Gempa Zen

Di dalam gempa, sambil sadar akan kerapuhan dari segalanya, kita saling menolong dan menguatkan mereka yang menderita.

Selasa, 29 November 2022 | 06:47 WIB
0
157
Gempa Zen
Gempa Cianjur (Foto: sindonews.com)

21 November 2022, gempa terjadi di Cianjur, Jawa Barat. Ratusan orang menjadi korban. Belum hitungan harta benda dan infrastruktur yang hancur berantakan. Kesedihan yang ditinggalkan pun tak terperikan.

Ketika mendengar berita tentangnya secara detil, saya sedang di dokter gigi. Reaksi kaget saya juga mengejutkan sang dokter gigi. Tapi mengapa saya kaget? Bukankah kerapuhan hidup manusia sudah saya ketahui sejak dulu?

Betapa rapuhnya semua ini, begitu komentar saya. Sang dokter gigi hanya mengangguk. Benturan keras di kepala akan segera mengakhiri semuanya. Uang dan kuasa yang besar tak bisa mengubah apapun.

Tragedi: Sebuah Refleksi

Ada lima hal yang muncul di pikiran saya. Pertama, kita semua hidup di sebuah lempengan ini yang bernama daratan. Lempengan ini terus bergerak. Di bawah lempengan ini terdapat cairan yang mahapanas. Ia kerap kali muntah, ketika gunung meletus, entah di bawah laut, atau di daratan.

Maka, hidup kita sesungguhnya amat rapuh. Setiap lempengan bergerak, gempa terjadi. Setiap saat, kita bisa mati, karena gerak lempengan tersebut. Ini ditambah dengan kemungkinan terjadinya tsunami yang menghantam pantai, dan segala hal yang ada di sekitarnya.

Dua, kematian, sesungguhnya, bukanlah hal yang luar biasa. Setiap detiknya, ada orang yang meninggal di berbagai belahan dunia. Sebabnya beragam, mulai dari penyakit sampai dengan bencana alam. Kebodohan kita, dan permainan media yang menuai sensasi dangkal, membuat kematian seolah menjadi berita yang menghebohkan.

Tiga, di mata kita, kematian, terutama akibat penyakit atau bencana, adalah sebuah musibah. Kita menangis dan bersedih, karena itu semua. Namun, di mata alam semesta, kematian adalah hal biasa. Itu adalah gerak perubahan semesta yang terjadi setiap saat.

Empat, kita bersedih, karena kita melihat dari sudut pandang ego kita yang sempit. Kita menangis, kecewa dan marah di hadapan bencana. Saya teringat, ketika saya mengeluh soal betapa menderitanya hidup saya ke seseorang yang, saya anggap, sudah tercerahkan. Ia hanya berkata, ada ratusan jutaan orang lainnya yang menderita, mengapa kamu merasa istimewa?

Lima, apakah kita lalu perlu bersikap tidak peduli di hadapan “tragedi”, atau gerak perubahan semesta yang biasa? Tentu saja tidak. Ketika kita melihat segalanya dari kaca mata keseluruhan, welas asih akan muncul secara alami. Saat ke saat, kita bertindak sesuai dengan keadaan.

Ketika ada orang lapar, kita memberinya makan. Ketika ada orang kesepian, kita menemaninya. Ketika ada orang yang butuh bantuan, kita membantunya. Semua dilakukan secara tulus, tanpa pamrih yang mengikutinya.

Menyadari Inti Batin

Zen mengajak kita untuk menemukan inti batin kita, atau jati diri kita yang sebenarnya. Inti batin itu bersifat sadar, tapi kosong. Ia tidak punya batas. Ia juga tidak memiliki awal, dan tidak akan pernah berakhir.

Jati diri kita yang asli itu berada sebelum pikiran. Ia tidak bersifat material. Ia hanya jernih memantulkan keadaan sebagaimana adanya. Tidak ada yang ditambahkan, dan tidak ada yang dikurangi.

Karena kosong dan sadar, ego tertunda. Batin jadi seluas semesta. Kita melihat dunia dari kaca mata semesta. Saat ke saat, dari kejernihan, apa yang bisa saya lakukan untuk meringankan beban mahluk hidup di sekitar saya?

Tak ada pikiran dualistik yang membelah dunia ke dalam baik dan buruk. Semua peristiwa menjadi dasar untuk menolong semua mahluk, tanpa kecuali. Ini adalah arah hidup yang luhur. Di dalam gempa, sambil sadar akan kerapuhan dari segalanya, kita saling menolong dan menguatkan mereka yang menderita.

***