Perjalanan ke Buru Selatan [3]: Slamet Selalu Selamat

Beberapa tahun lalu, pemerintah memberikan bantuan pembangunan perumahan kepada para korban kerusuhan di Pulau Buru.

Rabu, 28 Agustus 2019 | 06:08 WIB
0
381
Perjalanan ke Buru Selatan [3]: Slamet Selalu Selamat
Saya dan Slamet (Foto: Dok. pribadi)

Setelah berputar mencari informasi, bertanya kanan kiri, menyusuri jalan panjang Pulau Buru akhirnya kami menemukan Slamet. Tepat di desa Tifu, Unit VI, Kabupaten Buru. Usianya 106 tahun, tapi Slamet masih kuat berjalan. Saya pertama kali menemuinya saat dia sedang bersepeda, dari rumahnya mampir ke tetangga untuk memulangkan kunci inggris. "Sepedanya baru didandani," ujar lelaki asal Tulung Agung ini.

Slamet bin Warjo datang ke Pulau Buru sekitar tahun 1968, digiring sebagai tahanan politik. Dianggap terlibat PKI.

Menurut kisahnya sebetulnya dia sama sekali tidak terlibat PKI atau organisasi seperti Pemuda Rakyat yang disangkakan padanya. Waktu itu dia hanya bekerja sebagai koordinator pengumpul batu di Tulung Agung. Karena sebagai koordinator dia sering berkumpul dan para buruh.

Tukang-tukang batu yang berkumpul ada sebagian yang menjadi anggota Pemuda Rakyat. Maka diapun dicurigai terlibat organisasi pemuda underbow PKI itu. Pasca gonjang-ganjing 1965 Slamet merasa dirinya sedang dikelilimgi bahaya. "Ada tetangga yang membenci saya. Dia menuding saya komunis," kisahnya.

Saat gonjang-ganjing, Slamet mulai berasa dirinya diincar. Ibunya yang ketakutan sempat memberinya ramuan racun. "Ketimbang kamu mati disembelih orang, lebih baik kamu mati disini. Biar aku yang mengurus mayatmu," ujar ibu Slamet kepada anaknya.

Tapi, dia keburu ditangkap pada sebuah malam. Rumahnya di gedor orang. Slamet digiring dibawa ke Kediri. Di penjara Kediri itulah, dia ditahan selama hampir setahun. Bersama ribuan tahanan politik lain.

Beberapa bulan dia di sana, Slamet dipindahkan ke penjara Tulung Agung, lalu ke Cilacap masuk Nusakambangan. Setelah sekian lama berpindah-pindah penjara, Slamet diangkut ke Pulau Buru.

Menurut catatan di Pulau Buru ada hampir 15 ribu orang tahanan politik, dengan cap PKI. Mereka ditahan tanpa pengadilan. "Tanya saja berkas saya, semuanya kosong. Wong, saya memang bukan anggota PKI."

Slamet ditempatkan di Unit XI. Dia ingat saat dia datang sudah banyak tahanan politik lain di Pulau Buru. Pramudya Ananta Toer misalnya, penulis Novel Bumi Manusia yang sekarang sedang tayang di bioskop itu, menempati unit III. Unit-unit dibuat seperti barak yang jaraknya terpisah hampir lima kilometer. "Waktu saya datang, Pak Pram mungkin sudah setahun tinggal disini," kisahnya.

"Orangnya baik," ujar Slamet, menceritakan tentang Pramudya Ananta Toer. Dia kerap bertemu Pram ketika harus menjalani kerja paksa membuka lahan. Semua tahanan politik memang diarahkan untuk membuka lahan pertanian. Di tanah Pulau Buru yang keras. Mereka membabat hutan, membuat ladang dan sawah. "Kami kerja tidak dikasih alat. Semua cuma gunakan tangan dan alat buatan kami sendiri seadanya."

"Banyak yang mati. Khususnya karena nyamuk Malaria," kisah Slamet. Kisah itu dibenarkan Sukardi, seorang anak transmigran asal Banyuwangi yang ketika kecil menyaksikan bagaimana para tahanan politik itu diperlakukan. Kerja keras, minim makanan, minim kesehatan. "Sepertinya mereka dibawa kesini memang untuk dimatikan. Cuma gak ditembak langsung saja."

Para tahanan politik inilah yang pertama menggerakkan pertanian di Pulau Buru. Masyarakat asli di sana kehidupannya masih nomaden.

Mereka berladang berpindah dan berburu. Bisa dibilang dari para tahananlah masyarajat pulau blBuru belajar bertani. Sampai sekarang kita bisa menyaksikan hamparan sawah. Bahkan Pulau Buru menjadi penghasil padi buat propinsi Maluku. "Itu peninggalan para warga," kisah Sukardi. Warga adalah sebutan untuk tahanan politik. Bukan hanya persawahan, juga jalan yang menembus Pulau itu.

Sekitar tahun 1978, semua tahanan politik Pulau Buru dibebaskan. Mereka boleh memilih, pulang ke tanah kelahirannya atau menetap. Sebagian orang yang memilih menetap ditempatkan di unit Savana. Slamet sendiri beruntung. Karena dengan dengan komandan militer, dia diusahakan mendapat jatah tanah transmigran. "Nah, saya dapat sebidang tanah di unit VI," ujarnya.

Di sanalah Slamet menikah dengan seorang gadis transmigran asal Bayuwangi. Namanya Maria Sutinem. Waktu itu usia Slamet sudah memasuki 60 tahun. Sementara Maria baru 16 tahun. "Orangtua saya petani. Jadi takut anak gadisnya kenapa-napa. Ketika dilamar sama orang Jawa ya, dikasih aja," tutur Maria. Mereka berdua membangun kehidupan di unit VI.

Tapi nasib baik belum juga berpihak pada Slamet. Kerusuhan SARA di Ambon merembes ke Pulau Buru. Entah karena sebab apa, tiba-tiba banyak provokator yang memancing warga untuk berkelahi. "Saya gak tahu orang dari mana. Mereka berteriak-teriak untuk membakar gereja," kisahnya. Rumah-rumah warga yang beragama kristen habis juga dibakar. Termasuk rumah Slamet dan Maria. "Semua barang dan harta yang pernah saya kumpulkan, habis dibakar. Saya hanya bisa menyelamatkan keluarga saja."

Akibat kerusuhan itu, mereka lari ke hutan. Hidup bersama penduduk asli Pulau Buru yang masih nomaden. Sekitar dua tahun mereka hidup di sana. Lalu seorang kepala suku meminjamkan rumahnya.

Beberapa tahun lalu, pemerintah memberikan bantuan pembangunan perumahan kepada para korban kerusuhan di Pulau Buru. Rumah Slamet yang dikabar dbangun kembali. Diapun membawa keluarganya untuk pindah kembali ke kediamannya.

Kini Slamet sudah ujur, usianya 106 tahun. Pendengarannya sudah tidak sempurna. Tapi dia masih mampu berjalan dengan gagah. Bahkan mengendarai sepeda. "Saya tinggal tunggu mati. Tapi saya berharap anak-anak saya tidak ada yang mengelami hidup seperti saya. Jangan ada lagi huru-hara politik. Kasian rakyat," cetusnya. "Banyak orang yang mati."

Pandangannya nanar. Mungkin teringat kepahitan hidup yang selalu menimpanya. Dia menyaksikan banyak orang mati karena keributan politik. Sebagian dihajar Malaria. Sebagian kelaparan di Pulau Buru. Sebagian lain dieksekusi dengan bengis.

"Mungkin karena nama saya Slamet. Jadinya selamat terus," tutupnya sambil terkekeh. Di usia senjanya, Slamet hanya berharap Indonesia menjadi lebih baik.

Slamet adalah monumen hidup dari sebuah kisah panjang perjalanan bangsa ini. Sebuah saksi sekaligus korban dari berbagai huru-hara politik. Kerakusan politik yang selalu memakan korban orang-orang kecil.

Saya, pamit pulang. Ada sedikit sangu yang kami titipkan. Mungkin semacam permintaan maaf dari gumulan rasa bersalah, bahwa bangsa ini pernah berdosa kepada lelaki bernama Slamet.

(Bersambung)

***

Tulisan sebelumnya: Perjalanan ke Pulau Buru [2]: Hidup dalam Ketel terpal Biru