Industri Budaya, Catatan Akhir Tahun dari PojokIndie

Sejak mahzab kritik Sekolah Frankfurt(Institut für Soziale Forschung Frankfurt Schule) dari tiga kampiun penebar horor perubahan bagi cita-cita humanisme universal

Jumat, 24 Desember 2021 | 09:52 WIB
0
169
Industri Budaya, Catatan Akhir Tahun dari PojokIndie
Kegiatan Budaya (Foto: Dok. pribadi)

Setelah "Monolog Maria" dari dramawan karindra Achi Breyvi Talanggai dan artis likisiatra Melva Trifena Kembuan, denomini kebudayaan PojokIndie di pusat konsumerisme dan komodifikasi kota Manado, penuh dengan generasi milenial(Z-G) dari pertautan generasi 'baby boomer' yang telah uzur, meski belum punah karena kehandalan mereka memiliki tingkat 'survival for fittest' melalui revolusi industri sejak tahun 1950-an akhir.

Menurut sosiologi pada umumnya, konsumerisme dan komodifikasi hasil perselingkuhan filsafat materialisme melalui kapitalisme telah menawan dan menahan hukum kecepatan massa dalam kesenian sebagai industri imajinasi atau sastrawan Ceko peraih nobel Milan Kundera menyederhanakannya sebagai "Imagology".

Pun melalui ilmu politik kebangsaan, Ben Anderson menabalnya sebagai "komunitas-komunitas terbayangkan"(imagined of communities). Atau, Martin Jay secara telak menganalisis kaidah-kaidah industri budaya Mahzab Frankfurt itu dalam "Dialectical Imagination". Dan naasnya, ia cuma sempalan dari industri pariwisata nasional yang ditaburi aksi dan iven feysenisme(fashionsm) belaka. Hambar dan kecut!!

Dengan kesadaran sebagai denomini-denomini 'baru', komunitas PojokIndie sekecil apapun akan tumbuh sebagai "teologi harapan"(Möltmann) bagi "Lebenswelt"(Husserlian) untuk menafikan kesadaran lama yang lapuk kamuflase lembaga-lembaga uzur yang telah salah kaprah merawat "bayi kebudayaan" yang bernama seni pertunjukan(baca: teater).

Lembaga atau institusi yang sejatinya merawat mereka malah tumbuh sebagai virus pikiran dan dengan sadar hendak melakukan degradasi melalui penurunan statistik "gizi" kesenian pada umumnya. Karena mereka mengira memanipulasi bahkan mengorupsi "gizi alami"(natural stunting) dengan sendirinya akan menaikkan kolesterol "tubuh sosial" mereka.
Sejak mahzab kritik Sekolah Frankfurt(Institut für Soziale Forschung Frankfurt Schule) dari tiga kampiun penebar horor perubahan bagi cita-cita humanisme universal

Aufklärung (Penceharan), Max Horkheimar, Theodor Adorno dan Walter Benjamin(wafat di usia muda dengan menyuntikkan morfin overdosis akibat tekanan Nazi yang mengejarnya), industri budaya(culture industry) sedang marak di seluruh dunia dari pemasoknya di jantung megapolitan Amerika.

Sejak itu, anak-anak jadah kapitalisme (konsumerisme dan komodifikasi) menjadi alat pengganti seluruh keperluan dan pemenuhan hajat etika dan estetika bahkan religius kita menjadi moda produksi (mode of production) yang harus menjiwai semesta dasar-dasar kebutuhan umat manusia pada umumnya.

Dari susu bayi, alat cukur, sendal hingga seluruh protein, vitamin dan gizi alami harus dikenakan industrialisasi secara mekanis dan masif sebagai asupan umat manusia diatur dan dikendalikan. Tekno-bioorganisme seperti covid-19 akal-akalan industri budaya paling keji di awal abad-21 ini.

Karena itu, para ilmuwan dari Klub Roma (Roma Club), di antaranya peraih nobel fisika Meadow dkk menghasilkan suatu kajian atas bahaya industrialisme bagi batas-batas pertumbuhan (limits of growth) alami dan non alami(teknologi). Hari ini "batas-batas pertumbuhan" itu diterpa lagi oleh pandemi viruscorona.

Meski penuh kemirisan dan kelangkaan-kelangkaan sumber daya buatan(mass production) dan alami (convivial), diskusi PojokIndie dan Monolog Maria telah menjelma bukan sebagai vaksin dan PCR untuk menambah imun kita atas malaise kebudayaan kita di tengah oknum-oknum tuna budaya yang justru dengan lantang menentang semiotika perubahan-perubahan dalam keniscayaan sejarah dengan kata-kata berbau genosida kebudayaan: Skrap!!!

ReO Fiksiwan