Otak-atik Cuci otak

Persis sama seperti terapi cuci otak dokter Terawan yang begitu "populer" sampai orang harus mengantri berminggu-minggu untuk mendapat giliran diterapi DSA oleh dr Terawan.

Jumat, 1 April 2022 | 09:01 WIB
0
150
Otak-atik Cuci otak
Ilustrasi cuci otak Terawan (Foto: tribunnews.com)

Ada kemiripan yg mencolok antara Terapi Cuci Otak dokter Terawan dan Terapi Khelasi dokter Kisyanto. Sama-sama menghebohkan ramai-ramai dicari orang karena promosi getok tular di medsos. Sama-sama juga kontroversial karena komunitas kedokteran sedunia belum satu suara akan efikasi (kemanfaatan dan kemanjuran) terapi ini.

Bedanya, dokter Terawan cantolannya (backing-nya) kuat, sedangkan dokter Kisyanto kurang kuat backing-nya, sehingga beberapa tahun yang lalu terapi khelasi itu "dilarang".

Terapi khelasi (orang awam menyebut 'terapi infus') memang diklaim dapat mengatasi penyakit stroke dan gangguan jantung karena penyempitan pembuluh darah. Caranya pasien diinfus dengan zat EDTA (Etilen Diamin Tetra Acetyl Acid) setiap minggu selama 3 jam.

EDTA ini memang sudah diakui sebagai protokol pengobatan untuk keracunan merkuri dan timbal dalam darah. Kerjanya dia mengikat logam-logam itu dan lalu dikeluarkan melalui air seni.

Atas pemikiran yang sama, EDTA ini diinfuskan pada pasien yang mengalami penyempitan pembuluh darah (arterosclerosis) sehingga dia mengikat kalsium yang ada pada plak (gumpalan penyumbat pada pembuluh darah) dan selanjutnya compound ini dikeluarkan lewat kencing.

Tapi, hasil penelitian medis mengatakan sebaliknya. Terapi khelasi (chelation therapy) tidak menunjukkan perbaikan yang signifikan terhadap penyempitan pembuluh darah. Bahkan dia menunjukkan adanya efek samping (meskipun dalam skala kecil) seperti hypocalcemia, tekanan darah turun mendadak, penurunan sumsum tulang, kerusakan ginjal dll.

Prof dr Yahya Kisyanto yang merupakan pelopor terapi khelasi mengakui memang ada kontroversi di situ, tapi dia didukung oleh sejumlah sejawat dokter sedunia yang "approve" dengan terapi ini.

Yang jelas pasien yang mencari terapi khelasi ini berjubel mengantri di klinik dr Kisyanto, karena promosi dari mulut ke mulut orang yang sudah melakukan terapi infus ini memang mengatakan hasilnya bagus dan bermanfaat.

Persis sama seperti terapi cuci otak dokter Terawan yang begitu "populer" sampai orang harus mengantri berminggu-minggu untuk mendapat giliran diterapi DSA oleh dr Terawan. 

Bagaimana sikap kita menghadapi permasalahan seperti ini?

Otoritas medis mengatakan bahwa semua terapi harus berdasarkan "evidence base" (artinya harus melalui uji klinis berjenjang yang ketat), sementara masyarakat awam memakai standar "anecdotal" (ujaran berantai dari mulut ke mulut) bahwa terapi dokter A itu bagus dan memang ada bukti yang bersangkutan merasa sembuh dari stroke atau yang lainnya.

Ini kiranya yang perlu dijembatani antara dua "kubu" yang berseberangan. Dan ini pula yang menyebabkan "perang" antara yang membela dan menyalahkan dokter Terawan di dalam publik. Dan malah melebar ke isu agama, isu politik identitas dan sebagainya yang sama sekali tidak relevan.

***