Hati yang Berdoa dan Neuro Science

Apapun warna kulit, gender, status ekonomi, pendidikan, asal negara. Semua homo sapiens bisa mendamaikan hatinya, membuat dirinya penuh kasih, compassionate.

Sabtu, 11 Juli 2020 | 22:24 WIB
0
361
Hati yang Berdoa dan Neuro Science
Ilustrasi berdoa (Foto: IDN Times)

“Ketika dunia menekanmu hingga dirimu jatuh berlutut, itulah posisi terbaik untuk berdoa.”

“JIka dalam doa, hanya satu kata yang dapat disebut, sebutlah kata itu: terima kasih.”

“Doa menghalau kabut. Ia undang kembali rasa damai untuk pulang ke hati. Setiap pagi, setiap sore, biarkan hatimu bernyanyi. Ya Tuhan, Ya Kekasihku. Tiada realitas kecuali wajahMU.”

Dengan kata yang padat, ringkas, indah, Jalaluddin Rumi, mistikus dan penyair besar itu, mampu berkisah begitu banyak soal doa.

Ketika datang duka dan derita, hingga jatuh berlutut, manusia berdoa. Ia berharap, mohonkan pertolongan. Ia impikan perubahan, mujikzat, keajaiban tiba, berkunjung.

Ketika datang purnama, bahagia, dan berkah, manusia juga berdoa, bersyukur. Berterima kasih.

Psikologi umumnya manusia tak lepas dari siklus itu: derita hingga bahagia. Terancam hingga bersyukur. Berdoa menempati posisi sentral dalam kesadaran. Bisa dikatakan homo sapiens adalah hewan yang berdoa.

-000-

Para arkeolog menemukan bukti itu. Ketika homo sapiens sudah mampu berimajinasi. Ketika frontal lobe dalam otak homo sapiens jauh lebih besar dibandingkan hewan terdekat simpanse, kegiatan berdoapun dimulai.

Sejarah homo sapiens, sejauh yang bisa dilacak oleh ilmu pengetahuan adalah sejarah mahluk yang berdoa. Kegiatan berdoanya sama. Tapi bentuk ritualnya berbeda dan berkembang. Yang disembah juga berevolusi bersama berevolusinya kesadaran homo sapiens.

Tahun 1990, di gua tersembunyi di atas bukit, di Boswana, arkeolog menemukan fosil. (1). Terdapat sekitar 1300 fosil mata tombak dari batu. Dari pelacakan radio carbon dating, diketahui usia ujung tombak itu sekitar 70 ribu tahun.

Ditemukan pula batu besar. Terlukis di sana sisik ular piton. Ular raksasa. Arkeolog menafsir. Ini bukti paling tua, manusia era pra sejarah, homo sapiens di zaman batu (stone age), mulai berdoa.

Mereka menari- nari, bernyanyi dengan membawa tombak. Tombak dari batu. Yang disembah adalah ular piton. Mereka lukiskan ular piton itu. Mereka yakini, ular piton sebagai nenek moyang manusia.

Sejauh ini situs tersebut paling tua yang ditemukan untuk menggambarkan homo sapiens yang mulai berdoa.

Zaman batu pun dilewati. Homo sapiens mulai menetap, membangun peradaban. Yang paling kuno, salah satunya Mesopotamia-Sumariah. Ini peradaban pertama sekitar 5000 tahun lalu.

Arkeolog juga menemukan situs yang unik. Fosil banyak hewan dalam satu tempat, berusia sekitar lima ribu tahun. Dulu tempat itu disebut Girus, kota tertua yang dikenal peradaban (2)

Ditemukan pula di sana. Lukisan dan patung yang kemudian dikenal sebagai dewa perang.

Arkeolog mengembangkan narasi. Itu situs tempat penduduk peradaban pertama berdoa. Mereka meminta bantuan dewa perang, agar mereka kuat dan menang melawan suku lain. Dalam doa, mereka memberikan sesajen dan kurban hewan.

Di abad digital, tahun 2020, dunia dilanda pandemik virus corona. Melalui media sosial dan internet, seruan doa bersama secara global dikumandangkan. “”Apapun agama dan keyakinan, mari kita berdoa bersama, agar Tuhan bersama kita, membantu kita mengalahkan dan menghalau musuh tak biasa: bukan berwujud manusia, tapi berupa virus.”

Maka Paus, kaum Muslim, Yahudi dan banyak penganut agama lain berdoa bersama di satu waktu. Berkumpul dalam satu momen, dari seluruh dunia, penganut beberapa agama yang sebagian saling mengkafirkan satu sama lain, tapi mampu menghalau perbedaan. (3)

Di momen itu, mereka berlutut bersama. Seperti yang disebut Rumi, beban dunia melalui virus corona, memaksa umat manusia berlutut, berdoa, apapun agamanya.

Sepanjang sejarah homo sapiens sejak 70 ribu tahun lalu, kegiatan berdoa selalu hadir. Yang disembah bisa berbeda dan berubah. Dulu yang disembah itu ular piton. Lalu berubah menjadi dewa dewi perang. Kini yang disembah Tuhan yang Maha Esa.

Dulu cara menyembah Sang Gaib, untuk dimintakan pertolongan, dengan menari nari mengacungkan tombak dari batu. Lalu berubah ritusnya dengan menyerahkan kurban hewan. Kini doa bisa dilakukan secara online, tersambung dengan internet.

Yang berubah hanya prasarana, ritus dan konsep. Tapi yang berdoa itu hati homo sapiens yang sama. Yang sama merasa terancam. Yang sama percaya ada kekuatan lebih besar di luar manusia. Yang sama memohon pertolongan.

-000-

Ilmu berkembang sedemikian jauh. Tapi ilmu pengetahuan tak bisa menghilangkan spirit yang lebih purba: kehendak manusia untuk berdoa.

Yang berdoa tak hanya manusia awam. Bahkan di masa kini, para ilmuwan puncak, katakanlah pemenang hadiah Nobel untuk prestasi keilmuannya, juga banyak yang tetap berdoa.

Kita bisa sebut beberapa nama. Werner Archer, pemenang Nobel untuk Medicine/Physiologi. D.H.R. Barton pemenang Nobel untuk kimia. John Eccles, pemenang Nobel untuk Neuro-Chemestry, Manfred Eigen, pemenang Nobel untuk Chemestry, secara publik dengan gembira menceritakan kegiatannya berdoa dan keyakinannya pada Tuhan (4).

Bahkan William Philips, pemenang Nobel Fisika, tahun 1997, juga seorang aktivis gereja yang militan. Ia menyenangi doa setiap hari minggu ke gereja, sebagaimana ia gemar meneliti di labolatorium. (5)

Bagaimana kita memahami hati yang berdoa ini, sepanjang sejarah homo sapiens? Mengapa mereka berdoa? Apa yang didapat dari doa?

Walau kini hadir 4300 agama. Meski tersedia 4300 cara berdoa yang berbeda. Walau terhidang 4300 konsep Tuhan yang pasti tak persis sama. Walau masing masing mengajarkan cara berdoa, waktu berdoa, ritus berdoa yang juga berlainan. Tapi sama rohnya. Tapi sama spiritnya. Dalam doa, manusia menundukkan hati kepada The Higher Self, Allah, Yahwe, Yesus, Buddha, apapun namanya.

-000-

Datanglah Neuroscience, ilmu baru soal sistem syaraf manusia, menjelaskan soal fenomena perilaku, keyakinan, kecenderungan manusia, dalam hubungannya dengan aktivitas otak. Realitas sosial, termasuk agama, dan juga berdoa dihubungkan dengan realitas sistem syaraf manusia.

Pengetahuan dan spekulasi tentang otak manusia, tentu sudah tumbuh ribuan tahun lalu, sebelum masehi. Tapi dijadikannya realitas mekanisme syaraf manusia untuk menjelaskan realitas sosial, ini termasuk hal baru.

Di tahun 1950an, pertama kali Francis O Smith menjadikan Neuroscience program di Departemen Biologi di Massachusset Institute of Technology. Tahun 1960an, James L M Gaugh lebih maju lagi. Neuro Science menjadi satu departemen sendiri, di Harvard Medical School, sebagai Departement of Neurobiology. (6)

Neuroscience sebagai ilmu pun berkembang sangat pesat. Ia meramu dan menyatukan disiplin biologi, medicine, physiologi, psikologi dan modeling matematika.

Dalam pohon Neuroscience itu berkembang pula Neurotheology. Ini obyek ilmu di dalam neuro science yang khusus mengamati fenomena pengalaman agama. Misalnya suasana batin: Oneness with universe, trance, ekstasi, pengalaman mati suri (near death experience), rasa haru yang puncak.

Mengapa pengalaman batin yang tak biasa iru bisa terjadi? Di bagian otak sebelah mana kegiatan itu berlangsung? Adakah horman di otak yang terpengaruh karena doa? Apa efek horman itu bagi vision, relaksasi bahkan personalitas manusia?

Para ahli ini melakukan studi empirik, bereksperimen, mencoba berkali- kali, lalu menyimpulkan.

Andrew Newbergh, (7) misalnya, ia mengumpulkan para penganut agama yang sudah berdoa lebih dari lima belas tahun. Mereka berdoa sehari rata rata 2 jam. Dikumpulkannya para pendoa itu dari tradisi agama yang berbeda.

Ada pendeta yang berdoa dengan gerakan dan suara. Ada biarawan yang berdoa, meditasi, diam dan hening.

Eksperimen doa dari konsep Tuhan yang beragam, bahkan yang tak percaya Tuhan, juga diriset berkali- kali. Diulang oleh peneliti lan dengan sampel berbeda.

Ini yang disimpulkan oleh salah satu riset neuroscience itu.

Tentu saja neuroscience tak bisa membuktikan konsep mana yang benar. Apakah Tuhan ada atau tidak? Apakah Atheisme, Personal God, Impersonal God, Deisme, Pantheisme, yang benar?

Tentu pula neuroscience tak bisa menyatakan agama mana yang benar dari 4300 agama itu? Yang mana yang benar benar wahyu Tuhan?

Itu bukan bidang Neuroscience. Tak pula Neuroscience hendak menjadi hakim yang memutuskan mana kebenaran dan mana ilusi dalam sistem kepercayaan.

Dari hasil riset Neuroscience disimpulkan. Doa yang dilakukan berulang ulang juga mengubah otak manusia. Sistem syaraf kita juga bisa dibentuk oleh keyakinan yang berulang ulamg disugestikan ke dalam kesadaran.

Mereka yang acap bedoa dalam waktu lama memiliki perbedaan bagian otak dengan mereka yang tidak biasa berdoa.

Apapun tradisi agama: Kristen, Islam, Yahudi, Budha, hingga yang tak percaya agama, dapat mengembangkan citra Tuhan atau the higher self yang berbeda. Yaitu Authoritarian God dan Benovalent God.

Dalam kita berdoa, tak hanya agama formal kita yang berpengaruh. Tapi riwayat hidup, karakter, pengalaman pribadi, ikut membentuk citra Tuhan atau the higher self.

Semua berpotensi membayangkan Authoritarian God: Tuhan yang menghukum, yang meminta ketaatan, yang mengancam dengan neraka, yang membuat aturan.

Semua juga berpotensi membayangkan the Benovalent God: Tuhan yang maha kasih, yang menyebar cinta, memaafkan, mengerti, menyayangi, melindungi.

Mengapa satu individu mengembangkan atau memilih konsep Tuhan yang authoritaran, atau Tuhan yang penuh kasih, itu perlu dijelaskan kasus per kasus.

Ini kesimpulan penting dari Neuroscience. Apapun agamamu, atau bahkan tidak beragama, apapun konsepmu tentang Tuhan, kegiatan doa, atau kontemplasi, tapi membayangkan hanya the Benovalent God, hanya yang maha kasih, ia menghasilkan hormon di kepala kita, yang membuat rileks, damai, teduh.

Mereka yang acap merenung, berkontemplasi, berdoa, dengan membayangkan Tuhan, Allah, Yahwe, Yesus, the Higher Self, atau apapun namanya, sejauh itu citra yang maha kasih, yang penuh cinta, akan membentuk personality yang juga lebih compassionate. Individu yang lebih peduli. Yang lebih mengasihi, menolong, berderma.

-000-

Neuroscience tak bisa membuktikan Tuhan itu ada atau tidak. Tapi Neuroscience mengkonfirmasi bahwa kontemplasi, berdoa, sembahyang, berzikir, meditasi, sejauh yang dibayangkan itu adalah Benovalent God, the Higher Self yang maha kasih, doa itu memberi efek yang mendasar membentuk personality yang teduh.

Neuroscience juga menjelaskan. Siapapun Homo Sapiens itu, apapun agama yang dipeluk, bagaimanapun konsep Tuhannya. Apapun warna kulit, gender, status ekonomi, pendidikan, asal negara. Semua homo sapiens bisa mendamaikan hatinya, membuat dirinya penuh kasih, compassionate.

Yang penting ia melakukan secara terus menerus kontemplasi, meditasi, atau bedoa atau sembahyang, atau berzikir. Dengan satu syarat. Pusat doa itu adalah Benovalent God. Bukan Authoritarian God. The Higher Self yang maha kasih. Bukan yang murka dan menghukum.

Kita pun teringat aneka puisi Rumi. “Aku adalah rumah kasih. Dan hatiku tempat berdoa.” Atau, “Labuhkanlah jiwamu pada Cinta Tuhan. Tak ada yang lebih indah dari itu.

Betapa panjang perjalanan Homo Sapiens. Sepanjang 70 ribu tahun sudah kegiatan berdoa. Walau homo sapiens itu kini terpilah dalam 4300 agama, 195 negara dan 6500 kelompok bahasa, homo sapiens itu satu.

Ya, Satu Bumi. Satu Homo Sapiens. Satu Spiritualitas.*

Juli 2020

(Bersambung)

Denny JA

Catatan

1. Ditemukan fosil di bukit tersembunyi di Bostwana, Afrika. Ini penemuan paling tua manusa pra sejarah, homo sapiens dari zaman batu, 70 ribu tahun lalu mulai melakukan doa dan ritus kepercayaan.

2. Di daerah Irak sekarang ini, terhampar peradaban pertama lima ribu tahun lalu. Arkeolog menemukan situs yang biasa digunakan berdoa memuja dewa perang, dengan kurban hewan.

3. Di era pandemik corona virus, lahirlah solidaritas antar iman, di seluruh dunia, untuk berdoa bersama, meminta penguasa alam semesta, menyelamatkan manusia, mengalahkan virus

4. List para ilmuwan ternama, dari aneka disiplin, termasuk pemenang Nobel, yang juga percaya Tuhan dan berdoa

5. William Philips, pemenang Nobel Fisika, tahuh 1997, bahkan ikut berdebat menjelaskan mengapa ia tetap berdoa, ke gereja, setiap hari minggu

6. Awal berdirinya ilmu modern Neuroscience di tahun 1950an, dengan masuk ke universitas MIT dan Harvard.

Shulman, Robert G. (2013). "Neuroscience: A Multidisciplinary, Multilevel Field". Brain Imaging: What it Can (and Cannot) Tell Us About Consciousness. Oxford University Press. p. 59. ISBN 9780199838721.

7. Andrew Newbergh menuliskan aneka risetnya bidang Neuroscience soal pengalaman beragama: How God Changes Your Brain.

***