Sejak mahzab kritik Sekolah Frankfurt(Institut für Soziale Forschung Frankfurt Schule) dari tiga kampiun penebar horor perubahan bagi cita-cita humanisme universal
Setelah "Monolog Maria" dari dramawan karindra Achi Breyvi Talanggai dan artis likisiatra Melva Trifena Kembuan, denomini kebudayaan PojokIndie di pusat konsumerisme dan komodifikasi kota Manado, penuh dengan generasi milenial(Z-G) dari pertautan generasi 'baby boomer' yang telah uzur, meski belum punah karena kehandalan mereka memiliki tingkat 'survival for fittest' melalui revolusi industri sejak tahun 1950-an akhir.
Menurut sosiologi pada umumnya, konsumerisme dan komodifikasi hasil perselingkuhan filsafat materialisme melalui kapitalisme telah menawan dan menahan hukum kecepatan massa dalam kesenian sebagai industri imajinasi atau sastrawan Ceko peraih nobel Milan Kundera menyederhanakannya sebagai "Imagology".
Pun melalui ilmu politik kebangsaan, Ben Anderson menabalnya sebagai "komunitas-komunitas terbayangkan"(imagined of communities). Atau, Martin Jay secara telak menganalisis kaidah-kaidah industri budaya Mahzab Frankfurt itu dalam "Dialectical Imagination". Dan naasnya, ia cuma sempalan dari industri pariwisata nasional yang ditaburi aksi dan iven feysenisme(fashionsm) belaka. Hambar dan kecut!!
Dengan kesadaran sebagai denomini-denomini 'baru', komunitas PojokIndie sekecil apapun akan tumbuh sebagai "teologi harapan"(Möltmann) bagi "Lebenswelt"(Husserlian) untuk menafikan kesadaran lama yang lapuk kamuflase lembaga-lembaga uzur yang telah salah kaprah merawat "bayi kebudayaan" yang bernama seni pertunjukan(baca: teater).
Lembaga atau institusi yang sejatinya merawat mereka malah tumbuh sebagai virus pikiran dan dengan sadar hendak melakukan degradasi melalui penurunan statistik "gizi" kesenian pada umumnya. Karena mereka mengira memanipulasi bahkan mengorupsi "gizi alami"(natural stunting) dengan sendirinya akan menaikkan kolesterol "tubuh sosial" mereka.
Sejak mahzab kritik Sekolah Frankfurt(Institut für Soziale Forschung Frankfurt Schule) dari tiga kampiun penebar horor perubahan bagi cita-cita humanisme universal
Aufklärung (Penceharan), Max Horkheimar, Theodor Adorno dan Walter Benjamin(wafat di usia muda dengan menyuntikkan morfin overdosis akibat tekanan Nazi yang mengejarnya), industri budaya(culture industry) sedang marak di seluruh dunia dari pemasoknya di jantung megapolitan Amerika.
Sejak itu, anak-anak jadah kapitalisme (konsumerisme dan komodifikasi) menjadi alat pengganti seluruh keperluan dan pemenuhan hajat etika dan estetika bahkan religius kita menjadi moda produksi (mode of production) yang harus menjiwai semesta dasar-dasar kebutuhan umat manusia pada umumnya.
Dari susu bayi, alat cukur, sendal hingga seluruh protein, vitamin dan gizi alami harus dikenakan industrialisasi secara mekanis dan masif sebagai asupan umat manusia diatur dan dikendalikan. Tekno-bioorganisme seperti covid-19 akal-akalan industri budaya paling keji di awal abad-21 ini.
Karena itu, para ilmuwan dari Klub Roma (Roma Club), di antaranya peraih nobel fisika Meadow dkk menghasilkan suatu kajian atas bahaya industrialisme bagi batas-batas pertumbuhan (limits of growth) alami dan non alami(teknologi). Hari ini "batas-batas pertumbuhan" itu diterpa lagi oleh pandemi viruscorona.
Meski penuh kemirisan dan kelangkaan-kelangkaan sumber daya buatan(mass production) dan alami (convivial), diskusi PojokIndie dan Monolog Maria telah menjelma bukan sebagai vaksin dan PCR untuk menambah imun kita atas malaise kebudayaan kita di tengah oknum-oknum tuna budaya yang justru dengan lantang menentang semiotika perubahan-perubahan dalam keniscayaan sejarah dengan kata-kata berbau genosida kebudayaan: Skrap!!!
ReO Fiksiwan
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews