Perjalanan di Pulau Buru [4]: Gadis Kecil Bernama Nauri

Ehtah kenapa, ketika berada Wae Ngapan, saya yang hidup dan besar di Jakarta seperti menyimpan perasaan bersalah.

Jumat, 30 Agustus 2019 | 20:53 WIB
0
438
Perjalanan di Pulau Buru [4]: Gadis Kecil Bernama Nauri
Saya dan gadis kecil Pulau Buru (Foto: Dok. pribadi)

Di Bantaeng, Sulawesi Selatan sedang heboh dengan rencana pernikahan bocah 15 tahun. Calom mempelai wanitanya bahkan baru berusia 14 tahun. Rencana menikah sebelumnya ditolak pengadilan agama karena melanggar UU tentang batasan umur. Tapi mereka meminta dispensasi.

Orang heboh dengan kabar itu. Mereka membayangkan anak perempuan usia 14 tahun yang hidup di kota besar. Mungkin masih asyik main boneka Barbie atau sedang seru-serunya mengikuti ekstrakurikuler di sekolah. Tapi ini adalah Bantaeng, sebuah kota kabupaten, di Sulsel. Sebelumnya ada juga pernikahan pasangan dini di Bulukumba. Lelakinya 14 tahun, perempuannya 13 tahun.

UU Pernikahan kita membatasi usia pernikahan. Yang lelaki minimal 19 tahun dan perempuan 16 tahun. Batas itupun masih banyak yang protes. Sebab usia 16 tahun untuk perempuan belum dianggap dewasa untuk menikah. Tapi ada celah dalam aturan. Pernikaham dini bisa dilakukan apabila ada persetujuan hakim agama.

Saya jadi ingat sebuah obrolan di malam hari, dengan Artus, lelaki setengah baya, seorang kepala sekolah di Desa Wae Ngapan, Kabupaten Buru Selatan, Maluku. Desa yang sangat terpencil. Untuk menjangkaunya, kami memerlukan beberapa jam naik-turun bukit. Bahkan listrik saja belum masuk waktu itu.

Malam itu, saya, bersama Birgaldo dan beberapa rekan ngeruyung mendengar kisah-kisah anak-anak Wae Ngapan. Masyarakat Wae Ngapan memang masih sangat tradisional. Sebagian masih berladang nomaden di hutan. Hunian yang disiapkan pemerintah, hanya sesekali ditempati. "Ada kalanya kampung ini sepi, seperti kota hantu. Semua penduduknya pergi ke hutan," ujar Artus.

Masyarakat disini masih memegang kepercayaan leluhur. Mereka menghormati arwah. Makanya jika ada anggota keluarga yang meninggal, tidak langsung dimakamkan. Tapi jenazahna digantungkan ke pohon besar di hutan sampai tinggal belulang. Lalu tulang-tulangnya dibawa pulang, diletakkan dalam rumah, bersama beberapa benda yang dianggap kramat.

Artus bercerita. Di Wae Ngapan ada semacam kebiasaan tidak tertulis mengenai peminangan. Biasanya, jika satu keluarga memiliki gadis kecil, akan ada lelaki yang datang ke keluarga itu rutin memberikan bahan makanan, pakaian, dan sebagainya. Bagi pihak lelaki, itu dianggap sebagai panjar untuk menikahi gadis itu nanti ketika remaja.

"Pihak lelakinya bukan anak seusia, tapi ya sudah dewasa. Sementara anak gadisnya, ada yang dipanjer sejak usia 9 atau 10 tahun. Bahkan ada juga yang dipanjar ketika usia masih 3 tahun," kisah Artus. Jangan heran, jika murid-murid Artus cepat berkurang.

"Hari ini saya lihat mereka masih asyik bermain dengan teman-temannya. Eh, besoknya sudah tidak sekolah lagi. Dibawa ke hutan untuk menemani suami barunya berladang," ujar Artus dengan wajah sedih. "Jarang ada anak perempuan yang bisa lulus SD disini," ujarnya lirih.

Artus pernah sesekali meminta keluarga muridnya untuk menunda pernikahan puterinya, karena murid itu termasuk cerdas. Dia hanya mau anak didiknya lulus SD. Tapi rupanya pihak mempelai pria marah. Artus diancam akan dibunuh. "Saya tidak tahu, rupanya bagi pria disini, tindakan saya termasuk melukai harga dirinya. Padahal dia sudah punya dua istri."

Sejak saat itu, bagi Artus, mengajar anak-anak perempuan merupakan siksaan tersendiri. Anak-anak yang hari ini baru mengeja lambang bahasa, baru saja belajar menyanyikan lagu kebangsaan, entah kapan harus menjalani kehidupan perkawinan yang keras dalam usianya yang masih muda.

"Mereka menjadi pasangan kedua atau ketiga dari lelaki yang jauh lebih tua."

Apakah pernikahan mereka resmi? Disini masyarakat belum banyak yang mau mengurus hal-hal administratif seperti itu. KTP saja jika tidak dipaksa-paksa mereka tidak mau membuatnya. Kecuali ketika ada program bantuan sosial dari pemerintah, baru sebagian masyarakat mau mengikutinya. "Cara berfikirnya boleh dibilang masih sangat terkebelakang," ujar Artus. Dari 100 pasangan, mungkin hanya 5% yang menikah secara resmi. Maksudnya yang tercatat dalam dokumen negara.

Pagi harinya saya sempatkan bermain dengan anak-anak Wae Ngapan. Mengajak mereka ngobrol dan bercerita. Keceriaannya sama dengan anak-anak lainnya. Tapi, pagi itu, saya memandang wajah Nauri anak perempuan 6 tahun. Dia sedang asyik bermain dengan beberapa temannya.

Saya membayangkan bagaimana masa depan Nauri nanti. Kabarnya orang tua Nauri sudah sering mendapat kiriman makanan dan kebutuhan pokok dari seorang tetangga pria yang usianya 40 tahunan. Nauri sendiri belum banyak memahami. Di usianya sekarang, debu dan batang pohon lebih memikat hatinya untuk diajak bermain.

Nauri belum bersekolah. Nanti jika sudah 8 tahun dia akan ikut bersekolah di bawah asuhan Artus. "Paling hanya tiga tahun dia sempat sekolah dan bermain bersama teman-temannya. Setelah itu, dia akan menjalani kehidupan yang keras bersama suaminya yang terpaut 37 tahun usianya," bisik Artus.

Saya tercenung mendengar bisikan itu. Saya hanya bisa menahan rasa pilu. Tidak ada yang bisa disalahkan dari sebuah tradisi. Tapi kita tahu, setidaknya harus ada yang mencoba melakukan penyadaran.

Syukurlah, jalan-jalan dari Namrole ke Wae Ngapan sedang dibangun. Jaringan listrik juga sudah mulai masuk ke pelosok. Desa Wae Ngapan yang terpencil, mungkin sebentar lagi akan tersentuh peradaban. Ini yang akan membuka ruang-ruang pikiran baru, sehingga kebiasaan-kebiasaan buruk masyarakat bisa dikurangi.

Kita memang tidak bisa menghakimi sebuah keterbelakangan. Hidup di Wae Ngapan begitu keras. Anak-anak perempuan di sana, punya kehidupan dengan langit-langit yang amat rendah. Bersukurlah kita yang dilahirkan dengan kondisi infrastruktur yang lengkap sehingga peradaban bisa berkembang normal.

Ketika saya tanya Silva, 10 tahun, kelas 2 SD, apa cita-citanya? Dia diam saja. Dia hanya menjawab malu-malu. Ingin bisa bernyanyi seperti orang di televisi, yang ditontonnya di rumah kepala desa. Jika pulang sekolah, Silva dan beberapa rekannya berjalan 2 kilometer melewati bukit dan belantara pohon kayu putih, hanya untuk menonton sekadar TV.

Sekian puluh tahun sejak negeri ini merdeka. Masyarakat Wae Ngapan masih hidup terpisah dari peradaban. Semoga dengan infrastruktur yang semakin lengkap, pelan-pelan mereka belajar. Pelan-pelan mengubah dirinya. Dan anak-anak perempuan yang manis itu, tidak harus memenggal masa depannya di hadapan tradisi.

Ehtah kenapa, ketika berada Wae Ngapan, saya yang hidup dan besar di Jakarta seperti menyimpan perasaan bersalah.

(Selesai)

***

Tulisan sebelumnya: Perjalanan ke Buru Selatan [3]: Slamet Selalu Selamat