirage 2000”, dan “F-5E”, serta pesawat pengintai dan pengangkut.

AU Tiongkok juga pesawat angkut jarak menengah ukuran medium "Shaanxi Y-8" di Zona Identifikasi Pertahanan Udara (Air Defense Identification Zone/ADIZ) Taiwan. Taiwan juga memiliki 14 unit jet tempur "Shenyang J-16", 4 pesawat tempur multi peran "Chengdu J-10", 4 pesawat pengebom "Xian H-6", 2 pesawat anti kapal selam "Y-8", dan 1 pesawat pemantau "KJ-500".

Di Taipei, Mayor Jenderal Liu Yu-ping menyatakan, militer Taiwan melakukan simulasi perang fase pertama “Operasi Han Kuang” dengan bantuan komputer dari 23 s.d. 30 April 2021. Menurutnya, operasi yang menggunakan sistem “Simulasi Joint Theater Level” berlangsung selama 24 jam dalam sehari dan dirancang untuk menghadapi ancaman musuh terberat mencakup semua simulasi kemungkinan skenario invasi musuh di Taiwan.

Simulasi perang tersebut dilakukan, setelah Pemerintah Taiwan mendeteksi 15 pesawat militer RRT, dimana 12 diantaranya merupakan jet tempur memasuki wilayah udara Taiwan, serta adanya sebuah pesawat intai maritim terbang di kawasan Selat Bashi yang memisahkan Taiwan dengan Filipina.

Sementara itu, simulasi perang fase kedua direncanakan pada Juli 2021, yang akan melibatkan sekitar 8.000 pasukan serta mencakup latihan tembak-menembak, anti-pendaratan, dan melatih kesiapan fasilitas kesehatan menangani korban perang. Simulasi perang tersebut dilakukan guna menghadapi kemungkinan invasi RRT yang telah mengumumkan akan rutin melakukan latihan perang dekat Taiwan dengan melibatkan gugus tempur Kapal Induk “Liaoning”.

Taiwan berencana pembelian rudal jelajah jarak jauh yang memiliki jangkauan tembak hingga 925 km "AGM-158" produksi perusahaan AS, Lockheed Martin Corp. Taiwan juga membeli 40 meriam howitzer self-propelled M109A6 "Paladin" beserta suku cadang dari AS.

AS dan Taiwan juga membahas rencana penjualan dan akuisisi rudal jelajah jarak jauh AGM-158 Joint Air-to-Surface Standoff Missiles (JASSM) untuk memperkuat Angkatan Udara Taiwan. AS melakukan penjualan persenjataan tahunan sebesar US$50,78 miliar, dan Taiwan merupakan konsumen terbesar dengan nilai pembelian sebesar US$11.8 miliar pada Tahun 2020.

Di Teluk Benggala, India, berlangsung latihan militer gabungan yang dipimpin Perancis dan negara-negara "Quad" (AS, Australia, Jepang dan India) dilakukan selama 5 s.d. 7 April 2021. Latihan tersebut digelar berbarengan dengan penempatan armada Angkatan Laut Perancis tahunan atau disebut Mission Jeanne d'Arc. Latihan tersebut dirancang untuk meningkatkan kerja sama dalam pengawasan maritim, operasi interdiksi maritim, dan operasi udara.

La Pérouse melibatkan beberapa armada yakni, LHD Tonnerre kelas Mistral dan fregat kelas La Fayette Surcouf dari Perancis. Kapal pengangkut amfibi kelas San Antonio, Somerset dari AS. Sedangkan, Australia mengerahkan Her Majesty's Australian Ships (HMAS) Anzac, fregat dan tanker Sirius.

Sementara, Jepang diwakili oleh kapal perusak Akebono. Selain itu, India melibatkan Kapal Angkatan Laut INS Satpura (dengan helikopter integral) dan INS Kiltanalong dengan Pesawat Patroli Maritim P-8I. Latihan ini bertujuan untuk meningkatkan sinergi, koordinasi, dan interoperabilitas tingkat tinggi antara angkatan laut guna melindungi Kawasan Indo-Pasifik yang bebas terbuka.

Di lain pihak, Pasukan Distrik Militer Selatan dan Barat Rusia menggelar latihan perang, dipimpin langsung Menhan Rusia, Sergey Shoigu. Militer Rusia diantaranya mengerahkan 10.000 tentara Para Raider, 1.200 kendaraan tempur dan 40 kapal perang, serta menguji coba sistem rudal pesisir "Bal" dan Bastion", disusul simulasi counter-attack terhadap drone "Inokhodets dan uji kemampuan kapal patroli berkecepatan tinggi "Raptor".

Rusia juga menyertakan Armada Laut Hitam, yaitu kapal rudal "Admiral Makarov" dan "Admiral Essen", mensimulasikan penyerangan atas pertahanan anti-amfibi musuh. Sementara pasukan infanteri dari Korps Marinir bermanuver menggunakan peluncur granat dan penyembur api roket RPO-A "Bumblebee".

Berakhir Seperti Apa?

Mantan Menhan Australia, Christopher Pyne, memperkirakan kemungkinan terjadinya perang di kawasan Indo-Pasifik antara AS beserta aliansinya melawan RRT dalam kurun waktu 5 hingga 10 tahun mendatang.

Menurut Payne, Taiwan diperkirakan akan menjadi troublet spot selanjutnya, mengingat terus meningkatnya tekanan militer RRT, sehingga menimbulkan kekhawatiran AS dan sekutunya. Selain itu juga tindakan RRT yang mengambil alih Hong Kong dan mengabaikan kritik terkait pelanggaran HAM terhadap etnis Uyghur di Xinjiang menjadi beberapa issu yang semakin memantik ketegangan di kawasan.

Kendati demikian, Pyne menyampaikan bahwa menghindari terjadinya perang adalah pertahanan paling penting dan merupakan prioritas kebijakan luar negeri serta tetap menyerukan penguatan kerjasama multilateral sebagai langkah antisipasi untuk tetap menjaga keamanan dan perdamaian di kawasan.

Sementara itu, Jubir Kantor Kepresidenan Rusia, Dmitry Peskov menginginkan hubungan baik dengan AS di tengah kecaman dan sanksi, meskipun AS dinilai menunjukkan sikap agresif dan tidak prediktif terhadap otoritasnya. Peskov menegaskan, Rusia tidak menimbulkan ancaman bagi negara manapun, termasuk AS, namun selalu bersiap untuk kondisi terburuk bagi pihak, yang mengancam kepentingan nasionalnya.

Jadi kesimpulannya menurut penulis adalah perebutan pengaruh di tingkat global akan terus terjadi antara Tiongkok-Russia dengan AS bersama beberapa negara sekutunya dengan memainkan atau memilintir sejumlah isu strategis, namun akan berakhir dengan kedua kubu akan berpikir panjang untuk melakukan serangan militer pendahuluan di titik-titik “hot spot global feud” seperti Laut Tiongkok Selatan, Laut Hitam ataupun di wilayah lainnya, karena kekuatan militer mereka dapat dibilang berimbang.

Namun, ceritanya akan berbeda jika di antara kedua kubu yang bertikai dipimpin Presiden atau Perdana Menteri yang berciri ultra nasionalis dan maniak perang, maka situasi dunia jelas akan mencekam. (Toni Ervianto)

***