Memahami Seberapa “Boros” Wartawan Memotret

Seorang jurnalis foto baru berhenti memotret saat sudah tidak ada potensi mendapatkan foto yang lebih baik lagi daripada sebelumnya.

Kamis, 5 November 2020 | 08:28 WIB
0
259
Memahami Seberapa “Boros” Wartawan Memotret
Nazarudin Syamsudin (Foto: Agus Susanto)

Pertanyaan yang sering muncul dalam seminar-seminar jurnalistik di berbagai kampus di Indonesia adalah, seberapa banyak seorang jurnalis foto memotret pada kerja liputannya. Dan untuk menjawab pertanyaan ini, harus dijelaskan dulu bahwa liputan yang satu tentu berbeda dengan liputan yang lain. Tidak akan pernah ada jawaban tunggal untuk pertanyaan ini.

Liputan kegiatan olahraga atau pergelaran busana, memerlukan sangat banyak pemotretan walau kadang cuma dipakai beberapa bingkai saja. Sedangkan pemotretan acara seperti pengumuman oleh seorang menteri, umumnya hanya memerlukan sedikit pemotretan saja.

Hal yang sering tak terungkap oleh umum adalah, seberapa sering kamera dijepretkan dalam sebuah selang waktu tertentu. Dan juga seberapa bisa pemotretan tetap dilakukan kalau sudah melewati tenggat waktu (deadline).

Untuk memberikan gambaran tentang hal ini, baiklah kita bahas peristiwa tanggal 20 Mei 2005 malam, yaitu penangkapan seseorang dengan tuduhan korupsi. Waktu itu yang ditangkap adalah Ketua KPU Nazaruddin Sjamsuddin, sehingga perhatian pers sungguh besar. Jumlah wartawan tulisn dan fotografer yang hadir sangatlah banyak, bisa dikatakan puluhan.

Dalam peristiwa ini, Kompas diwakili fotografer Agus Susanto. Dari pemotretannya terlihat (dilihat dari EXIF atau data internal berkas fotonya) bahwa Agus pertama kali menjepretkan kameranya pada pukul 23.45 WIB alias 15 menit sebelum Harian Kompas naik cetak.

Sesungguhnya tenggat waktu pengiriman foto adalah pukul 23.00 WIB, tetapi karena ini peristiwa besar kelonggaran akan tenggat waktu ditambahkan.

Kemudian, dari rangkaian foto yang dibuat fotografer berinisial AGS ini, terlihat bahwa bingkai pertama proses penangkapan Nazaruddin Sjamsuddin itu terjadi saat mobil tahanan tiba di Mapolda Metro Jaya pada pukul 23.58 WIB alias hanya dua menit sebelum Harian Kompas naik cetak. Sesungguhnya mungkin yang terjadi adalah 23.58 lewat beberapa detik. Data kamera hanya bisa mencatat sampai menit saja waktu itu.

Dari rangkaian pemotretan yang dilakukan AGS, total dalam 48 bingkai, terlihat bahwa dalam 47 bingkai terakhir pemotretan hanya dilakukan kurang dari dua menit. Dan bingkai yang terpakai untuk foto “headline” (HL) Harian KOMPAS keesokan harinya tepat dibuat pada pukul 00.00 WIB, tepat waktu seharusnya KOMPAS naik cetak. AGS memotret begitu banyak karena dia tidak kunjung tahu apakah pemotretan sudah final.

Seorang jurnalis foto baru berhenti memotret saat sudah tidak ada potensi mendapatkan foto yang lebih baik lagi daripada sebelumnya.

Maka pertanyaan, seberapa boros seorang jurnalis foto memotret, sebaiknya dilanjutkan dengan pertanyaan:”Sampai kondisi apa tetap memotret?”.

Bagi seorang jurnalis foto, boros atau irit bukanlah masalah utama. Mereka mengejar momen, sampai kapan pun dan seberapa banyak bingkai pun. Jumlah pemotretan sama sekali tidak penting karena ituhanyalah bagian dari proses.

***